[Nasional-m] Fenomena Polisi Tidur dan Demoralisasi

Ambon nasional-m@polarhome.com
Thu, 24 Oct 2002 22:08:33 +0200


SUARA PEMBARUAN DAILY
----------------------------------------------------------------------------
----

Fenomena Polisi Tidur dan Demoralisasi
Mudji Sutrisno SJ

olisi tidur yang dibuat dengan gundukan aspal di jalan kecil semakin meruyak
dibuat enam tahunan ini, bersamaan dengan makin macetnya jalan protokol
Jakarta sehingga orang makin dicari jalan-jalan tikus agar tidak terjebak
kemacetan.

Polisi tidur ini mengatakan banyak hal pada kesadaran kita yang sebenarnya.
Mengapa? Pertama, ia menjadi cara paksa menghardik para pemakai jalan
terutama yang bermobil dan berkendaraan yang diandaikan seharusnya berjalan
pelan karena lewat jalan penuh anak-anak. Polisi tidur itu menghadirkan
protes rambu tajam pada pemakai jalan yang diandaikan sadar diri bila lewat
pukul 22.00 malam tidak akan kencang dan memperlambat jalan agar tidak
mengganggu rumah-rumah di pinggir jalan yang dilalui. Namun pengandaian itu
tak ada yang berjalan sehingga perlu dibangun polisi tidur untuk memaksa si
pemakai jalan berkendaraan dengan pelan.

Dari polisi tidur ini saja, bisa langsung kita tangkap rusaknya basis hidup
sosial berbangsa, yaitu basis hidup bersama yang seharusnya mengandaikan
adanya kesadaran untuk tahu aturan. Karena sepanjang jalan itu, misalnya,
banyak anak dan banyak tetangga yang membutuhkan istirahat bila malam tiba.

Bila kesadaran tahu sendiri itu tidak ada, lalu dibutuhkan pemaksa dari luar
untuk menyadarkannya, polisi tidur. Bila inner law (batin sadar) tidak ada
maka dibuat outer law atau coercive law untuk menyadarkan si pelaku.

Kedua, fenomena polisi tidur mengungkapkan bahwa kita sudah makin tidak bisa
mengandalkan trust atau kepercayaan dari kesadaran masing-masing warga.
Setiap warga seharusnya dapat dipercaya untuk menimbang sendiri secara
dewasa risiko kencang-kencang ngebut di jalan kampung ketika banyak
sesamanya sedang main-main (anak) dan yang lain sedang jalan dan berhak juga
atas ruang (space) untuk berjalan kaki. Dengan kata lain, ruang luas jalan
publik telah dirampas oleh pengendara-pengendara egois dengan memperluas
ruangnya sendiri lewat ketidakpedulian pemakai jalan lain atau penghuni
sepanjang jalan.

Akibatnya, publik yang marah terpaksa membuat polisi tidur makin tinggi; itu
sebagai ekspresi pelanggaran terhadap ketenangan publik yang seharusnya
secara normal normatif dihargai. Semakin jengkel terhadap pelanggaran,
semakin diperpendek pula jarak antara polisi tidur yang satu dengan yang
lain sehingga Anda yang lewat dengan mobil dipaksa bertegak-tegak dan amat
tidak nyaman.


Pecahan Kecil

Cerminan fenomena polisi tidur sebenarnya pecahan kecil dari cermin besar
retak bangsa ini dalam hidup bersama atau sosialitasnya. Ketika tingkatan
paling dasar sebagai fundamen atau basis hidup bersama yaitu etika atau
moralitas kehendak baik. Di sini hanya karena pendidikan ditanamkan dan
dibatinkanlah dari agama-agama, kebijaksanaan lokal, adat, ajaran kepatuhan
serta moral baik buruk bersosialitas dalam etika self regulitation atau
menguasai diri dari dalam, dari batin sadar sendiri dan tahu sendiri
batas-batas wilayah pribadi dan wilayah publik atau orang lain.

Bila basis ethics yang merupakan "internal self regulitation" atau dari
nuraniku dan batinku aku sadar untuk menghormati wilayah orang lain atau
publik, ternyata selama 40 tahun ini terabaikan pendidikannya, apakah kita
heran bila saat ini orang kacau dalam menenggang rasa dan hormat untuk yang
lain?

Dalam empat dekade ini, bagian basis mendasar yaitu "ethics" tidak dirawat,
tetapi juga terjadinya berbagai jurang, yaitu jurang beda edukasi nilai,
jurang kaya-miskin, jurang elite dan rakyat apalagi jurang antara contoh
teladan dan omongan; serta tidak ada guru keteladanan karena hal-hal yang
batin sudah direduksi jadi materi dan yang berjiwa sudah dihargai sempit
dalam nilai tukar uang. Herankah bila ini merupakan harga yang amat mahal
yang harus kita bayar, yaitu tidak ada lagi internal self regulation sebagai
nurani moral untuk mengambil keputusan baik untuk diri sendiri maupun
sesama?

Karena itu, konsekuensi logis di bangunan lebih atas dari "ethics" adalah
diperlipatgandakannya aturan-aturan hukum dan hukum-hukum positif atau law
karena asumsi bahwa kesemrawutan dan demoralisasi di tingkat mendasar pasti
bisa diatasi bila dibuat aturan-aturan hukum yang pasti, cermat dan jelas.

Namun apa yang terjadi? Justru semakin banyak regulasi paksaan (coercive
means) lewat hukum dengan enak saja pelanggaran dilanjutkan dan celah-celah
hukum ideal hukum itulah yang diterobos secara kreatif. Dengan kata lain,
kita terjebak dalam pembuatan terus hukum-hukum tetapi tidak membereskan
akar permasalahan hidup bersama di tingkat basisnya, yaitu moralitasnya.


Hukum Diskriminatif

Jebakan lingkaran setan itu akan makin mengeras karena masyarakat publik
dalam membaca praksis konsistensi perilaku dibuat frustasi total lantaran
hukum-hukum yang diciptakan itu berlaku diskriminatif. Artinya, untuk yang
berkuasa dan punya fulus serta uang, hukum bisa dibeli sementara untuk
masyarakat banyak diterapkan. Paradoks paling spektakuler tragis adalah
hukuman penjara untuk pencuri sandal bolong sementara sampai detik ini tak
satu pun koruptor kelas kakap ditahan bahkan sudah diputus pengadilan tetapi
penahanan bisa tidak langsung dilaksanakan. Persoalannya bukan sekadar
kerancuan superfisial kepentingan politik dan hukum tetapi harus diselami
lebih dalam ke dataran basis ethics dan di atas dasar moralitas dibangunlah
hubungan positif.

Bila bangunan mendasar krisis lalu dicoba ditambal sulam dengan bangunan di
atasnya, yaitu hukum positif (law) yang diperketat tidak kunjung
menyelesaikan rimba hidup bersama di mana yang kuatlah yang menang maka satu
tahap langkah lagi terwujudlah hidup bersama yang hanya tertib (secara
paksa); dan pasti (dengan pemaksaan teror dan penakutan)


dalam rezim otoriter di mana "FORCE": kekuatan pemaksaan untuk tertib sosial
menjadi diktatornya. Di sini kekuasaan keras akan memaksa kita menjadi
manusia baik dengan pemaksaan dari luar.

Herankah kita dalam membaca sejarah-sejarah peradaban bangsa-bangsa lain,
bila demoralisasi sudah anarkis akut parah, dan semua produk hukum sudah
diperjualbelikan di sanalah menjadi tanah subur lahirnya rezim-rezim
otoriter fasis, diktator yang atas nama kepastian hukum, atas nama agama,
atas nama demokrasi atau apa pun akan memakai kekerasan kekuatan senjata,
pemaksa untuk memerintah. Dari tahun 1980-an di Amerika Latin dan 1970-an di
Afrika, kekuatan senjata.

Maka, akhir tulisan ini sebenarnya mengajak untuk melihat dari fenomena
polisi tidur ke persoalan serius bahkan amat serius manakala krisis kita
tidak segera kita selesaikan secara mendasar. Sebab cerminan main hakim
sendiri mewacanakan bahwa baik kita maupun sesama sudah menjadi hakim karena
tidak percaya lagi pada hakim! Yang tercuat kasat mata menyimpang makna
persoalan. Sebab menurut orang bijak bernama Tacitus: "makin korup suatu
negara, makin banyak hukumnya."


Penulis adalah dosen STF ''Driyarkara'' Jakarta.

----------------------------------------------------------------------------
----
Last modified: 24/10/2002


---
Outgoing mail is certified Virus Free.
Checked by AVG anti-virus system (http://www.grisoft.com).
Version: 6.0.404 / Virus Database: 228 - Release Date: 2002-10-15