[Nasional-m] Diseminasi Bias Jender Lewat Buku Ajar

Ambon nasional-m@polarhome.com
Mon Sep 23 21:36:11 2002


Kompas
Senin, 23 September 2002

Diseminasi Bias Jender Lewat Buku Ajar
* Yayan Sakti Suryandaru

SEBAGAI salah satu agen sosialisasi nilai-nilai jender, selain keluarga,
agama, budaya, dan negara, sekolah masih dipercaya sangat potensial
membentuk fondasi pola pikir anak didik. Pada usia dini terutama di jenjang
pendidikan dasar, internalisasi nilai jender akan membentuk frame of
reference dan field of experience siswa hingga ke jenjang lebih lanjut.
Interaksi antara guru dan siswa lewat kurikulum dan bahan ajar yang harus
"dilahap" di ruang kelas, bisa dijadikan indikator bagaimana perspektif
jender tersosialisasikan di dalamnya.
Hasil kajian analisis isi penulis tentang peran jenis kelamin (sex roles)
yang disosialisasikan dalam buku ajar SD (sekitar 30 buku meliputi PPKN,
Bahasa Indonesia, IPS, dan Bahasa Daerah) masih menampilkan peran jender
tradisional.
Di dunia publik dengan aktivitas produktif, peran ini lebih banyak
divisualisasikan lewat kalimat atau gambar dilakukan oleh laki-laki.
Laki-laki digambarkan melakukan pekerjaan yang lebih memerlukan keahlian,
kesigapan, fisik yang kuat, mobilitas tinggi, mampu mengelola kepemimpinan,
dan pada bidang pekerjaan yang dianggap "kasar" atau "kotor" (seperti
petani, nelayan, polisi, mekanik, tentara, dokter, petugas pemadam
kebakaran, sopir, pilot).
Sementara penggambaran peran perempuan, beberapa buku ajar yang dianalisis
masih menampilkan pekerjaan di seputar pekerjaan yang biasa dilakukannya di
rumah. Pekerjaan yang butuh ketelitian, kesabaran, ketekunan, tidak
memerlukan fisik kuat, mobilitas tinggi atau keterampilan dalam
mengoperasikan teknologi pendukung pekerjaan, dicitrakan sebagai pekerjaan
yang "khas" perempuan seperti perawat, kasir, pelayan toko, tukang cuci,
pembantu rumah tangga, penjahit.
Sosialisasi semacam ini secara tidak langsung mengajarkan kepada siswa,
aktivitas produktif perempuan dianggap kurang penting, dan kurang bernilai.
Perempuan adalah yang terakhir diberi pekerjaan karena konsep patriarkhal
mengonstruksikan laki-laki adalah pencari nafkah yang utama dan kepala
keluarga.
Untuk peran reproduktif di sektor domestik, perempuan masih ditempatkan
sebagai penanggung jawab utama. Hal ini karena dalam semua buku ajar yang
diteliti, perempuan atau anak perempuan dianggap sebagai istri (calon ibu)
rumah tangga, sehingga sesuai "kodrat" pekerjaan ibu dan anak perempuan
adalah seputar merawat, mengasuh atau mendidik anak, mengatur/ membersihkan
rumah, menyediakan makanan bagi seluruh anggota keluarga.
Sementara ketika anak laki-laki atau ayah melakukan peran domestik,
penggambaran yang ditampilkan lebih dominan berkutat di seputar pekerjaan
rumah yang membutuhkan kekuatan dan kesigapan. Misalnya, pekerjaan mengisi
bak mandi, membuat kandang ayam, mencuci mobil, memperbaiki sepeda motor,
mengandangkan ayam, menggembala kambing, memandikan kerbau, atau pekerjaan
yang mengangkut atau mengangkat benda berat.
Adapun untuk peran sosial, baik laki-laki maupun perempuan berpartisipasi di
dalam kegiatan ini, tetapi lagi-lagi sesuai dengan norma yang ditentukan,
ada stereotipe tentang peran sosial laki-laki dan peran sosial perempuan.
Laki-laki digambarkan lebih dominan dalam mengambil inisiatif dan
berpartisipasi dalam peran sosial kemasyarakatan (berorganisasi, dalam
kegiatan kerja bakti, rapat desa, atau aksi sosial).
Masih ada penggambaran peran sosial yang timpang dan secara tidak langsung
mendistorsi kemampuan perempuan. Terutama dalam aktivitas berorganisasi yang
membutuhkan kepemimpinan, misalnya dalam rapat anggota tahunan kope-rasi
atau rapat karang taru-na, pemimpin dan peserta rapat divisualisasikan
semuanya laki-laki. Selain itu, dalam berorganisasi yang menjadi ketua
selalu dipegang laki-laki, sedangkan perempuan ditempatkan pada bidang yang
distereotipkan menjadi miliknya perempuan (sekretaris atau bendahara). Hal
yang hampir sama juga terjadi dalam kegiatan kerja bakti. Lewat gambar atau
kalimat divisualisasikan ibu-ibu atau anak perempuan diserahi tanggung jawab
di sektor domestik menyediakan konsumsi yang diperuntukkan bagi laki-laki
yang sedang bekerja.
***
BUKU ajar yang penulis teliti juga masih saja melekatkan nilai maskulinitas
sebagai "hak milik" laki-laki dan femininitas sebagai sifat yang dimiliki
perempuan. Lewat kalimat atau gambar, laki-laki digambarkan lebih kompeten
(pintar, cerdik, pandai, atau cakap); lebih berjiwa pemimpin dan pelindung
bagi perempuan; lebih "pantas" melakukan kenakalan; kecurangan, kejahatan,
perkelahian, pelanggaran terhadap peraturan atau membujuk orang lain untuk
melanggar aturan (provokator); lebih perkasa karena kekuatan fisiknya.
Sementara itu, perempuan masih distereotipkan dengan sifat dan sikap yang
feminin berupa emosional, pendiam, lembut, lebih memahami perasaan orang
lain/empati, konsumtif/boros, penakut, lebih sensitif, hanya sebagai
pengikut (tidak mampu memimpin).
Penggambaran yang masih bias jender ini, selain terlihat pada peran jenis
kelamin, juga pada jenis permainan atau olahraga, kepemilikan benda, hobi,
hingga eksistensi diri tokoh laki-laki dan perempuan. Kecenderungan utama
yang muncul dalam hal ini, perempuan ditempatkan sebagai individu yang
memiliki banyak "keterbatasan", tersubordinasi, termarjinalkan, dan masih
menjadi "warga kelas dua".
Apakah yang bisa dilakukan untuk menciptakan bahan ajar yang lebih sensitif
jender dan meminimalisir bias jender materi bahan ajar? Hal-hal berikut ini
penulis harapkan menjadi pertimbangan penentu kebijakan dan penyelenggara
pendidikan di Tanah Air.
u Depdiknas Pusat melalui kewenangannya dapat merevisi buku paket yang
mengandung muatan stereotipe jender. Sedangkan Dinas Pendidikan Nasional
Provinsi atau Kabupaten/ Kodya dapat melakukan revisi terhadap materi yang
masih mengukuhkan nilai-nilai jender tradisional dalam bahan ajar muatan
lokal wajib maupun pilihan.
* Perlunya pelatihan atau semiloka tentang materi bahan ajar yang
berperspektif dan berkesetaraan jender bagi penulis bahan ajar, editor
bahasa atau editor materi, dan ilustrator.
* Pelatihan tentang pendidikan yang berwawasan jender juga perlu diberikan
kepada seluruh tenaga pendidik, agar guru dengan kapasitas dan kewenangan
pribadinya sebagai pendidik yang kreatif dapat melakukan proses belajar
mengajar yang lebih responsif dan berkesetaraan jender bersama peserta
didiknya.
* Perlu adanya sosialisasi mengenai materi bahan ajar yang berperspektif
jender kepada semua pihak (terutama masyarakat luas) melalui kegiatan yang
terpadu dengan sekolah, orangtua siswa, atau media massa.
Yayan Sakti Suryandaru Dosen FISIP Universitas Airlangga (Unair) dan staf
peneliti Pusat Studi Wanita Unair, Surabaya