[Nasional-m] Rusia-AS beda + Latar belakang....

Ambon nasional-m@polarhome.com
Wed Sep 18 21:12:07 2002


Suara Karya

Rusia-AS Beda Pendapat Soal Tawaran Irak

Kamis, 19 September 2002
Menteri Luar Negeri Rusia Igor Ivanov mengatakan bahwa Moskow menghendaki
"kembalinya dengan secepat mungkin" para pemeriksa senjata Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) ke Irak, setelah Baghdad menawarkan untuk memperbolehkan
masuknya kembali mereka di tengah-tengah tekanan dunia.
Tetapi Menteri Luar Negeri Amerika Colin Powell mengatakan, masalahnya
bukanlah pemeriksaan, tetapi perlucutan senjata Irak.
"Kami tidak boleh hanya mengambil surat satu-seperempat halaman yang
ditandatangani oleh menteri luar negerinya sebagai akhir dari persoalan ini.
Kami sudah pernah menyaksikan permainan ini sebelumnya," kata Menlu Powell.
Washington tetap pada tuntutannya bagi dikeluarkannya sebuah resolusi Dewan
Keamanan PBB yang baru, yang didukung dengan ancaman aksi kekerasan.
Ivanov dan Powell berbicara kepada wartawan di markas besar PBB di New York
setelah Irak berjanji akan mengizinkan para pemeriksa senjata PBB kembali
masuk ke negara mereka "tanpa syarat".
Tawaran Irak yang muncul di tengah-tengah tekanan militer AS yang semakin
kuat, tampaknya menyebabkan perpecahan di dalam tubuh Dewan Keamanan
PBB -Amerika Serikat dan Inggris menyatakan skeptis dalam hal tawaran Irak
ini, sementara Rusia dan negara-negara lain menyambut baik.
Sekretaris Jendral PBB Kofi Annan memperingatkan bahwa keputusan Irak untuk
mengizinkan masuknya kembali para pemeriksa senjata itu belum cukup. Ia
menegaskan bahwa langkah-langkah lain masih diperlukan untuk memastikan tim
pemeriksa senjata bisa memperoleh akses yang tanpa gangguan ke lokasi-lokasi
yang dikehendaki.
Irak telah dituduh mengembangkan senjata-senjata kimia, biologi dan nuklir
sejak para pemeriksa senjata keluar dari negara itu empat tahun yang lalu.
Perlucutan


Menlu Ivanov juga mengakui bahwa tim pemeriksa senjata PBB harus mampu
memastikan ada tidaknya pengembangan senjata kimia, biologi dan nuklir di
Irak. "Untuk memperoleh fakta-fakta, kita harus mengupayakan kembalinya
dengan secepat mungkin para pemeriksa itu ke Irak," katanya.
Itu sebabnya, dia menekankan, Moskow berpendapat bahwa pekerjaan utamanya
adalah mengupayakan agar para pemeriksa itu -tanpa penundaan yang
dibuat-buat dan tanpa gangguan yang dibuat-buat- harus masuk ke Irak dan
langusng melakukan tugas-tugas mereka.
Ia juga menyatakan bahwa "resolusi khusus" tidaklah dibutuhkan sekarang ini,
setelah Irak menawarkan untuk mengizinkan masuknya kembali para pemeriksa
itu. Namun dia mengakui bahwa semuanya harus dibicaakan di Dewan Keamanan
PBB.
Menlu Powell rupanya tak sependapat dengan Ivanov. Powell mengatakan bahwa
surat yang singkat dari Menteri Luar Negeri Irak Naji Sabri tidak memenuhi
tuntutan PBB dalam hal Irak. "Kami tidak boleh hanya mengambil surat
satu-seperempat halaman yang ditandatangani oleh menteri luar negerinya
sebagai akhir dari persoalan ini. Kami sudah pernah menyaksikan permainan
ini sebelumnya," kata Powell sembari menambahkan, "Ingat, soalnya bukanlah
pemeriksa senjata, soalnya yang terutama adalah perlucutan senjata."
Wakil Perdana Menteri Irak Tariq Aziz mengatakan bahwa janji Baghdad untuk
memperbolehkan masuknya kembali para pemeriksa senjata PBB itu telah
menghapuskan alasan pembenar apapun bagi serangan yang dipimpin AS.
Rusia sepakat dengan mengatakan bahwa ancaman perang telah bisa disingkirkan
dan tidak diperlukan lagi resolusi-resolusi PBB berikutnya.
Tetapi AS kembali menepis tawaran itu dan mengatakannya sebagai permainan
tipuan yang penuh ejekan. Inggris mendukung Amerika, dan Menlunya, Jack
Straw, menegaskan bahwa sebuah resolusi PBB yang baru masih dibutuhkan.
Dua anggota Dewan Keamanan PBB lainnya, Cina dan Perancis, menyambut tawaran
Baghdad ini dan mengatakan "Dewan Keamanan harus memastikan agar Saddam
Hussein benar-benar melakukan apa yang dikatakannya."
Dewan Keamanan PBB diharapkan akan segera membahas masalah Irak ini, tetapi
tampaknya pembicaraan itu ditunda selama beberapa hari pekan ini.
Kini diketahui bahwa Rusia menghendaki agar pembahasan masalah Irak ini
ditunda sampai ada pertemuan bilateral dengan Amerika Serikat di Washington
Kamis mendatang ini. (BBC/M-1)

++++
Di Balik Agresi AS Atas Irak
Oleh Emilia D Triyanti

Kamis, 19 September 2002


Pernyataan bersama antara Presiden Megawati Soekarnoputri dan Presiden Hosni
Mubarak yang dikeluarkan di Kairo, Mesir, Ahad (15/9), menunjukkan bahwa
Indonesia dan Mesir memiliki sikap yang sama menyangkut masalah Irak. Kedua
kepala negara itu sependapat, penyelesaian masalah Irak harus lewat jalur
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Pernyataan bersama tersebut mengimbau agar Irak mematuhi resolusi PBB
mengenai perlucutan senjata pemusnah massal dan mengonfirmasikan perampungan
perlucutan senjata dimaksud. Oleh Amerika Serikat (AS), ke depan Presiden
Irak Saddam Hussein dianggap sangat berbahaya bagi perdamaian dunia,
sehingga harus diredam secepat mungkin. Untuk itu, Presiden George W Bush
telah terobsesi bahkan berusaha ekstra keras untuk menggulingkan rezim
Saddam Hussein.

Dalam skenario Bush, untuk menggulingkan rezim Saddam Hussein, AS memang tak
perlu langsung menyerang Irak, tetapi sementara berkolaborasi dengan pihak
oposisi dalam negeri Irak dan oposisi dari negara-negara Arab tetangganya.
Karena upaya melalui pihak oposisi itu ternyata tidak efektif untuk
menjatuhkan Saddam Hussein, akhirnya AS bernafsu melakukan agresi terhadap
Irak. Sekitar 100 pesawat AS dan Inggris, Kamis (5/9), menyerang instalasi
utama pertahanan udara Irak, 12 pesawat di antaranya menjatuhkan bom-bom
lewat sebuah operasi paling besar di negeri itu dalam empat tahun terakhir.
Padahal, Sekjen PBB Kofi Annan sudah memperingatkan AS untuk tidak bertindak
sendiri, dalam artian harus melalui persetujuan PBB. Menurut Annan, ketika
suatu keputusan perlu diambil untuk menggunakan kekuatan militer berkaitan
dengan ancaman terhadap keamanan dan perdamaian dunia, tidak ada pihak lain
yang berhak memberikan legitimasi kecuali PBB.

Dalam upaya memobilisasi dukungan internasional untuk menyerang Irak, rakyat
AS menginginkan Bush mendapat dukungan penuh dari sekutunya lebih dulu.
Namun hingga kini dukungan dimaksud untuk menggempur Irak nampaknya tidak
diperoleh, kecuali dari PM Inggris Tony Blair. Walaupun prospek serangan ini
disertai dengan doktrin preemtive attack --- yang mengasumsikan AS memiliki
hak untuk menghancurkan sebuah rezim karena kebijakannya --- Bush gagal
mendapat dukungan. Sebab nampaknya dunia mengerti doktrin militer AS itu
justru bisa mengancam perdamaian dunia. Tak heran bahwa Presiden Bush
terpaksa menempuh kompromi dalam pidatonya di PBB, Kamis (12/9), dengan
suatu kalimat "aksi militer ke Irak tak terhindarkan, kecuali PBB melucuti
senjata Saddam Hussein". Uni Eropa, Liga Arab, negara-negara Asia dan Sekjen
PBB Kofi Annan sudah me-nyatakan keberatan atas rencana AS mengempur Irak,
dan rangkaian demonstrasi mengecam AS pun tak terhindarkan.

Strategi Inside Out


Dalam pemerintahan George Bush, kubu yang ingin menyerang Irak secara
militer dan secepatnya mengganti dengan pemerintahan baru di Baghdad, yakni
: Wakil Presiden Dick Cheney, Menteri Pertahanan Donald Rumsfeld, dan Wakil
Menhan Paul Wolfowitz. Ada pun kubu yang cenderung memilih cara non-militer
untuk menggulingkan Saddam Hussein terutama Menteri Luar Negeri Colin
Powell. Menlu Powell, jenderal bintang empat dan mantan ketua gabungan
kepala staf, justru bersikap lebih hati-hati dibanding para tokoh sipil.
Secara tidak langsung, Colin Powell mendapat dukungan dari teman-teman
militernya di Pentagon, Departemen Pertahanan.

Salah satu kebiasaan di Washington jika timbul suatu perbedaan pendekatan
yang mendalam tentang suatu persoalan adalah saling membocorkan informasi.
Maksudnya adalah untuk mempengaruhi opini masyarakat, dan dengan cara
demikian, sekaligus mempengaruhi proses pengambilan keputusan di Gedung
Putih. Gabungan Kepala Staf secara tidak langsung telah mengungkapkan ke
media pers bahwa operasi militer gabungan terhadap Irak memerlukan tingkat
kekuatan dengan logistik militer yang pada tahap sekarang masih sulit
dimobilisasi. Sementara itu, Jenderal Tommy Franks ditugaskan untuk
melakukan rencana persiapan. Dalam struktur komando Militer AS, Tommy Franks
adalah Panglima Komando Wilayah Pusat Dunia oleh AS telah dibagi dalam
beberapa komando. Timur Tengah dan Asia Pusat (negara-negara eks Uni Soviet
dengan nama-nama berakhirkan "kan" berlokasi di sana) termasuk Komando Pusat
(Central Command) yang bermarkas di Florida AS.

Jenderal Franks telah beberapa kali dipanggil ke Gedung Putih untuk
menyajikan paparan tentang rencana penyerangan AS ke Irak. Semua rencana
yang bersifat militer otomatis bersifat rahasia, tetapi bocorannya selalu
ada saja di Washington. Strategi yang ingin diterapkan Jenderal Franks
dikenal dengan sebutan inside out. Dalam strategi ini, Baghdad dan
sekitarnya diserang dari tiga jurusan secara besar-besaran, termasuk
pendaratan pasukan lintas udara. Jika berhasil menjaring Saddam Hussein dan
para pembantu dekatnya, operasi militer dilanjutkan ke beberapa penjuru
wilayak Irak. Majalah mingguan Time malahan menggambar-kan sketsa dari apa
yang diduga sebagai strategi inside out tersebut.

Implikasinya


Cepat atau lambat, serangan AS atas Irak akan menimbulkan dendam dan
kebencian. Nafsu untuk menghancurkan Irak secara berlebihan akan menanam
benih kebencian dan dendam yang bisa menjadi bom waktu. Bukankah Jerman yang
terlalu dipojokkan dalam Perang Dunia I akhirnya membuat ulah yang memicu
terjadinya Perang Dunia II? Sanksi ekonomi yang berlarut-larut hingga kini
membuat Irak semakin tersiksa. Rasa dendam dan benci akan mencuat lebih kuat
jika AS sampai melaksanakan niatnya menyerang Irak. Dapat dipastikan, setiap
serangan militer itu akan menjatuhkan korban jiwa rakyat sipil maupun
kerugian harta benda. Kendati demikian, dalam wawancara dengan televisi Arab
Saudi MBC yang berbasis di Dubai, Jumat (13/9), Wakil Perdana Menteri Irak
Tareq Azis mengatakan: "Irak tidak akan menerima persyaratan yang
disampaikan Bush. Dia ingin melakukan kontrol terhadap Irak, dia
menginginkan minyak kami, dan dia ingin melindungi Israel".

Irak yang sudah tak berdaya akibat Perang Teluk jelas makin menderita bila
digempur kembali. Kondisi Irak sekarang sangat memrihatinkan karena rakyat
di sana terancam kelaparan hebat. Kelangkaan pangan dan kekurangan gizi
membahayakan hidup jutaan anak-anak. Secara kemanusiaan, Irak sangat
membutuhkan bantuan dunia luar, bukan perang. Dunia makin menyalahkan AS
karena serangan sekecil apa pun selalu menimbulkan korban jiwa dan kerugian
harta benda. Meski tujuan utama serangan untuk menggulingkan Presiden
Saddam, tetapi kerugian terbesar akan dihadapi rakyat Irak secara
keseluruhan. Sementara itu, Tareq Azis kembali menolak tuduhan bahwa Irak
mengembangkan senjata pemusnah massal. Ia menegaskan, Baghdad tidak memiliki
senjata kimia, biologi atau nuklir, serta menilai Bush gagal membuktikan
tuduhannya.

Secara global, silang pendapat sekitar rencana serangan AS ke Irak telah
menimbulkan ketegangan. Kontroversi itu bisa membuat dunia terpecah-pecah,
bahkan sudah ada tanda-tanda isu serangan ke Irak berdampak buruk dalam
berbagai bidang yang lain. Lantai bursa saham New York misalnya, sudah
dilanda sentimen negatif akibat rencana serangan ke Irak. Nilai saham
gabung- an anjlok, yang membawa imbas ke pasar saham dunia, termasuk Asia.
Pasar saham dan perekonomian dunia dipastikan akan cepat memburuk, jika AS
melaksanakan niatnya menyerang Irak. Juga membahayakan komplikasi dalam
bidang politik, sebab bangkitnya prasangka politik dan ideologis justru
mempersulit upaya menciptakan ketenteraman dan perdamaian dunia. Dalam
wawancara dengan New York Times awal bulan ini, Presiden Prancis Jacques
Chirac meminta Dewan Keamanan PBB untuk memberi Baghdad waktu tiga pekan
untuk mengijinkan tim inspeksi senjata PBB masuk ke wilayah Irak guna
membuktikan bahwa Irak tak memiliki senjata pemusnah massal. Di samping itu,
mencari solusi politis dengan Irak serta segera menyelesaikan masalah
krusial Palestina - Israel secara tuntas, juga masuk akal dan merupakan
harapan komunitas internasional untuk menciptakan dunia yang lebih aman dan
beradab.

Mengincar Minyak Irak

Sementara orang menyebut Saddam Hussein sebagai penguasa brutal -- karena
sering mengeksekusi siapa saja yang menantang kekuasaannya, tetapi Saddam
telah menggunakan kekayaan minyak Irak untuk membangun negerinya. Pesatnya
pembangunan infrastruktur negeri secara dramatis mentransformasikan Irak
dalam segi standar hidup penduduk. Kebijakan pembangunan populis ini dan
upaya mendekatkan kesenjangan antara the haves dengan the haves not di sana
telah membantu menjelaskan popularitas Saddam di mata rakyatnya dan di
kalangan kelas bawah masyarakat dunia Arab.

Sikap keras AS terhadap pemerintahan Saddam Hussein nampaknya lebih didikte
kebutuhan mengontrol minyak Irak, seperti terungkap dari pernyataan mantan
Menteri Luar Negeri AS semasa pemerintahan George Bush senior, James Backer
: "The real conflict was over the 'jobs' and President Bush said it was
about access to energy resources and our way of life". Dengan memiliki 11
persen cadangan minyak dunia, Irak merupakan produsen minyak terbesar
setelah Arab Saudi. Dan cadangan minyak di kawasan itu masih akan bertahan
lama dibanding cadangan di belahan dunia lain, dengan biaya produksi yang
lebih murah.

Ketergantungan pasokan minyak dari Teluk harus dilihat juga dalam kaitannya
dengan permintaan minyak di Barat dan dunia umumnya yang terus meningkat.
Sementara ekonomi AS yang "sakit" membuat negara kapitalis itu semakin
sensitif terhadap kenaikan harga minyak. Maka tidak mengherankan bahwa
kepentingan vital AS di Teluk diartikan sebagai kelancaran aliran minyak
yang dimungkinkan dengan mengontrol rezim-rezim di kawasan tersebut. ***

(Emilia D Triyanti, pemerhati masalah politik internasional).