[Nasional-m] Keterwakilan Perempuan di Parlemen

Ambon nasional-m@polarhome.com
Mon Sep 23 21:36:06 2002


Kompas
Senin, 23 September 2002

Keterwakilan Perempuan di Parlemen
Memberi Hak Warga Negara

KEINGINAN perempuan Indonesia agar suara mereka terwakili di lembaga pembuat
kebijakan publik kini memasuki babakan baru dengan dimulainya tahap paling
awal pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Partai Politik (Parpol) dan
RUU Pemilihan Umum (Pemilu).
Dengar pendapat dengan berbagai wakil masyarakat, dalam hal ini masyarakat
perempuan, sudah berlangsung beberapa waktu lalu antara masyarakat perempuan
dengan fraksi-fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) maupun dengan Panitia
Khusus (Pansus) RUU Parpol maupun Pansus RUU Pemilu. Koalisi Perempuan
Indonesia (KPI), Kaukus Politik Perempuan Indonesia, Kaukus Perempuan
Parlemen, dan Jaringan Perempuan dan Politik dalam pertemuan di Hotel Sahid
Jaya awal September 2002 menyebutkan, sambutan fraksi/partai yang mereka
temui, yaitu Partai Golkar, PDI-P, PBB, PAN, dan PKB, maupun kedua Pansus,
semua bisa menerima gagasan tentang perlunya tindakan khusus sementara
(affirmative action) yang memberi kesempatan wakil perempuan duduk di
lembaga pengambil kebijakan, yaitu di DPR maupun DPRD, pemerintahan, dan
parpol. Ketua Pansus RUU Parpol M Yahya Zaini (Partai Golkar) dan anggota
Pansus RUU Pemilu Firman Jaya Daeli dari PDI-P dalam pertemuan di Hotel
Sahid juga menyambut baik gagasan keterwakilan perempuan sebesar minimal 30
persen, meskipun tetap dengan pertanyaan, apakah perempuan sudah siap.
(Kompas, 9/9/2002)
Namun, ketika Daftar Isian Masalah (DIM) dari fraksi-fraksi masuk ke pansus
sebagai masukan bagi pansus yang akan membahas RUU Parpol dan RUU Pemilu,
ternyata harapan dan kenyataan jauh berbeda.
Ternyata hanya PKB yang sungguh-sungguh mewujudkan janji mereka dalam DIM
RUU Parpol.
Dalam Bab V tentang Fungsi, Hak dan Kewajiban, Pasal 6f tentang, rekrutmen
politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi
dengan memperhatikan kesetaraan jender, PKB melalui DIM-nya mengubah
redaksionalnya menjadi, rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan
politik dengan memperhatikan kesetaraan jender dalam wujud kuota 30 persen
bagi perempuan. Catatan untuk DIM itu, 52 persen pemilih adalah perempuan
dan jaminan representasi politik perempuan hanya bisa dibuktikan dengan
adanya kuota ini.
DIM Partai Golkar mengubah redaksional Pasal 6f sehingga berbunyi, rekrutmen
politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi
dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan jender sebesar 30 persen yang
dilaksanakan secara bertahap.
Partai-partai lain seperti lupa pada janji mereka. PAN, misalnya, melalui
Amien Rais (ketua umum) dalam pertemuan dengan masyarakat perempuan
menjanjikan memperjuangkan keinginan TKS bagi perempuan untuk jabatan
politik, tetapi PAN tidak memasukkannya di dalam DIM. Begitu pula PDI-P yang
dalam surat edaran ketua umumnya kepada pengurus pusat hingga ke cabang
untuk memberikan satu kursi dari setiap lima kursi di kepengurusan partai
kepada perempuan, ternyata tidak memberikan masukan apa pun dalam DIM mereka
atas Pasal 6f ini.
Sementara itu, TNI/Polri mengusulkan penambahan kata-kata "dan keadilan
jender" setelah "kesetaraan jender" dan Fraksi Reformasi mengubah kata-kata
"kesetaraan jender" menjadi "keadilan jender".
Partai Persatuan Pembangunan mengubah redaksional Pasal 6f tersebut pada
kalimat "dengan memperhatikan kesetaraan jender" diganti dengan "yang benar
dan adil", sedangkan PBB bahkan mengusulkan agar kata-kata "dengan
memperhatikan kesetaraan jender" dihilangkan.
Mengenai keanggotaan partai politik, dalam Bab VI Pasal 9 (2) RUU Parpol
menyebutkan, Keanggotaan Partai Politik bersifat terbuka dan sukarela serta
tidak membedakan latar belakang agama, kedaerahan, suku, etnis, dan jenis
kelamin.
Partai Golkar dan PKB tetap mempertahankan rumusan RUU dalam DIM mereka,
sementara TNI/Polri menambahkan "kelas sosial dan memperhatikan kesetaraan
jender" dengan catatan usulan itu dengan mempertimbangkan "menjamin sifat
keterbukaan dan mengakomodasikan strategi pengarusutamaan jender dalam
pembangunan politik".
Sementara itu, PPP mengubah rumusan Pasal 9 (2) itu menjadi, Keanggotaan
Partai Politik bersifat terbuka dan sukarela bagi setiap warga negara
Indonesia yang menyetujui anggaran dasar dan anggaran rumah tangga partai
yang bersangkutan.
***
DENGAN hanya dua fraksi memenuhi janji seperti disebut di atas, jelas
mengecewakan masyarakat perempuan. "Saya kecewa sekali karena hanya dua
partai yang memasukkan dalam DIM mereka tentang kuota untuk perempuan. Itu
pun hanya pada RUU Parpol, sementara pada RUU Pemilu keterwakilan perempuan
sama sekali tidak disinggung," kata Ani Soetjipto dari Centre for Electoral
Reform (Cetro).
Ia menyayangkan kurang gigihnya perempuan anggota parlemen memperjuangkan
kepentingan perempuan. "Ada yang merasa tidak enak hati bersuara berbeda
dari partainya. Padahal mereka 'kaki'-nya dua, di partai dan mewakili
perempuan," tandas Ani.
Selain itu, ia juga menyayangkan adanya beda persepsi di antara masyarakat
perempuan tentang pemahaman kuota. "Bukan seperti itu yang kami inginkan.
Jumlah 30 persen itu dimulai dengan seleksi dari rekrutmen caleg dari
kabupaten, berdasarkan kualitas tertentu. Bukan minta-minta," tambah
pengajar di Jurusan Hubungan Internasional FISIP Universitas Indonesia itu.
Tidak masuknya usulan keterwakilan perempuan di dalam DIM partai-partai
untuk RUU Pemilu maupun hanya dua partai yang memasukkan secara spesifik
keterwakilan perempuan dalam RUU Parpol, menurut pengamatan bisa disebabkan
beberapa hal.
Pertama, kurang jelinya kaukus perempuan maupun jaringan perempuan mengamati
mekanisme kerja penyusunan RUU. Dalam pertemuan di Hotel Sahid Jaya,
misalnya, barulah disadari melalui keterangan Ketua Pansus RUU Parpol dan
anggota Pansus RUU Pemilu bahwa usulan keterwakilan itu harus masuk melalui
DIM yang disampaikan fraksi. Lebih ironis lagi, waktunya hanya tinggal
seminggu dari saat pertemuan.
Kedua, sedikitnya jumlah perempuan anggota legislatif saat ini, yaitu hanya
8,8 persen, sehingga perhatian mereka terpecah ke berbagai RUU yang juga
sedang ditangani DPR. Selain itu, seperti disebutkan oleh Ketua Pansus RUU
Parpol Yahya Zaini, sejumlah perempuan anggota parlemen tidak bersemangat
membahas mengenai keterwakilan perempuan di lembaga pengambilan keputusan.
Meskipun demikian, Dian Kartikasari dari KPI merasa pantang menyerah. KPI
akan mengikuti sidang-sidang pembahasan kedua RUU dan terus memberikan
tekanan agar keterwakilan perempuan masuk di dalam dua UU tersebut.
Nada yang lebih optimistis disampaikan oleh Ir Hj Eka Komariah Kuncoro
MACEd, anggota Pansus RUU Politik dan Komisi II DPR dari Partai Golkar.
Untuk RUU Parpol ia menyatakan, peluangnya lebih dari 50 persen bahwa usulan
partainya akan diterima. Ia juga akan melobi perempuaan anggota partai
lainnya agar usulan angka 30 persen masuk. "Saya sudah melobi Ibu Aisyah
Amini dari PPP, beliau setuju. Insya Allah kami berhasil," tutur Eka, Jumat
(20/9) malam.
Eka mengakui, terjadi kompromi dengan partainya agar angka 30 persen masuk,
yaitu dengan tidak menyebut kapan harus terjadi dan tidak harus berlaku di
seluruh daerah. "Tetapi, saya mendapat janji dari Ketua Pansus RUU Parpol
bahwa bila di suatu daerah ada perempuan yang bisa mengisi dan jumlahnya di
atas 30 persen, tidak akan dihalang-halangi," tambah Eka Komariah. (NMP)