[Nasional-m] Tolak Formulir KPKPN Pejabat Bisa Dikucilkan

Ambon nasional-m@polarhome.com
Tue Aug 27 00:00:34 2002


Pikiran Rakyat
27/08/02

Tolak Formulir KPKPN Pejabat Bisa Dikucilkan

JAKARTA, (PR).-
Para anggota DPR yang tidak mau melaporkan harta kekayaannya kepada Komisi
Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) dapat dikucilkan dan
diasingkan lewat sanksi moral. Dalam masyarakat berbudaya, sanksi moral itu
justru lebih luar biasa ampuhnya.
Hal itu dikemukakan Ketua KPKPN Sub Legislatif Abdullah Hehamahua usai
mengadakan pertemuan dengan Ketua FPDI-P DPR Roy BB Janis di gedung DPR,
Senin (26/8).
Abdullah secara khusus bertemu Roy untuk mengklarifikasi sejumlah data,
serta membicarakan 155 anggota DPR dan MPR termasuk anggota Fraksi PDIP yang
menolak menyerahkan kembali formulir KPKPN. KPKPN memberi batas waktu hingga
akhir Agustus 2002, dan jika batas waktu itu tidak diindahkan, maka
institusi itu akan melimpahkan hal tersebut ke Polri.
Abdullah menjelaskan, pihaknya masih memberi waktu sepekan kepada 155
anggota DPR dan MPR untuk menyerahkan formulir daftar isian kekayaan kepada
KPKPN. Jika batas waktu itu dilanggar, maka pihaknya akan memproses lebih
lanjut.
Menurutnya, penolakan anggota DPR dan MPR itu umumnya karena tidak ingin
privasinya terganggu. ”Alasan seperti itu tidak bisa digunakan, karena
anggota DPR dan MPR adalah publik figur yang segala sesuatunya pantas
diketahui publik,” tandasnya.
Abdullah menambahkan, KPKPN melaksanakan tugas pemeriksaan terhadap kekayaan
pejabat dan mantan pejabat. Untuk mantan pejabat dilakukan pemeriksaan
selama lima tahun setelah melepas jabatannya. ”Jadi tidak bisa mengelak
sekarang, karena kalau mengelak sekarang, masih akan dikejar sampai lima
tahun mendatang,” katanya.
Soal sanksi, Abdullah mengemukakan, KPKPN minta pimpinan DPR untuk
menggunakan kode etik dan Tatib DPR untuk melarang anggotanya yang belum
menyerahkan daftar harta kekayaannya ke KPKPN turun ke daerah atau melakukan
kunjungan kerja ke daerah. Mereka ini adalah pantas untuk tidak mengunjungi
rakyat karena secara moral saja mereka itu sudah tak patut dipanut.
Ia juga menjelaskan, dalam agama ada yang berpendapat, mayat koruptor tak
usah disalatkan. Hal itu merupakan hukuman tersendiri yang sangat luar biasa
dari pembelakuan sanksi moral masyarakat, bahkan jika punya acara untuk
tidak usah dihadiri. Namun, secara hukum positif dari UU No 28 Tahun 1999
hanya ditegaskan sanksi administratif dan itupun hanya bagi mereka yang
punya boss atau atasan. Sedangkan DPR/MPR tidak punya boss.
Ditanyakan soal class action yang diajukan LBH, Abdullah justru meminta
semua pihak bersabar. ”Sebaiknya diberi kesempatan bagi yang belum serahkan,
tapi kalau mereka tak mau serahkan harta kekayaannya ya silahkan LBH berbuat
apa pun,” ujarnya.
Ia mengaku, setahun yang lalu dirinya telah mengajukan perubahan terhadap UU
yang hanya mengenakan sanksi administratif menjadi sanksi pidana. Tapi
sampai hari ini pemerintah dan DPR belum merespons.
Dikatakan, anggota MPR/DPR sebagai publik figur dan pejabat publik memiliki
kewajiban moral dan secara privasi terkurangi, karena sebagai publik figur,
rakyat berhak tahu apa saja harta kekayaan yang dimiliki anggota DPR,
sehingga privasinya terkurangi.
Menurutnya, ada dua kategori bandel, yaitu, pertama, alasan privasinya
terganggu, dan kedua, bandel karena berindikasikan KKN. Bagi yang privasinya
terganggu, penjelasannya seperti tersebut. Namun bagi yang KKN, ia minta
kepada yang bersangkutan segera mengaku salah dan meminta maaf. Bisa juga
ditebus menyerahkan hasil-hasil yang didapat dari KKN kepada negara untuk
membantu negara yang sedang kesulitan. Karena cepat atau lambat, akan
diketahui juga. Tidak hanya oleh KPKPN tetapi oleh rakyat. Undang-undang
akan mengejar terus, karena UU tersebut tidak hanya berlaku selama jadi
anggota tapi juga setelah tidak jadi anggota, tegasnya.
Ditanya tentang usulan Benny Pasaribu agar formulirnya diganti dengan SPT,
Abdullah jelaskan, SPT digunakan untuk menarik pajak tetapi tidak menelusuri
adanya dugaan KKN, sedangkan KPKPN bertugas menelusuri KKN, ujarnya.
Indikasikan KKN
Sementara itu, Ketua FPDI-P DPR, Roy BB Janis mengatakan, penolakan ratusan
anggota DPR dan MPR termasuk dari anggota FPDI-P untuk menyerahkan formulir
daftar kekayaan kepada KPKPN menunjukkan kemungkinan adanya indikasi dan
dugaan KKN. Anggota fraksi PDIP yang menolak menyerahkan kembali formulir
dapat dikatakan sebagai tindakan `bandel’. ”Bandel serius itulah yang patut
diduga adanya KKN dalam kepemilikan kekayaannya,” katanya, usai menerima
Abdullah Hehamahua kemarin.
Menurut Roy, terminologi bandel itu terbagi dua yaitu bandel karena alasan
teknis berupa kesulitan dalam pengisian dan bandel yang serius.
Soal class action, Roy BB Janis mengaku tak bisa mencegah jika masyarakat
melakukan gugatan class action pada anggota parlemen bandel yang tak juga
serahkan form kekayaan ke KPKPN. ”Silahkan saja mereka melakukan class
action,” kata Roy.
Meski mempersilakan, tapi ia tetap mengimbau agar masyarakat sabar. ”Sabar
sedikit. Kesempatan telah diberikan dan telah dibuat. Jika mereka tetap
lolos, kami persilakan LBH atau anggota masyarakat melakukan class action,”
kata Roy.
Anggota Komisi II DPR dari FPDI-P, Haryanto Taslam mengatakan, Ketua KPKPN
Yusuf Syakir jangan ragu-ragu untuk menegakkan hukum. Bagi mereka yang tidak
laporkan harta kekayaannnya kepada KPKPN sesuai ketentuan, supaya ditindak
saja karena mereka sudah tidak punya rasa malu akibat moralitasnya yang
telah demikian rusak. ”Sebagai anggota DPR, saya prihatin dan malu terhadap
teman-teman yang tak laporkan daftar kekayaannya. Wonglapor saja kok nggak
mau, apa takut ditanyai, dari mana asalnya? Seharusnya Yusuf Syakir tak
perlu ragu menghadapi masalah tersebut,” kata Haryanto Taslam
kemarin.(A-109)***
————————————