[Nasional-m] Di Bidang Politik Perempuan Tetap 'di Bawah' Pria

Ambon nasional-m@polarhome.com
Thu, 24 Oct 2002 21:48:58 +0200


Media Indonesia
Selasa, 15 Oktober 2002 23:01 WIB

Di Bidang Politik Perempuan Tetap 'di Bawah' Pria
Penulis:  Indiwan Seto Wahju Wibowo

MESKI Indonesia punya presiden perempuan, tetapi porsi perempuan di bidang
politik belum imbang. Malahan dalam berbagai kesempatan, termasuk pengajuan
usulan RUU Politik dan RUU Pemilu, isu 'kuota' perempuan Indonesia di bidang
politik terus diperjuangkan.

SEBENARNYA sejak 1984 lewat UU No 7, Indonesia meratifikasi konvensi PBB
tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan, nyatanya
hingga kini jumlah perempuan yang berada di lembaga legislatif dan yudikatif
serta eksekutif masih minim, tidak mencapai 15 persen.

Kemudian pada 1994, saat Konferensi Wanita Sedunia di Beijing, dunia kembali
mendengungkan upaya-upaya menjamin hak reproduksi dan keadilan serta
kesetaraan jender, Indonesia pun ikut aktif menyukseskan konferensi
tersebut.

Pada 1998, pemerintah RI membentuk Komisi Rreproduksi melalui Kepmen (Meneg
PP) nomor 433/1998, kemudian, juga membentuk Komisi Nasional Anti Kekerasan
terhadap perempuan melalui Keppres Nomor 181 tahun 1998.

Langkah pemerintah yang paling menonjol dalam mengupayakan kesetaraan jender
adalah ketika merumuskan GBHN pada 1998 (Tap MPR/II/MPR/1998) maupun pada
GBHN 1999-2004 (Tap MPR/IV/MPR/1999).

Pada GBHN 1998 disebutkan wanita, baik sebagai warga negara maupun sebagai
sumber daya insani pembangunan, mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban,
serta kesempatan yang sama dengan pria untuk berperan dalam pembangunan di
segala bidang dan tingkatan.

Semangat itu lebih dikuatkan pada 1999 lewat GBHN 1999-2004 yang
meningkatkan kedudukan dan peranan perempuan dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara sehingga terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender.

Tapi ternyata semua itu baru rencana 'muluk' di atas kertas, kenyataan
membuktikan lain. Hingga kini perempuan Indonesia masih jauh tertinggal
dibanding laki-laki di bidang politik, meskipun Presiden RI adalah Megawati
yang perempuan.

Terendah

Indonesia merupakan negara dengan partisipasi perempuan di lembaga eksekutif
yang tergolong rendah.

Buku Data Pembuka Mata terbitan LIPI dan Unicef Mei 2001 menyebutkan bahwa
ketimbang Laos, Indonesia masih kalah jauh dalam memberikan peluang bagi
perempuan untuk berada duduk di eksekutif.

Padahal Pemilu 1997 dan Pemilu 1999 jumlah pemilih perempuan lebih besar
ketimbang pemilih lelaki, tapi nyatanya potensi besar perempuan di Indonesia
masih terabaikan kalau tidak mau disebut agak 'dipinggirkan'.

Jumlah perempuan di Parlemen juga tidak banyak meningkat, baikpada masa Orde
Baru (periode 1997-2002) maupun pasca Orde Baru (1999-2004).

Perempuan Indonesia yang menjadi anggota DPR tak sampai 15 persen, begitu
juga di lembaga MPR, jumlahnya masih minim, di bawah 20 persen.

Bila dihitung secara matematis, dari setiap delapan anggota DPR hanya satu
perempuan, begitu juga di lembaga MPR.

Bila dibanding negara ASEAN lainnya, Indonesia sedikit lebih baik ketimbang
Myanmar yang mempunyai sekitar 1-2 persen perempuan di pemerintahan, tapi
jauh tertinggal dari Laos, Brunei, Thailand, Vietnam, Kamboja, Malaysia,
Singapura, apalagi Filipina.

Indonesia sampai 2001 hanya memiliki perempuan di Parlemen sekitar 11
persen, sedang di pemerintahan tak lebih dari dua persen, jauh tertinggal
dibanding Filipina dengan 25 persen perempuan di pemerintahan dan 12 persen
di parlemen.

Meski begitu, Indonesia bisa bangga di ASAEN persentase perempuan Indonesia
di parlemen termasuk dalam tiga besar, bersama Malaysia dan Filipina.

Lantas bagaimana di lembaga pemerintahan?

Data LIPI (2001) menyebut jumlah Pegawai Negeri Sipil (PNS) perempuan yang
menduduki jabatan struktural sangat rendah. Dari setiap 25 pejabat eselon I
dan II, satu di antaranya perempuan, sedangkan di eselon III dari setiap 13
pejabat eselon III satu di antaranya perempuan.

Aktivis perempuan Nurul Candrasari Komara dari Kaukus Perempuan Politik
Indonesia (KPPI) mengatakan sampai saat ini memang perempuan Indonesia masih
terpinggirkan dalam bidang politik.

"Kalaupun perempuan jadi caleg, posisinya ada di nomor sepatu atau sekedar
jadi votegetter belaka," ujar Nurul yang juga aktif di BaLitbang PDIP ini.

Menurut Nurul, kalaupun ada perempuan yang tampil di lembaga atau partai
politik mereka bukan termasuk orang-orang yang bisa mengambil keputusan.

Tapi, Nurul juga tidak menutupi kenyataan bahwa dari sisi perempuan sendiri
ada kendala atau kelemahan yang membuatnya tak tampil di bidang politik.

"Kendala pertama, kalangan perempuan banyak yang menganggap politik itu
kotor, sehingga pandangan ini kerap menghambat keinginan perempuan untuk
terjun ke bidang politik," ujar mantan Dosen Institut Teknik Indonesia (ITI)
Serpong ini.

Jumlah perempuan Indonesia yang pintar dan memiliki potensi memimpin sudah
banyak tapi belum banyak yang mendapat kesempatan untuk tampil di depan.

"Kendala kedua adalah budaya patriaki yang kuat mengagung-agungkan kemampuan
laki-laki di atas kemampuan perempuan. Keadaan ini yang menghambat usaha
perempuan untuk tampil dan terjun di bidang politik yang dianggap 'lahan'
laki-laki," ujar Nurul yang juga Sekjen KPPI.

Selain itu, sistem politik yang ada hingga saat ini belum mampu memberikan
kesempatan yang sama buat perempuan untuk tampil ke permukaan.

Untuk itulah Kaukus Perempuan Politik Indonesia --organisasi politikus
perempuan-- berupaya memasukkan gagasan-gagasan mereka agar UU Pemilu dan UU
Parpol yang saat ini tengah digodok benar-benar menjamin kesetaraan jender.

Draft RUU Pemilu

KPPI mencoba untuk memasukkan semangat UU Nomor 7 tahun 1984 tentang
Pengesahan Konvensi PBB soal penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap
perempuan dalam butir pertimbangan RUU Pemilu.

UU no 7 tahun 1984 itu mewajibkan negara membuat peraturan perundangan yang
menjamin keterwakilan secara proporsional antara laki-laki dan perempuan
dalam lembaga-lembaga politik.

"Kalau bisa kita usahakan ada 'kuota' buat perempuan sebesar 30 persen agar
bisa proporsional di lembaga perwakilan kita," ujar Nurul.

KPPI juga mengusulkan agar pada pasal 11 ayat 1 mengenai jumlah kursi
anggota DPRD kabupaten/kota ditetapkan sekurang-kurangnya 15 kursi dan
sebanyak-banyaknya 45 kursi dengan persentase perempuan sebanyak 30 persen.

Pada pasal 2 RUU Pemilu yang berbunyi: "Pemilu dilaksanakan secara
demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil,
transparan, edukatif, efisien dan dapat dipertanggungjawabkan", juga
diusulkan tambahan.

"Kita mengusulkan setelah kata 'adil' ditambahkan kata 'berkesetaraan
jender'," ujarnya.

Jadi usulan lengkapnya berbunyi: Pemilu dilaksanakan secara demokratis
berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil, berkesetaraan
gender, transparan, edukatif, efisien dan dapat dipertanggungjawabkan,".

Sedangkan pada pasal 8 RUU Pemilu yang berbunyi: Jumlah kursi DPR ditetapkan
sebanyak 550 wakil, diusulkan tambahan kata 'persentase keterwakilan
perempuan sebanyak 30 persen'.

Begitu juga dalam penentuan calon anggota DPD, KPU, Kaukus mengusulkan agar
tetap memperhatikan persentase keterwakilan perempuan sebanyak 30 persen.

Nurul yang mewakili KPPI menegaskan LSM perempuan dan kaukus akan terus
mendesak usulan tersebut mengingat saat ini sudah saatnya perempuan bangkit
memperjuangkan hak dan martabatnya.

Paling tidak, dengan usulan itu hambatan sistem yang selama ini menghalang
sedikit demi sedikit akan dihilangkan, tinggal mengupayakan pendidikan dan
penyadaran perempuan sendiri agar tidak takut berpolitik dan tidak lagi
melihat politik sebagai kegiatan yang kotor. (Ant/OL-01



---
Outgoing mail is certified Virus Free.
Checked by AVG anti-virus system (http://www.grisoft.com).
Version: 6.0.404 / Virus Database: 228 - Release Date: 2002-10-15