[Nasional-m] Politik Uang Politik Sesat

Ambon nasional-m@polarhome.com
Tue Sep 17 00:00:16 2002


Media Indonesia
EDITORIAL
Selasa, 17 September 2002

Politik Uang Politik Sesat

GAUNG pemilihan Gubernur DKI Jakarta belum juga surut. Setelah ribut-ribut
soal pencalonan kembali Sutyoso oleh PDIP melalui surat resmi Presiden
Megawati Soekarnoputri, kini kemenangan Bang Yos--Sutiyoso senang dipanggil
seperti itu--belum membuat tenang. Pasalnya, seorang calon yang kalah,
Mahfudz Djaelani, mengaku telah menghabiskan Rp200 juta untuk melobi 40
anggota DPRD agar berpihak padanya.
Masa uji publik selama tiga hari berakhir kemarin. Menurut panitia
pemilihan, tidak ada satu pun pengaduan yang mengindikasikan telah terjadi
politik uang. Tetapi, di saat yang sama sejumlah organisasi mendatangi DPRD.
Mereka mendesak agar hasil pemilihan Gubernur DKI dibatalkan karena besarnya
gelagat permainan uang.
Dua pernyataan yang bertolak belakang tentang penyakit kronis yang diyakini
ada, tetapi sulit dibuktikan. Menurut versi panitia, money politics dianggap
sah kalau ada yang mengaku memberi dan ada yang mengaku menerima. Syarat
yang dianggap mustahil bisa dipenuhi karena membutuhkan para martir yang
rela menggorok leher sendiri.
Di sisi yang lain, menurut kalangan organisasi massa, keyakinan tentang
money politics bisa dijadikan dasar untuk membuktikan kecurangan. Karena
itu, pengakuan seorang Mahfudz Djaelani harus diterima sebagai informasi
berharga.
Kalau mengikuti jalan pikiran panitia, pemilihan gubernur pasti bersih.
Karena sudah pasti tidak akan ada kuitansi, tidak akan ada bukti transfer
uang. Semuanya rapi. Jalan pikiran ini mengandalkan pengakuan, bukan
pengusutan.
Inilah jalan pikiran yang menyuburkan korupsi. Fakta dikalahkan kecerdikan
proses. Seharusnya aparat kejaksaan dan polisi berpegang pada asas
pembuktian terbalik. Bukan pembuktian yang bisa menyeret seorang menjadi
terdakwa, tetapi orang-orang yang berpura-pura bersih harus dikejar sampai
dia kehilangan akal untuk menutupi penipuannya. Ini yang tidak pernah diberi
kesempatan dalam sistem berpikir hukum kita. Mengapa? Karena para legislator
ketakutan membuka borok sendiri.
Pemilihan gubernur di berbagai provinsi, diakui atau tidak, adalah arena
permainan uang. Pemilihan bupati di banyak daerah adalah kesempatan emas
bagi anggota Dewan menggelembungkan pundi-pundinya. Persekongkolan jahat ini
mendapat persemaian subur dalam sistem pemilihan melalui perwakilan.
Wabah yang menerpa cita dan rasa secara nasional ini tetap saja dibantah
sebagai kebohongan. Politik uang lama kelamaan dianggap sebagai khayalan
orang iseng, hanya karena kita tidak mampu membuktikannya. Kalau secara
sistemik kita menyerah pada cara berpikir seperti ini, berarti kita telah
mematikan kehendak untuk memerangi korupsi dan kolusi serta nepotisme.
Karena itu, sebuah penyakit yang berurat akar harus diperangi secara
sistemik. Artinya, harus ditemukan sistem baru yang mencegah kebohongan dan
kecurangan.
Kita sebenarnya telah menemukan sistem itu, yaitu pemilihan langsung dari
presiden sampai bupati. Inilah jalan emas untuk mengakhiri money politics.
Karena sang calon, entah presiden, entah gubernur, entah bupati, tidak bakal
mampu membayar puluhan bahkan ratusan juta pemilih untuk berpihak padanya.
Pada 2004 kita akan memilih presiden secara langsung. Tetapi, wakil-wakil
rakyat tetap berharap ada satu proses (pemilihan tahap kedua) yang mengatur
agar pemilihan presiden bisa dilakukan anggota MPR dan DPR. Ini adalah
pikiran korup, pikiran sesat.