[Nasional-m] DPD Ibarat Macan Ompong

Ambon nasional-m@polarhome.com
Tue Aug 27 00:00:13 2002


Sriwijaja Post
Senin,  26 Agustus 2002

DPD Ibarat Macan Ompong
Joko Siswanto
Lektor Kepala Ilmu Politik FISIP Unsri

SIDANG Tahunan MPR 2002 telah berakhir, berlangsung relatif lancar dan aman
tanpa gangguan yang berarti. Meskipun tidak dapat memuaskan semua pihak,
akan tetapi patut disyukuri bahwa ST MPR kali ini dapat menetapkan hal-hal
penting khususnya dapat menyelesaikan dengan tuntas salah satu amanat
reformasi yakni amandemen ke-4 UUD 1945 yang ditunggu-tunggu rakyat. Dengan
wajah baru UUD 1945, mulai 2004 akan terjadi lompatan besar dan kehidupan
sistem politik dan ketatanegaraan RI dari yang selama ini dianut. Perubahan
penting dan relatif mendasar yang akan terjadi dalam sistem politik dan
ketatanegaraan RI antara lain sebagai berikut:
Pertama, kedaulatan rakyat tidak lagi sepenuhnya dilakukan oleh MPR tetapi
dilaksanakan menurut UUD. Hal ini menjadikan MPR tidak lagi sebagai lembaga
tertinggi negara karena kedaulatan rakyat menurut UUD didistribusikan dan
dilaksanakan juga oleh lembaga negara lainnya. Jika selama ini susunan
keanggotaan MPR terdiri dari anggota DPR, utusan daerah dan utusan golongan
maka komposisi tersebut dirubah menjadi MPR terdiri dari anggota DPR dan
anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Utusan golongan, termasuk didalamnya
dari TNI/Polri tidak ada lagi alias dihapus. Utusan daerah yang selama ini
dipilih tidak demokratis (dalam era Orba diangkat oleh Presiden, dan saat
ini yang masih duduk di MPR dipilih oleh DPRD Propinsi) maka mulai tahun
2004 utusan daerah yang tergabung dalam Dewan Perwakilan Daerah dipilih
langsung oleh rakyat.
Kedua, presiden dan wakil presiden yang selama ini dipilih oleh MPR, maka
mulai 2004 presiden dan wakil presiden dipilih langsung oleh rakyat dalam
satu paket/pasangan. Dan masa jabatan presiden/wakil presiden dibatasi hanya
dua kali masa jabatan. Ketiga, DPA yang selama ini sebagai salah satu
lembaga tinggi negara yang bertugas memberikan nasehat kepada Presiden baik
diminta maupun tidak diminta, dinilai tidak efektif karena tak bergigi maka
keberadaannya dihapuskan. Keempat, diranah yudikatif selain Mahkamah Agung,
ada lembaga baru yang diberi nama Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial.
Peran DPD
Perubahan-perubahan yang menyangkut lembaga-lembaga negara tersebut di atas
membawa konsekuensi adanya persoalan-persoalan baru yang harus dilakukan
pengaturan lebih lanjut dan perlu diantisipasi kemungkinan munculnya
ekses-ekses negatif yang tidak diinginkan. Pada kesempatan kali ini, penulis
hanya akan mencoba menyoroti kemungkinan adanya persoalan baru dan
ekses-ekses negatif yang akan muncul di seputar kedudukan, wewenang dan
proses rekrutmen anggota DPD.
Wajah MPR yang baru tidak lagi mempunyai wewenang menyusun dan menetapkan
garis-garis besar daripada haluan negara, diantaranya GBHN tidak akan ada
lagi. MPR tinggal mempunyai wewenang mengubah dan menetapkan UUD 1945,
melantik presiden dan wakil presiden serta tidak dapat melengserkan
presiden/wakil presiden ditengah jalan kecuali benar-benar melakukan
pelanggaran berat. Itupun atas usulan DPR yang kemudian MPR meminta terlebih
dulu kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus
pendapat DPR bahwa presiden/wakil presiden telah melakukan pelanggaran
berat.
Dengan tidak adanya GBHN yang selama ini dijadikan landasan, pedoman dan
arah kerja lembaga tinggi negara terutama eksekutif dibawah kepemimpinan
presiden, maka persoalan yang muncul adalah apakah arah kebijakan nasional
masing-masing lembaga tinggi negara harus disusun oleh masing-masing lembaga
negara yang bersangkutan setiap lima tahun atau diatur dan ditentukan dengan
undang-undang. Jika ditentukan oleh masing-masing lembaga tinggi negara
tampaknya tidak mungkin karena disamping tidak mempunyai legitimasi dasar
hukum dan kemungkinan tidak aspiratif, juga tidak akan ada koordinasi dan
sinkronisasi antar lembaga negara. Jika kebijakan nasional diatur dan
ditentukan dengan UU, bagaimana peran Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sebagai
bagian dari MPR untuk ikut menentukan kebijakan-kebijakan nasional?.
DPR bagian dari MPR mempunyai wewenang membuat UU bersama eksekutif, lalu
wewenang apa yang dimiliki DPR dan terlibat dalam membahas RUU serta dapat
melakukan pengawasan, akan tetapi sebatas hal-hal yang menyangkut seputar
persoalan otonomi daerah. Di luar persoalan otonomi daerah atau yang
menyangkut kebijakan nasional lainnya, DPD tidak mempunyai wewenang. Hal itu
pun sangat tergantung kepada kebaikan DPR karena DPD tidak mempunyai
wewenang untuk memutuskan dan mengikat DPR. Jika usulan dan pemikiran DPD
tidak sejalan DPR maka kemungkinan akan ditinggalkan. Dan apabila harus
ditempuh dengan voting, DPD yang jumlahnya tidak lebih dari sepertiga jumlah
anggota DPR akan selalu kalah.
MPR Menganggur
Selain hal tersebut di atas, dalam UUD 1945 yang diamandemen juga tidak ada
ketentuan tegas dan tersurat yang menyatakan setiap kapan MPR bersidang.
Hanya secara tersirat sidang MPR dilakukan setiap pelantikan presiden/wakil
dan menetapkan UUD. Hal ini berbeda dengan naskah asli UUD 1945 menyatakan
bahwa MPR bersidang sedikitnya sekali dalam lima tahun. Berhubung MPR
bersidang hanya sekali selama lima tahun sebagaimana yang terjadi pada masa
Orba dinilai MPR kurang diberdayakan sehingga anggota MPR lebih banyak
menganggur, maka dengan Tap MPR No II/MPR/1999 tentang Tata Tertib MPR
diatur tiga jenis sidang yakni Sidang Umum (SU), Sidang Tahunan (ST) dan
Sidang Istimewa (SI).
Secara khusus ST MPR dilakukan dengan maksud untuk menilai kinerja dan atau
meminta pertanggungjawaban (progress report) Presiden dan lembaga tinggi
negara lainnya selama satu tahun yang dijalani. Dengan diselenggarakan ST
MPR, maka MPR dapat lebih diberdayakan untuk melakukan evaluasi dan kontrol
secara rutin terhadap kinerja lembaga-lembaga tinggi negara. Dengan
demikian, utusan golongan dan utusan daerah yang tergabung dalam MPR masih
dapat terlibat dan dapat unjuk gigi dalam membahas persoalan dan kebijakan
nasional.
Karena menurut UUD 1945 yang diamandemen tidak ada ketentuantegas tentang
waktu MPR bersidang yang berarti tidak ada dasar hukum bagi MPR
menyelenggarakan Sidang Tahunan, maka DPD sebagai bagian MPR praktis tidak
mempunyai kekuata apa-apa untuk melakukan cawe-cawe dan koreksi terhadap
jalannya pemerintahan dan pembangunan.
Kemudian dari segi rekrutmen, sama-sama sebagai unsur MPR, anggota DPD
dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilu secara perorangan dan non
partisan. Dengan pemilihan secara perorangan tersebut diharapkan akan
terpilih orang-orang daerah yang benar-benar berkualitas. Sedangkan anggota
DPR sampai saat ini masih berketetapan akan dipilih secara proporsional yang
berarti memilih gambar parpol, bukan orang. Hal ini berarti rakyat dalam
memilih anggota DPR masih seperti membeli kucing dalam karung. Kita dapat
menyaksikan dan menilai sendiri seperti apa kualitas anggota DPR/D saat ini
akibat menggunakan sistem proporsional. Dengan demikian, dominasi parpol
terhadap kader yang akan dicalonkan dan yang sudah duduk di DPR/D masih
sangat kuat sehingga kedekatan dan tanggungjawab anggota DPR dengan
konstituennya relatif longgar. Sedangkan bagi anggota DPD akan mempunyai
rasa tanggung jawab dan kedekatan yang tinggi terhadap konstituennya.
Dengan demikian, anggota DPD jauh lebih dapat dipertanggungjawabkan tingkat
mewakilinya dibandingkan dengan anggota DPR. Untuk itu, alangkah baiknya
apabila sistem pemilu untuk DPR diganti dengan sistem distrik sehingga semua
jabatan politik akan paralel yakni memilih orang. Mengapa anggota DPR/D saat
ini ada keengganan atau tidak mau menyetujui sistem distrik karena dibayangi
ketakutan tidak akan terpilih lagi berhubung track record-nya yang tidak
bermutu selama menjadi anggota DPR lima tahun terakhir sudah diketahui
masyarakat.
Berdasarkan realita tertulis yang ada dalam UUD 1945 yang diamandemen
tersebut, akhirnya dapat disimpulkan bahwa peran yang dapat dimainkan DPD
sekedar peran formalitas belaka yakni hanya melantik Presiden/Wakil Presiden
lima tahun sekali. Benar, bahwa DPD bagian dari MPR ikut merubah dan
menetapkan UUD, tetapi bukankah UUD tidak setiap tahun atau lima tahun
diadakan perubahan? Kalau UUD sudah mantap maka tugas MPR semakin ringan
yang berarti hanya melantik presiden/wakil presiden setiap lima tahun
sekali. Pendek kata, kendatipun DPD sebagai bagian MPR mempunyai legitimasi
kuat karena dipilih langsung oleh rakyat tetapi keberadaannya ternyata
seperti macan ompong!. Wujudnya ada, kuat, dan terhormat, akan tetapi peran
dan fungsinya kurang menentukan sehingga keberadaannya tidak lebih sebagai
hiasan dan pemanis sistem politik belaka. Hal inilah yang patut direnungkan
untuk dicari jalan keluarnya (dasar hukum) agar DPD sebagai bagian dari MPR
tetap dapat mempunyai kekuatan untuk menentukan berbagai policy nasional,
bukan sekedar mengurusi persoalan seputar otonomi daerah saja, dan hal ini
pun tergantung kepada DPR. Kasihan DPD!.INFO KOTA PALEMBANG
Poltabes 354350, Polsekta IB I 353014, Polsekta IT I 351607, Polsekta IT II
713344, Polsekta SU I 510128, Polsekta SU II 510096, Polsekta S Gerong
598144, 598145, Polsekta Talangkelapa 411585, Polsekta Sakokenten 820062,
Kodim Tabes 0418 351637, Pemadam Kebakaran 312011, PDAM 350079, PLN
356911-358355, Informasi Telepon 108, Layanan Telegram 165, SLI 100,
Pengakuran Jam 103, Gangguan Telepon 117, Ambulance 118, Easy Call 320666,
Starko 31033-362442, Bandara SMB II 411778, Informasi SMB II 413695, Vip
Room SMB II 410159, Lanud 410376, STA Kertapati 515555, 510201 - (0734)
510967, RS dr MH Palembang (Sentral) 354088, RS Charitas 350827, RSI Siti
Khadijah 311884, RS AK Gani 354691, RS Jiwa 410354, Hotel Swarna Dwipa
313322, Sandjaja 310675, Lembang 363333, King’s 362323, Princess 313131,
Perusahaan Gas Negara 717950.


CURAHAN UNEK-UNEK AN