[Nasional-m] Free Trade Zone Batam, Sebuah Keharusan

Ambon nasional-m@polarhome.com
Wed Sep 18 21:12:01 2002


Suara Karya

Free Trade Zone Batam, Sebuah Keharusan
Oleh Triamita

Kamis, 19 September 2002
Rancangan Undang-undang (RUU) Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas
Batam atau Free Trade Zone, tengah dibahas para wakil rakyat di Komisi V DPR
RI sebagai usul inisiatif anggota dewan. Mengapa menjadi usul inisiatif?
Dalam persoalan ini, para wakil rakyat berpandangan bahwa, menjadi sangat
penting penetapan status hukum Pulau Batam dalam rangka kesinambungan arus
investasi asing yang terus masuk ke kawasan itu.
Pembahasan secara resmi RUU Usul Inisiatif anggota dewan dimulai 5 September
lalu, lewat Sidang Paripurna DPR RI yang berisi tanggapan fraksi-fraksi
terhadap draf RUU, atau lebih dikenal dengan sebutan UU Free Trade Zone
(FTZ) Batam. Tanggapan fraksi-fraksi cukup beragam, namun akhirnya bermuara
sama. Yakni, setuju melakukan pembahasan untuk menggolkan RUU FTZ Batam
menjadi sebuah UU.
RUU FTZ Batam pada dasarnya adalah perangkat hukum yang hendak dijadikan
dasar untuk meningkatkan status kawasan pulau itu. Saat ini Batam sebagai
kawasan berikat atau bonded zone menjadi kawasan perdagangan bebas atau free
trade zone. Peningkatan status berkait dengan strategi untuk mengantisipasi
era globalisasi dan perdagangan bebas (AFTA) tahun 2003. Asumsinya, dengan
status FTZ yang mensyaratkan pemberian perlakuan khusus kepada investor,
maka gairah berinvestasi di Batam bakal meningkat pesat.
Urgensi peningkatan status juga tak terlepas dari deretan prestasi dan
kinerja positif Batam selama ini. Dengan total investasi yang kini mencapai
8,8 miliar dolar AS dan pertumbuhan ekonomi sebesar 7,6 persen (sampai
kuartal I 2002), Batam telah tumbuh menjadi lokasi investasi yang memiliki
daya saing tinggi di kawasan Asia Pasifik. Dari total investasi tadi, 78
persen merupakan investasi swasta --asing maupun domestik-- dan 22 persen
investasi pemerintah. Rasio ini menunjukkan, investasi yang ditanam
pemerintah berkemampuan menumbuhkan investasi swasta sebesar 3,5 kali lipat.
Investasi Meningkat


Meningkatnya investasi asing secara signifikan, bahkan telah menempatkan
Batam sebagai satu-satunya wilayah di Indonesia yang terus meningkat
realisasi penanaman modal asing (PMA)-nya. Hingga kini, tercatat 567 PMA
yang telah masuk dan beroperasi di Batam. Besarnya jumlah PMA yang masuk dan
terus bertahan, menunjukkan masih tingginya kepercayaan internasional
terhadap Indonesia dan khususnya terhadap pengelolaana Batam.
Dinamika industri di Batam telah pula mendorong multiplier effect, seperti
tampak dari tumbuhnya sektor usaha kecil dan menengah (UKM). Dewasa ini,
tercatat 8.000 UKM yang beroperasi di Batam dengana berbagai jenis usaha.
Mempekerjakan sekitar 165 ribu tenaga kerja formal dan 50 ribu tenaga
informal. Ini menunjukkan kontribuksi Batam dalam menyediakan lapangan kerja
baru, untuk mengurangi tingkat pengangguran yang tinggi di tanah air.
Selain didukung infrastruktur yang memadai untuk melakukan aktivitas
perdagangan berskala global, prestasi di atas juga tidak lepas dari fakta:
Batam --secara de facto-- sebenarnya sudah menerapkan fungsi-fungsi FTZ.
Legalisasi formal lewat UU diperlukan, terutama untuk memberikan kepastian
hukum kepada investor. Suatu kondisi yang jelas sangat dibutuhkan untuk
menciptakan iklim investasi yang kondusif maupun peningkatan daya saing.
Secara umum, penerapan FTZ tentu memiliki manfaat langsung maupun tak
langsung. Kecuali berpotensi meningkatkan PMA, manfaat langsung FTZ juga
mengait pada penciptaaan lapangan kerja, peningkatan pendapatan devisa
negara, dan peningkatan penerimaan negara melalui pajak-pajak langsung.
Manfaat tak langsung antara lain, pada kemampuannya menjadi katalisator
ekonomi domestik multiplier effect, spin off dan spin over effect),
menumbuhkan industri/UKM dalam negeri, dan meningkatkan kualitas sumber daya
manusia (SDM) melalui penguasaana teknologi dan keterampilan.
Diyakini, efek yang muncul akan mendorong peningkatan penerimaan pemerintah
seperti pajak penghasilan (PPh) ke pemerintah pusat, penghasilan daerah Kota
Batam, penghasilan pengelolaan Batam, dan pendapatan lain. Juga, memudahkan
dilakukannya backward linkages dan spin over effect. Penadpatan asli daerah
dari Pemerintah Kota (Pemko) Batam yang terus membesar dari tahun ke tahun,
niscaya juga dapat menjadi sumber pembiayaan pembangunan hinterland
pulau-pulau sekitar Batam.
Penetapan FTZ Batam sekaligus merupakan salah satu pemenuhan komitmen
Indonesia kepada dunia. Khususnya, untuk mewujudkan suatu sistem yang dapat
memacu pembangunan ASEAN Free Trade Area (AFTA) pada 2003. Di tengah arus
perekonomian global yang semakin menguat, AFTA dipandang sebagai pilihan
yang tidak dapat dihindari. Konsekuensinya, pengurangan dan penghapusan
berbagai bentuk pungutan (tariff and non-tariff barriers) harus dilakukan,
sehingga kawasan perdagangan bebas yang kompetitif bisa diwujudkan.
Yang tidak kalah penting, dengan status FTZ juga dapat diantisipasi prospek
dan peluang bisnis yang sangat besar. Batam tidak saja akan menajdi pintu
masuk utama (main gate) investasi dan bisnis negara-negara ASEAN. Ia juga
akan menjadi pusat perdagangan, industri pariwisata, dan jasa keuangan
internasional. Ini bukan semata karena strategisnya lokasi Batam (dekat
Singapura), melainkan karena investor sendiri menyadari adanya competitive
advantage dari Batam yang merupakan kombinasi dari berbagai unsur. Selain
lokasi yang strategis, juga dukungan pengelolaan perizinan yang cepat dan
efektif, pelabuhan bebas dari pungutan liar, serta ongkos produski yang
kompetitif.
FTZ Dan Otonomi Daerah


Mengutip draf RUU, pengelolaan FTZ Batam nantinya akan dikoordinir oleh
Dewan Kawasan (DK). DK ditetapkan, diangkat, dan bertanggung jawab kepada
presiden. Sebagai pelaksana, DK akan membentuk Badan Pengusahaan Kawasan
(BPK). Badan ini bertugas dan berwenang melaksanakan pengelolaan,
pengembangan, dan pembangunan kawasan Batam sesuai dengan fungsi-fungsi
kawasan Batam. BPK bertanggung jawab kepada DK.
Struktur lembaga pengelolaa FTZ yang seperti itu, kiranya sudah tepat dan
efektif. Belajar dari pengalamana Meksiko (yang sudah menjalankan FTZ sejak
1965), struktur pengelola FTZ memang mesti menempatkan pemerintah pusat pada
level tertinggi. Meksiko memberlakukan FTZ dengan beberapa sistem, yakni
bilateral, trilateral, dan multilateral (bebas) dengan merujuk pada NAFTA.
Penetapan sistem dan peraturan FTZ bisa berbeda-beda di tiap negara bagian.
Namun, penentuan dan pengawasannya dilakukan oleh pemerintah federal
(Pusat).
Bagaimana dengan Batam? Dalam pembahasan di tingkat interdep (pemerintah),
disepakati, BPK nantinya merupakan kesinambungan dari Badan Otorita Batam
(BOB) --penanggung jawab pembangunan dan pengembangan kawasan industri di
Batam selama ini. Perbedaan pendapat terjadi menyangkut siapa figur atau
instansi yanag paling tepat menjadi Ketua Dewan Kawasan. Cukup Gubernur
(Riau) atau Menko Perekonomian? Menilik sifat FTZ yang lintas-instansi dan
pengelolaan yang terintegrasi dalam policy, kiranya lebih tepat jika Menko
Perekonomian yang menempati posisi sebagai Ketua atau Koordinator
DK --dengan Gubernur sebagai ketua hariannya.
Masalah lain yang tidak kalah sensitif, yakni menyangkut fungsi dan
kewenangan Pemko Batam yang memang harus diadopsi sebagai wujud dari
pelaksanaan otonomi daerah. Sekadar catatan, sejak diberlakukannya UU Noa
22/1999 yang mengatur kewenangan daerah otonom, penyelenggaraan sebagian
tugas kewenangan dan fungsi yang selama ini dilakukan oleh BOB telah
dialihkan kepada Pemko. Masalahnya, dalam praktik, masih kerap terjadi
tumpang tindih yang menimbulkan kebingungan di kalangan investor.
Realitas ini seharusnya tidak terjadi. Sebab, UU No 53/1999 yang menjadi
dasar pembentukan Kota Batam, telah secara tegas menyebut perlunya
pengaturan hubungan kerja antara Pemko dalam penyelenggaraan pemerintahan
dan pembangunan. Dalam Pasal 21 ayat (1), UU tersebut bahkan spesifik
menyatakan: "pengaturan hubungan kerja kedua institusi diwujudkan dalam
bentuk Peraturan Pemerintah (PP)."
Atas dasar itu, pemerintah semestinya merespon ihwal ini. Membiarkannya
berlarut-larut dalam ketidakpastian, sama artinya dengan membiarkan
terjadinya gangguan terhadap iklim usaha dan investasi yang sedang membaik.
Satu kondisi yang bukan mustahil, dapat merusak momentum pertumbuhan kawasan
Batam. Karenanya, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Hubungan
Kerja Pemko Batam dan BOB --sudah berada di Sekretariat Negara-- semestinya
segera diterbitkan.
PP Hubungan Kerja ini tidak hanya penting untuk mengakhiri saling klaim para
pihak, bahkan campur tangan pihak lain (misalnya, Kementerian BUMN yang
hendak mengambil alih pengelolaan pelabuhan dan bandara dari BOB kepada PT
Pelindo II dan PT Angkasa Pura II). PP ini juga diharapkan dapat mengakhiri
klaim-klaim satu pihak --dengan mengatasnamakan UU-- untuk memosisikan pihak
lain di bawah subordinasinya.
Realitas kemajuan Batam yang menggembirakan, seharusnya justru dimanfaatkan
oleh Pemko untuk menjalin kerja sama yang sebaik-baiknyaa dengan
BOB --sebagaimana amanat Pasal 21 UU No 53/1999-- demi menjaga dan mencapai
pertumbuhan ekonomi yang terus meningkat di Batam. Kondisi demikian, pada
gilirannya dapat mengarahkan BOB untuk lebih fokus pada tugas pokok, tanpa
mengesampingkan perannya dalam menunjang penanganan masalah sosial yang
berkaitan dengan upaya menciptakan iklim investasi yang kondusif.
Yang penting dipahami, konsep FTZ sebenarnya dapat berjalan beriringan
dengan konsep otonomi daerah, bahkan saling memperkuat. Dengan FTZ,
misalnya, daerah dengan sendirinya akan memperoleh manfaat besar. Sebab,
dengan status FTZ, fasilitas dari puat yang tidak termasuk dalam kewenangan
daerah --sebagaimana tertuang dalam UU 22/1999-- masih dapat diperoleh,
seperti fasilitas kepabeanan dan perpajakan.
Namun perlu disadari, kelembagaan FTZ (yang menjalankan kewenangan
pemerintah pusat di daerah) juga harus sejalan dengan semangat otonomi
daerah, agar terjadi sinergi antara Pemko dengan Badan Pengusahaan
Kawasan/BPK FTZ. Mengingat sifat FTZ yang harus mampu bersaing dengan
kawasan sejenis di dunia, mau tak mau BPK harus bekerja profesional dengan
dukungan penuh dari pemerintah pusat. Sedangkan, agar berfungsi efektif dan
efisien, Pemko dan BPK harus bersinergi agar kebijakan-kebijakan yang
diambil tidak saling tumpang tindih.
Lahirnya UU FTZ Batam sekaligus berfungsi sebagai landasan hukum yang akan
memperkuat pemilahan fungsi dan wewenang kedua institusi --melengkapi PP
Hubungan Kerja. Karenanya, menyegerakan pembahasan dan pengesahan UU FTZ
Batam merupakan keharusan. Selain melihat besarnya peluang Batam memainkan
peran dalam mekanisme pasar bebas, juga ketepatan momentum pertumbuhan di
kawasan ini, keterlambatan dalam menyiapkan regulasi bukan mustahil akan
melahirkan situasi yang kontraproduktif.
(Triamita, pengamat ekonomi dan sosial, tinggal di Batam).