[Nasional-m] Teologi Antiterorisme

Ambon nasional-m@polarhome.com
Thu, 24 Oct 2002 21:53:17 +0200


Media Indonesia
Jumat, 25 Oktober 2002

Teologi Antiterorisme
Zuhairi Misrawi, Alumnus Universitas Al-Azhar Kairo-Mesir

'OKTOBER kelabu', demikian masyarakat di seantero Tanah Air menyebutnya.
Bulan ini menorehkan sejarah buruk nan pahit bagi negara kita. Bom biadab
meledak di Bali (12/10), ratusan nyawa tewas dan ratusan lainnya luka-luka.
Tidak seperti aksi bom dan teror yang selama ini terjadi di Tanah Air, bom
di Pulau Dewata itu menewaskan warga asing, sehingga menyebabkan kita
kehilangan muka di mata internasional. Selain warga kita, tercatat sejumlah
korban asal Australia, Inggris, Jepang, Equador, Swedia, Amerika Serikat,
Jerman, dan warga asing lainnya. Sekali lagi, tidak ada ungkapan yang lebih
tepat selain: amat dan sangat biadab!

Aksi teror tersebut memberikan sinyalemen eksistensi terorisme di Tanah Air.
Anggapan para elite politik yang menyangsikan keberadaan teroris secara
otomatis terjawab oleh aksi terorisme yang membabi-buta di pulau wisata
tersebut. Bahkan pertanyaan, apakah terorisme itu, tidak layak lagi
diungkapkan ke permukaan. Pertanyaan sudah dijawab dengan fakta empirik
bahwa terorisme adalah lawan kemanusiaan, keadaban, dan keragaman. Anggapan
terorisme identik dengan kekerasan, pembunuhan, dan penindasan semakin tidak
terbantahkan. Di mana terorisme singgah, di situlah korban berjatuhan.
Terorisme dan korban ibarat dua belah mata uang logam yang tak bisa
dipisahkan.

Karenanya, siapa pun akan resah, gelisah, dan gundah atas perilaku teroris
yang mengerikan tersebut. Memercayai, mendukung, dan mengesahkan terorisme
sama halnya menyetujui adanya tragedi kemanusiaan dalam jumlah yang lebih
besar. Akankah milenium ketiga menjadi era para teroris? Seberapa banyak
lagi korban yang akan menjadi 'tumbal' para teroris? Apa sebenarnya yang
menjadi target, cita-cita dan tujuan para teroris? Benarkah bahwa terorisme
mendapatkan justifikasi dan legitimasi dari agama?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut semakin memperkuat asumsi bahwa terorisme
merupakan ancaman kemanusiaan global. Sejauh pengamatan kita, terorisme
diartikulasikan dalam tiga bentuk. Pertama, terorisme yang bersifat
personal. Aksi-aksi terorisme dilakukan secara personal. Biasanya, dalam
pengeboman bus seperti di Kairo merupakan sebuah aksi personal. Pengeboman
mal-mal dan pusat perbelanjaan juga dapat dikategorikan sebagai terorisme
yang dilakukan secara personal.

Kedua, terorisme yang bersifat impersonal. Para teroris melakukannya secara
terencana dan bersifat kolektif. Biasanya, terorisme semacam ini
dilembagakan dalam sebuah jaringan yang rapi. Terorisme impersonal biasa
disebut terorisme global, seperti jaringan Al-Qaeda (Tanzim al-Qa'idah).
Sasaran terorisme dalam kategori ini adalah simbol-simbol kekuasaan dan
pusat-pusat perekonomian.

Ketiga, terorisme yang dilakukan negara. Istilah ini tergolong baru, yang
biasa disebut dengan 'terorisme (oleh) negara' (state terrorism).
Penggagasnya adalah Perdana Menteri Malaysia Mahathir Muhammad dalam hajatan
OKI. Menurutnya, terorisme yang dikerahkan negara, tidak kalah dahsyatnya
dari terorisme personal maupun impersonal. Kalau kedua bentuk terdahulu
dilaksanakan secara sembunyi-sembunyi, terorisme yang dilakukan sebuah
negara dapat dilihat secara kasatmata.

Ketiga-tiganya memunyai titik temu, yaitu sama-sama mencari tumbal dan
korban. Yang mencolok dalam terorisme adalah 'balas dendam'. Karenanya,
terorisme identik dengan kenekatan dan keterpanggilan untuk melawan secara
sporadis.

Di sinilah sebenarnya ranah problematis terorisme. Terorisme ibarat singa
yang selalu haus mangsa. Sebagaimana singa, terorisme tidak bisa mengambil
'jalan tengah', melainkan menempuh 'jalan pintas'. Sebab, para teroris
biasanya melandaskan pada kebutuhan untuk membangun sebuah menara yang
disebut 'identitas yang tunggal'. Terorisme mengandaikan adanya
'absolutisme', baik dalam tataran suprastruktur maupun struktur.

Teologi baru

Dalam kaitannya dengan pandangan absolut kalangan teroris, biasanya mereka
menggunakan diskursus keagamaan sebagai penopangnya. Pandangan eskatologis
agama senantiasa dijadikan pijakan untuk membenarkan aksi pengeboman.

Dalam Islam misalnya, ada doktrin syahid, kematian guna melawan musuh Tuhan.
Konsepsi syahid tersebut mendapat justifikasi dari teks-teks suci, bahkan
dijanjikan pahala yang setimpal di Hari Kemudian. Musyawarah Nasional PBNU
yang terakhir juga menelurkan fatwa 'bom bunuh diri', tatkala tidak ada
jalan lain dengan mempertimbangkan sasaran dan tujuannya.

Di sisi lain, dalam teks suci juga terdapat doktrin, al-irhab, yaitu
perlawanan (teror). Alquran menyebutnya sebagai upaya melawan 'musuh Tuhan'
(QS 8:60). Kalangan yang memedomani pandangan tersebut adalah kalangan Islam
politik. Mereka membenarkan al-irhab sebagai justifikasi teologis atas
aksi-aksi mereka.

Di sinilah sebenarnya kita perlu melihat kembali doktrin keagamaan yang
selama ini berkembang secara masif. Perihal yang tidak bisa diabaikan begitu
saja, bahwa potensi-potensi bagi terbentuknya pemahaman keagamaan yang
menjurus pada terorisme dalam tradisi Islam bisa didapatkan dengan mudah.
Ini biasanya disebabkan pandangan tekstual terhadap kitab suci. Pemandangan
yang mencerminkan hegemoni teks dan monopoli tafsir tunggal begitu dominan
dan determinan.

Kamal Abul Madjid (2000) dalam al-Irhab wa al-Islam membenarkan, bahwa
terorisme dalam tradisi Islam terbentuk melalui pandangan keagamaan yang
bersifat mengancam dan menakutkan (al-tahdid wa al-takhwif). Sudut pandang
yang bersifat parsial terhadap teks suci juga mendorong adanya pemahaman
keagamaan yang membenarkan aksi terorisme.

Di sini, kita dihadapkan pada persoalan mendasar, yaitu menghadirkan teologi
baru yang mempertimbangkan kebaikan kolektif (al-mashlahah al-'ammah).
Sehingga mampu menghilangkan distingsi-distingsi parsial, seperti
muslim-kafir, Islam-Kristen, Islam-Yahudi, Islam-Barat. Thariq al-Banna,
pemikir muslim telah memberikan pandangan menarik tentang, 'teologi
koeksistensi' sebagai sumbangsih pemikiran untuk mendekatkan relasi Islam
dan Barat (Mizan: 2002).

Begitu halnya dengan konsepsi fardlu 'ain (kewajiban per individu) dan
fardlu kifayah (kewajiban kolektif) dalam tradisi fikih mesti ditinjau
ulang. Selama ini, yang dikedepankan adalah doktrin fardlu 'ain yang mengacu
pada kesalehan individu dan dogmatisme. Sedangkan doktrin fardlu kifayah
yang memunyai dimensi sosial sering kali diabaikan. Para ulama kontemporer,
seperti Muhamamd Imarah, mulai melirik agar fardlu kifayah diutamakan
daripada fardlu 'ain, karena fardlu kifayah menyentuh wilayah publik yang
bersifat transpersonal.

Karenanya, keberagamaan kita sejatinya dapat mengedepankan pandangan
keagamaan yang membawa angin segar bagi dialog, toleransi, kemaslahatan
sosial, kemanusiaan, dan keadaban, sehingga mampu melahirkan teologi baru,
yaitu teologi antiterorisme.***



---
Outgoing mail is certified Virus Free.
Checked by AVG anti-virus system (http://www.grisoft.com).
Version: 6.0.404 / Virus Database: 228 - Release Date: 2002-10-15