[Nasional-m] Ekonofisika atau Sosioekonomi, Mana yang

Ambon nasional-m@polarhome.com
Mon Sep 16 23:48:11 2002


Kompas
Selasa, 17 September 2002

Ekonofisika atau Sosioekonomi, Mana yang Paling Dibutuhkan Indonesia?
Oleh Mubyarto

HARIAN Kompas (2/9/2002) memuat tulisan Dr Yohannes Surya, Ekonofisika
Gabungan Ekonomi dan Fisika? Bahwa judul tulisan diberi tanda tanya mungkin
penulisnya sendiri masih belum yakin benar tentang Ekonofisikanya atau belum
yakin apakah Ekonofisika merupakan gabungan antara (ilmu) ekonomi
dan fisika.
Harus diakui, tulisan itu sama sekali tidak berusaha menyimpulkan
kemungkinan manfaat ilmu baru ini bagi Indonesia. Namun, karena menunjuk
Konferensi Internasional Ekonofisika di Bali 29-31 Agustus, dan saya hadir
pada International Public Seminar of The Year tentang Ekonofisika di Jakarta
27 Agustus 2002, kiranya penulisnya (Dr Yohannes Surya) patut membayangkan
kemungkinan penerapannya di Indonesia.
Sejak awal perlu disebutkan, ekonofisika bukan ilmu ekonomi baru dengan
meminjam peralatan analisis ilmu fisika tetapi penerapan ilmu fisika dengan
menggunakan data-data ekonomi terutama data-data keuangan dan pasar modal.
Hal-hal yang memicu berkembangnya ekonofisika adalah "karena makin banyak
dan kompleksnya data ekonomi. Fisikawan dalam ekonofisika diharapkan dapat
memberi pandangan-pandangan baru (insight) untuk menjelaskan gejala-gejala
aneh dalam fluktuasi ekonomi yang amat kompleks dan melakukan prediksi ke
depan guna pemecahan masalah-masalah itu."
Oleh karena ekonofisika bukan ilmu ekonomi baru, tetapi ilmu fisika terapan
baru, maka tidak banyak pakar ekonomi tertarik untuk hadir dalam seminar di
Jakarta. Beberapa yang hadir pun tidak merasa perlu aktif dalam diskusi.
Namun, yang menarik, wartawan yang hadir rupanya amat tertarik menerapkan
ilmu baru itu guna membantu mengatasi "krisis ekonomi" atau krisis keuangan
yang sudah lima tahun melanda Indonesia. Bahkan, dalam konferensi pers
banyak wartawan yang meminta pandangan pakar-pakar internasional untuk bantu
menciptakan iklim yang dapat mengundang investor ke Indonesia.
Nasihat-nasihat mereka, oleh sejumlah wartawan dianggap "sangat cocok" bagi
Indonesia sehingga Tajuk Rencana (Kompas, 29/8) ikut mengutip pandangan yang
dianggap tepat itu, padahal pakar yang bersangkutan belum pernah mempelajari
masalah-masalah ekonomi Indonesia.
Pembicara seminar sehari di Jakarta semuanya pakar-pakar asing, dan
pakar-pakar Indonesia anggota Indonesian Finance Association hanya menjadi
moderator atau pendamping. Dari seluruhnya, lima pembicara tamu, hanya satu
orang fisikawan dan empat lainnya ekonom, dua di antaranya (Steve Keen dari
Australia dan Paul Ormerod dari Inggris) sudah menerbitkan buku yang
menyerang habis-habisan teori ekonomi Neoklasik. Steve Keen dengan bukunya
Debunking Economics (2001) dan Paul Ormerod, The Death of Economics (1994).
Penganjur ekonofisika yang mayoritas ekonom ini berarti, rupanya ekonom yang
lebih berkepentingan terhadap ekonofisika, bukan fisikawan. Inilah yang
sejak awal sudah memprihatinkan. Para anggota Indonesian Finance Association
rupanya ingin memanfaatkan ekonofisika bagi pengembangan profesi mereka yang
dianggap akan makin meningkatkan prestise dan akhirnya memberi "penghasilan
uang" lebih tinggi bagi para pakar dan praktisinya.
***
KETIKA saya ditanya wartawan apakah ilmu fisika baru ini dapat diterapkan
dan berguna bagi Indonesia, saya menyatakan kesangsian saya, mungkin dapat
diterapkan di bidang keuangan/pasar modal atau perbankan, tetapi saya sangsi
untuk bidang-bidang ekonomi lain.
Yang selanjutnya saya risaukan adalah siapa, lembaga ilmiah apa atau
organisasi profesi apa di Indonesia yang patut meneliti dan "waspada" atas
kehadiran ilmu-ilmu baru seperti ekonofisika ini. Apakah LIPI atau AIPI
tidak sepatutnya mengambil langkah-langkah untuk membahasnya?
Profesor Iskandar Alisyahbana dari ITB yang juga hadir dalam seminar, sama
risaunya dengan saya tentang sangat kurangnya ilmuwan Indonesia bereaksi
atau berprakarsa menanggapi peristiwa-peristiwa ilmiah seperti ini dengan
akibat bangsa Indonesia "tertinggal" dalam bidang ilmu apa saja dibanding
negara-negara tetangga seperti Malaysia dan India.
Dalam hal ilmu ekonomi telah lebih dari dua dekade kami prihatin tidak
berkembangnya ilmu ekonomi yang benar-benar bermanfaat (realistis dan
relevan) bagi kemajuan bangsa Indonesia. Dalam krisis moneter yang telah
menjadi berdimensi banyak sekarang ini di Indonesia, kami mendambakan
bersatunya kembali ilmu ekonomi dan ilmu sosiologi-antropologi yang telah
"bercerai" dalam tiga dekade terakhir, karena pakar-pakar ekonomi merasa
lebih terbantu matematika.
Saya amat kawatir, pakar-pakar ekonomi dan keuangan Indonesia yang mulai
tertarik pada ekonofisika mengira, ilmu baru inilah (gabungan ekonomi dan
fisika) yang lebih diperlukan untuk membantu mencari jalan keluar dari
krisis multidimensi. Padahal, saya sendiri percaya, ilmu ekonomi lebih
memerlukan "rujuk" kembali dengan ilmu-ilmu sosiologi dan antropologi.
Mudah-mudahan pakar-pakar ekonomi Indonesia tidak berubah keyakinannya bahwa
ilmu ekonomi tetap merupakan ilmu sosial, ilmu tentang perilaku manusia
bukan ilmu eksakta matematika atau ilmu fisika.
Kami tidak sependapat, salah satu cita-cita ekonofisika seperti dikemukakan
Dr Steve Keen adalah memisahkan ideologi dari ilmu ekonomi dan menjadikan
ilmu ekonomi lebih realistis. Mungkin benar fisika lebih realistis ketimbang
matematika. Tetapi sebagai ilmu sosial, realisme ilmu ekonomi tetap bukan
yang lebih sesuai dengan alam tetapi harus yang lebih sesuai dengan
sifat-sifat hakikat manusia, yaitu moral, pikiran, dan perbuatannya.
Kami imbau rekan-rekan anggota LIPI dan AIPI untuk membahasnya secara
serius.
MUBYARTO Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Search :










Berita Lainnya :
•Ekonofisika atau Sosioekonomi, Mana yang Paling Dibutuhkan Indonesia?
•Membangun Kepekaan Sejarah yang Nyata
•Perbaikan Manajemen Kelas Susul Kenaikan Tunjangan Fungsional
•POJOK
•REDAKSI YTH
•Sayang, KAHMI Pecah
•TAJUK RENCANA