[Nasional-m] Perlukah Indonesia Menindaklanjuti Resolusi

Ambon nasional-m@polarhome.com
Sat Sep 7 23:00:02 2002


Sinar Harapan
7 Sept 2002

Perlukah Indonesia Menindaklanjuti Resolusi PBB 55/63 Soal Kejahatan
Berbasis TI?

Oleh
Mas Wigrantoro Roes Setiyadi

Sidang Pleno Majelis Umum PBB tanggal 4 Desember 2000 telah menyetujui
diterbitkannya Resolusi PBB Nomor 55/63 tentang ”Memerangi Tindakan Kriminal
Penyalahgunaan Teknologi Informasi (Combating the criminal misuse of
information technology)î. Berbagai negara dan banyak organisasi kerja sama
internasional menjadikan resolusi PBB ini sebagai acuan dalam menetapkan
kebijakan pencegahan tindakan kriminal menggunakan teknologi informasi.
Asia Pasific Economy Cooperation (APEC) merupakan salah satu organisasi
regional yang dengan gencar menganjurkan kepada anggotanya untuk semaksimal
mungkin menerapkan prinsip-prinsip yang tertuang dalam resolusi tersebut.
Pertimbangan yang melatarbelakangi munculnya resolusi ini adalah perlunya
anggota PBB dapat mempromosikan penegakan hukum dengan lebih efektif dan
efisien agar hukum dan keadilan dapat ditegakkan sebagaimana diinginkan
manusia di muka bumi.
Lebih jauh, resolusi ini juga memperhatikan arus bebas mengalirnya informasi
terbukti dapat memajukan pembangunan sosial, ekonomi, pendidikan, dan
kepatuhan pada asas demokrasi. Peningkatan arus informasi ini terlaksana
berkat dukungan pengembangan aplikasi teknologi informasi dan infrastruktur
jaringan telekomunikasi. Namun, disadari pula bahwa kemajuan teknologi
memiliki peluang untuk disalahgunakan dalam berbagai tindakan kejahatan.
Kemajuan teknologi informasi mendorong semakin mudahnya interaksi
antar-komunitas bangsa, antar-ekonomi, dan antar-pemerintah. Kerjasama antar
negara baik bilateral maupun multilateral dalam bidang ekonomi, budaya,
politik, pertahanan, dan lain sebagainya meningkat luar biasa dalam dua
dasawarsa terakhir.
Hal ini dimungkinkan karena komunikasi dan pertukaran informasi sangat mudah
diselenggarakan dengan biaya yang cenderung menurun dari tahun ke tahun.
Sisi negatif dari meningkatnya komunikasi dan pertukaran informasi global
adalah makin canggihnya kualitas kejahatan menggunakan teknologi informasi.
Tidak dapat dipungkiri bahwa teknologi bersifat netral, ia dapat digunakan
untuk kebaikan, namun pada saat bersamaan dapat pula dipakai untuk melakukan
tindakan kejahatan.
Memahami bahwa kondisi masing-masing negara dalam menyediakan dan
menggunakan teknologi informasi sebagai sarana penunjang berbagai aktivitas
masih sangat bervariasi, maka diperlukan panduan yang dapat dijadikan acuan
bagi masing-masing negara, khususnya yang belum memiliki undang-undang
tentang pemanfaatan teknologi informasi, dalam menyiapkan kerangka legal dan
kebijakan pengaturan di bidang teknologi informasi.
Lebih khusus lagi, kerangka legal dan kebijakan yang diinginkan minimal
mengatur tentang: pencegahan terjadinya tindakan kriminal, acuan dalam
investigasi oleh aparat penegak hukum, hukuman bagi pelaku kejahatan
komputer, dan kerja sama internasional dalam menanggulangi kejahatan
komputer.
Dengan memperhatikan diktum pemikiran di atas, dan dalam semangat untuk
mencegah terjadinya tindakan kejahatan teknologi informasi, resolusi nomor
55/63 yang disahkan Majelis Umum PBB pada tanggal 4 Desember 2000 mengimbau
anggotanya tentang hal-hal sebagai berikut. Pertama, negara perlu menjamin
bahwa hukum dan praktik hukum tidak melindungi pelaku kejahatan teknologi
informasi. Kedua, pemerintah perlu menjalin kerja sama internasional dalam
penegakan hukum, khususnya yang menyangkut kejahatan teknologi informasi.
Ketiga, melakukan pertukaran informasi antar-negara terutama yang berkaitan
dengan upaya pencegahan dan pemberantasan kejahatan teknologi informasi.
Keempat, menyelenggarakan pelatihan dan penyediaan peralatan yang diperlukan
oleh aparat penegak hukum dalam mencegah dan memerangi kejahatan teknologi
informasi. Kelima, menyediakan sistem hukum yang mampu melindungi
kerahasiaan, integritas, dan ketersediaan data dan sistem komputer dari
upaya perusakan yang dilakukan oleh pelaku kejahatan, dan jika pun masih
terjadi kejahatan teknologi informasi, menjamin bahwa pelaku kejahatan
tersebut mendapat hukuman yang semestinya;
Keenam, mengizinkan dan melaksanakan penjagaan/perawatan dan akses kepada
data elektronik yang diperlukan dalam investigasi kejahatan teknologi
informasi. Ketujuh, menggalang kerja sama nasional antar penegak hukum dan
bantuan dari para pihak yang terkait dalam pengumpulan bukti–bukti dan
investigasi terhadap kejahatan teknologi informasi.
Kedelapan, berupaya agar masyarakat umum menyadari dan memiliki pemahaman
yang memadai terhadap diperlukannya: perlindungan terhadap data, informasi
dan sistem komputer, serta upaya bersama dalam memerangi kejahatan teknologi
informasi. Kesembilan, menganjurkan kepada semua pihak agar dalam merancang
pemanfaatan teknologi informasi, sedapat mungkin sudah memasukkan aspek dan
teknis perlindungan, deteksi, pelacakan, dan penyediaan barang bukti atas
kemungkinan terjadinya tindakan kejahatan teknologi informasi. Kesepuluh,
selalu memperhatikan perlindungan terhadap kebebasan individu dan privasi
serta kapasitas pemerintah dalam memerangi tindakan kejahatan teknologi
informasi.
Memperhatikan materi di atas dan melihat ke dalam negeri sendiri, pertanyaan
yang muncul, perlukah Indonesia anggota PBB menindaklanjuti resolusi
tersebut? Jika jawabnya ”YA”, siapa atau lembaga pemerintah mana yang perlu
terlibat?
Bagaimana langkah untuk menindaklanjutinya? Atau dalam kata lain, apakah
kita perlu meratifikasi Resolusi PBB tersebut ke dalam produk hukum atau
kebijakan pemerintah Indonesia yang khusus dimaksudkan untuk memerangi
kejahatan teknologi informasi?

Di pihak lain, jika jawabnya tidak, kira-kira apa dampaknya kepada Indonesia
baik secara umum dalam percaturan ekonomi dan politik global, maupun secara
khusus dalam konteks pengembangan pemanfaatan dan aktivitas bisnis
telematika? Dapat pula dipertanyakan, apakah dengan tidak memperhatikan dan
menindak-lanjuti Resolusi PBB ini maka sangsi dunia terhadap Indonesia yang
tanpa sadar sudah diterapkan kepada setiap transaksi pembelian melalui
Internet dari Indonesia dapat demikian saja dicabut?
Daftar pertanyaan masih dapat diperpanjang, keterbatasan ruang dan waktu
menjadikan Kolom kali ini tidak dimaksudkan untuk menjawab semua pertanyaan
di atas. Namun mencoba mengomentari satu aspek dari diktum yang termasuk
dalam resoulusi PBB tersebut.
Inti permasalahan dari resolusi tersebut sebenarnya adalah perang terhadap
kejahatan teknologi informasi dalam berbagai bentuk. Dilihat dari
sasarannya, kejahatan teknologi informasi diklasifikasikan ke dalam dua
golongan.
Pertama, kejahatan yang bertujuan merusak data, informasi dan fasilitas
komputer. Perusakan situs Internet, penyebaran virus komputer, dan perusakan
jaringan komputer termasuk kelompok ini. Kedua, kejahatan yang menggunakan
teknologi informasi sebagai alatnya. Penjualan obat terlarang, penipuan,
pornografi, terorisme, dan pencurian data masuk ke dalam golongan ini.
Sebagaimana dilaporkan oleh pihak Kepolisian RI kecenderungan terjadinya
kejahatan teknologi informasi di Indonesia terus meningkat. Semakin banyak
laporan kepada polisi tentang tindakan kejahatan teknologi informasi ini.
Jika kita bersedia meluangkan waktu sejenak untuk membaca berita
kriminalitas di media massa, hampir tiap minggu muncul berita kejahatan
teknologi informasi, baik berupa penipuan indentitas, pemalsuan kartu
kredit, maupun perusakan situs internet, penipuan menggunakan Short Message
Service (SMS), dan masih banyak lagi jenis kejahatan baru yang muncul
seiring dengan meningkatnya pemanfaatan teknologi informasi.
Beberapa pelaku berhasil diciduk polisi dan diproses ke pengadilan.
Penghargaan perlu diberikan kepada polisi dan aparat penegak hukum lainnya
yang telah merintis peradilan terhadap pelaku kejahatan tekonologi
informasi, meski landasan hukum yang seharusnya menjadi acuan bagi proses
peradilan bagi tersangka pelaku tindak kejahatan teknologi informasi belum
tersedia.
Berbeda dengan kejahatan biasa, investigasi untuk membuktikan dan mencari
barang bukti adanya tindakan kejahatan teknologi informasi relatif lebih
sulit. Barang bukti mudah sekali hilang atau dihilangkan.
Diperlukan personel polisi yang menguasai teknologi informasi, prosedur
pembuktian yang standar, dan peralatan yang canggih untuk mencari alat
bukti. Jikapun bisa dihadirkan di muka sidang, belum tentu hakim dapat
menggunakannya sebagai baerang bukti yang sah, karena belum ada ketentuan
hukum yang mengatur alat bukti berupa catatan elektronik.
Beberapa negara serumpun di wilayah ASEAN, Malaysia, Singapura, Thailand,
dan Filipina telah memiliki undang-undang anti tindakan kejahatan teknologi
informasi. Vietnam, negara yang baru bangkit, melaporkan sudah selesai
membuat draf undang-undang serupa. Apa untungnya bagi rakyat terutama yang
memanfaatkan teknologi informasi?
Yang terlihat dan dirasakan, rakyat lebih percaya diri. Percaya diri sangat
diperlukan karena menjadi syarat utama sebelum orang lain percaya kepada
kita. Dengan ungkapan ini, menjadi maklum kiranya bila makin banyak saja
investor asing yang berkurang kepercayaannya kepada Indonesia karena kita
sendiri tidak percaya kepada diri sendiri. Mengapa? Jawabnya mudah, tidak
punya undang-undang!

Penulis adalah Staf Khusus Kementerian Komunikasi dan Informasi dan Country
Coordinator, GIPI Indonesia.