[Nasional-m] Mempertimbangkan Spirit Agama Lokal

Ambon nasional-m@polarhome.com
Sat Sep 7 23:00:54 2002


SUARA PEMBARUAN DAILY

Mempertimbangkan Spirit Agama Lokal

Khamami Zada
gama di Indonesia sejatinya telah lama menjadi bagian yang tak terpisahkan
dari kehidupan masyarakat. Bahkan, sudah beribu-ribu tahun nenek moyang kita
melaksanakan ritual-ritual kepercayaan yang mencerminkan keberagamaan yang
tulus. Itu sebabnya, kita dikenal sebagai bangsa religius, bangsa yang
beragama.
Hal itu dibuktikan dengan bebasnya masyarakat memeluk suatu agama, tanpa
larangan dari pemerintah. Begitu pula dengan Ketetapan Sidang Tahunan (ST)
MPR 2002 kemarin yang mencantumkan aliran kepercayaan dalam Pasal 29 Ayat 2.
Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Keputusan itu menunjukkan betapa aliran kepercayaan tetap diakui sebagai
bentuk keberagamaan masyarakat Indonesia yang sah. Namun demikian, realitas
politik kita tetap saja hanya mengakui lima agama sebagai agama resmi
negara; Islam, Protestan, Katolik, Hindu dan Buddha. Itu dapat dilihat dari
Surat Edaran Mendagri Nomor 477/74054 Tanggal 18 November 1978 yang hanya
mengakui Islam, Katolik, Protestan, Buddha dan Hindu.
Surat edaran itu seakan membatasi berkembangnya agama lain, yang
sesungguhnya juga dianut oleh sebagian masyarakat. Baru pada masa
pemerintahan Gus Dur, Surat Edaran Mendagri itu dicabut dengan Keppres Nomor
6 Tahun 2000 yang mengakui Konghucu sebagai agama resmi. Itu pun masih
bersifat setengah hati, mengingat pada hari besar Konghucu hanya diberikan
libur secara fakultatif.
Hal ini menunjukkan bahwa kebebasan beragama belum sepenuhnya menjadi
kesadaran negara untuk memberikan ruang bagi agama-agama lain singgah di
hati masyarakat Indonesia. Padahal, nenek moyang kita sudah lama memberikan
pelajaran berharga tentang bagaimana menjaga pluralitas kepercayaan beragama
dan mengakomodasi semua kepercayaan beragama secara baik.
Hampir tidak pernah kita temukan dalam sejarah terjadinya penolakan terhadap
agama baru. Atau bahkan tidak pernah terjadi konflik antarkepercayaan
masyarakat. Yang justru terjadi adalah konflik antaragama yang resmi diakui
negara. Islam-Kristen dan Hindu-Buddha pernah mewarnai sejarah kelabu
hubungan antarumat beragama. Yakni, konflik antaragama sudah tidak bisa
dihitung berapa kali terjadi.
Agama Resmi
Sejatinya, aliran kepercayaan adalah agama yang hidup di dalam komunitas
adat. Dengan kata lain, aliran kepercayaan adalah agama lokal, yang
ditemukan sendiri oleh masyarakat Indonesia. Beribu-ribu kepercayaan yang
hidup di dalam suku Jawa, Batak, Dayak, Asmat, dan suku-suku terpencil
lainnya adalah ekspresi beragama yang ditemukan sendiri berdasarkan
pergumulannya dengan alam sekitarnya. Karena itu, kepercayaan kepada Tuhan
yang diekspresikan ke dalam ritual-ritual masyarakat adat pada dasarnya
adalah agama. Dalam konteks ini, agama bukan sekadar agama Semitis; yang
memiliki Kitab Suci dan Pembawa Risalah seperti misalnya, Islam, Kristen,
Hindu dan Buddha. Bukankah selama ini kita hanya menganggap lima agama itu
yang bisa disebut sebagai agama resmi negara, sehingga muncul agama baru,
seperti Konghucu, Shinto, dan Baha'i tidak diakui oleh negara.
Realitas itu menunjukkan terjadinya penunggalan tafsir apa itu agama, yang
sekadar memenuhi unsur-unsur mekanik dalam agama, bukan makna substansial
yang mendasari kepercayaan terhadap Tuhan. Karena itu, kepercayaan kepada
Tuhan tanpa dibuktikan dengan Kitab Suci dan Nabi adalah sesat dan tidak
diakui oleh negara. Padahal, agama sebagaimana dikemukakan EB Taylor lebih
merupakan sebagai kepercayaan kepada makhluk spiritual, yakni Tuhan. Tentang
bentuknya yang berbeda-beda, sangat bergantung pada pengalaman spiritual
manusia terhadap alam sekitarnya. Itu sebabnya, di dalam masyarakat adat
banyak sekali ritual-ritual yang berhubungan dengan kekuatan supranatural.
Atas dasar itu, agama tidak bisa dimaknai secara birokratis-mekanik,
melainkan lebih didefinisikan secara substansial sebagai bentuk kepercayaan
kepada Tuhan. Dengan demikian, tidak sepantasnya agama lokal sebagai bagian
dari keberagamaan masyarakat Indonesia diabaikan begitu saja. Agama lokal
justru penting untuk dilestarikan demi pluralitas agama-agama di Indonesia.
Bukankah, agama lokal tidak memiliki tradisi konflik sehingga lebih mudah
memayungi spirit perdamaian, sebaliknya agama resmi justru banyak memiliki
tradisi konflik.
Jika diamati fenomena konflik antaragama yang terjadi di dalam masyarakat
kita sekarang ini menunjukkan betapa agama ikut menjadi pemicu konflik, dan
itu biasanya terjadi pada agama-agama resmi. Konflik antaragama yang terjadi
di Indonesia misalnya sering kali melibatkan agama resmi; Islam dan Kristen.
Lihat saja konflik di Ambon yang sudah tiga tahun lebih berkecamuk belum
juga reda. Poso juga mengalami hal yang sama; terjadi konflik antaragama.
Barangkali inilah kelemahan agama resmi, yang selalu saja menampilkan
kekerasan di dalam pergaulan lintas agama. Konflik antaragama sering kali
justru terjadi pada agama resmi, sedangkan agama lokal yang diyakini oleh
etnik atau komunitas adat tertentu tidak mengalami hal yang sama dengan
agama resmi.
Agama lokal tampak lebih toleran dengan perkembangan agama di luarnya.
Sedangkan agama resmi selalu mempertautkan dirinya dengan kekuasaan;
terutama menyangkut masa depan pengikut dan sumber-sumber ekonomi-politik
yang didapat darinya. Pada gilirannya, agama resmi sering kali mengalami
benturan dan konflik yang berkepanjangan. Hal itu disebabkan, agama-agama
resmi sering kali mempersempit universalitas ajaran Tuhan sehingga yang
muncul adalah klaim kebenaran yang bisa berujung pada sikap fanatisme,
militan, dan radikal.
Hal itu membuktikan bahwa relasi kuasa agama-agama resmi tidak bisa
dihindarkan lagi, terutama untuk memperkuat eksistensinya. Lagi pula, sifat
umum dari agama resmi adalah mengajarkan dakwah (misionaris). Agama-agama
resmi biasanya cenderung lebih banyak mengembangkan misionaris, kecuali
Yahudi. Islam dan Kristen adalah agama dakwah, yang dituntut kepada kaumnya
untuk menyebarkan agamanya. Itu sebabnya, eksistensi agama resmi sangat
ditentukan dari bagaimana dakwahnya bisa mempengaruhi umat. Berbeda dengan
agama lokal, yang hanya dianut oleh komunitas adat secara khusus, sehingga
tidak melibatkan kuasa sebagai media untuk memperkuat eksistensinya.
Karena itulah, agama lokal lebih menampilkan karakternya yang elegan. Agama
lokal atau meminjam EB Taylor, agama dasar (kemudian disebut Deis) adalah
agama yang sederhana dan dianut oleh bangsa manusia. Agama ini terdiri atas
kepercayaan pada Tuhan sang Pencipta yang menjadikan dunia dan kemudian
menyerahkannya pada hukum-hukum dasarnya sendiri. Yakni, suatu kode moral
yang diberikan untuk membimbing manusia, dan janji akan kehidupan setelah
mati, jika mereka berbuat baik dan menghindari kejahatan. Bagi kaum Deis,
kepercayaan sederhana yang elegan ini merupakan keimanan makhluk manusia
yang paling awal.
Harapan kita semua adalah mendapatkan kembali spirit agama yang asli ini dan
hidup dengannya dalam kedamaian dan ketenangan berdasarkan persaudaraan
universal dalam semua umat; Kristen, Islam, Yahudi, dan yang lainnya di
bawah Tuhan sang Pencipta yang tunggal. Dengan demikian, konflik antarumat
beragama dapat diminimalisasi secara baik di tengah pergaulan lintas agama.
Penulis adalah peneliti Lakpesdam NU dan alumnus PP Nurul Ummah Kotagede,
Yogyakarta.


Last modified: 6/9/20