[Nasional-m] Nasib Akbar dan Falsafah Peradilan Kita

Ambon nasional-m@polarhome.com
Thu Aug 15 21:48:01 2002


Sinar Harapan
15/8/2002

Nasib Akbar dan Falsafah Peradilan Kita
Oleh Asmar Oemar Saleh

Setelah diwarnai berbagai perkembangan ”baru” yang menarik, kasus Akbar
Tandjung atau masyhur dengan sebutan Buloggate II kini memasuki babak akhir.
Berbagai perkembangan baru itu ditandai dengan tersingkapnya berbagai
kebohongan, kesaksian palsu dan rekayasa. Pertama, pengakuan Dadang Sukandar
(Ketua Yayasan Raudatul Jannah) di hadapan majelis hakim bahwa dia telah
memberi kesaksian atau keterangan palsu. Dana nonbujeter Bulog yang
sebelumnya dikatakan untuk keperluan penyaluran sembako, ternyata 90 persen
fiktif.
Kedua, ”Skenario Mahakam” (belakangan terungkap Skenario Mayestik) yang
diungkap oleh penasihat hukum Rahardi Ramelan (Trimoelja D Soerjadi) yang
menyatakan bahwa Akbar dan pengacaranya (Hotma Sitompul) menawarkan skenario
besar penyelamatan posisi Akbar. Tawaran yang cenderung menguntungkan Akbar
itu, seperti kita tahu ditolak Rahardi, bahkan ia menantang Akbar untuk
fight di pengadilan. Sebuah tantangan yang logis, karena tak ada orang waras
yang mau dijadikan kambing hitam atau dikorbankan untuk suatu hal yang tidak
benar atau tak dilakukan. Persis pada titik inilah dugaan adanya manipulasi
dan rekayasa pada Buloggate II tersebut kian menemukan titik terangnya.
Ketiga, upaya tim penasihat hukum Rahardi yang mempertanyakan akta pendirian
Yayasan Raudhatul Jannah yang dibuat di Subang, padahal para pendirinya
tinggal di Jakarta. Demikian pula adanya nama almarhum Dadi Surjadi sebagai
wakil ketua yayasan tahun 2001, padahal Dadi sudah meninggal tahun 2000.
Fakta ini pastilah menggelikan dan menghina akal sehat.
Keempat, pengakuan kontraktor penyaluran sembako, Winfried Simatupang, bahwa
pengembalian dana nonbujeter Bulog sebesar Rp 40 miliar kepada penyidik
Kejaksaan Agung beberapa waktu lalu adalah bagian dari skenario untuk
menyelamatkan Akbar Tandjung.
Poin pertama di atas secara common sense jelas terbukti. Artinya, tanpa
harus terlalu lama menunggu putusan pengadilan, akal sehat publik dengan gam
pang ”memvonis” Dadang Sukandar telah melakukan tindak pidana korupsi dan
memberikan kesaksian palsu.
Unsur memperkaya diri sendiri dan atau menguntungkan diri sendiri, dengan
sendirinya terpenuhi. Soal kesaksian palsu Dadang bisa dijerat dakwaan baru
berupa sumpah atau saksi palsu. Bukan saja bukti-bukti objektif yang
terpenuhi, tapi juga atas dasar ”persangkaan” hakim seperti diamanatkan
pasal 174 ayat 1 (satu). ”Persangkaan” hakim itu makin kukuh karena
didasarkan pada pengakuan terdakwa sendiri.
Adapun poin kedua, meski sudah ditunjukkan dan dikuatkan oleh rekaman kaset
soal isi atau substansi pertemuan yang membuktikan adanya skenario
penyelamatan Ak-bar, pihak Akbar dan pengacaranya tetap saja menyangkalnya
(baca: tidak mengakui secara eksplisit materi pertemuan dan cenderung
menuduh pihak Rahardi mengalihkan persoalan). Dikatakan oleh Akbar, bahwa
pertemuan di Hotel Gran Mahakam itu benar adanya, tapi menyangkut substansi
yang dituduhkan Trimoelja, Akbar mengaku lupa.
Dan sialnya dalam sistem hukum pembuktian di negeri kita, rekaman tidak bisa
dijadikan barang bukti. Lebih dari itu, orang tak bisa dihukum karena lupa.
Hanya mungkin perlu diingkatkan, mengapa untuk hal-hal yang begitu penting,
para terdakwa kerap terserang penyakit ”lupa”. Publik lagi-lagi gampang ”
memvonis” bahwa sejatinya mereka tengah membela diri atau menutupi kebenaran
yang hakiki.
Poin ketiga dan keempat, berdasarkan logika publik, jelas menunjukkan adanya
rekayasa untuk menutup-nutupi (cover-up) kenyataan yang sebenarnya. Hal ini
juga kian membenarkan dugaan adanya skenario besar untuk menyelamatkan
Akbar. Berbagai inkonsistensi keterangan saksi/terdakwa selama ini dan
mungkin dalam persidangan-persidangan yang akan datang makin menunjukkan
ketidakbenaran keterangan atau kesaksian mereka. Adalah tugas dan kewajiban
jaksa dan majelis hakim untuk mengorek lebih dalam setiap keterangan yang
mencurigakan dan berbau tipu muslihat.
Pertanyaannya, bagaimanakah akhir dari drama pengadilan terhadap Akbar
Tandjung tersebut?

Kekuasaan Peradilan
Setiap mahasiswa fakultas hukum mafhum, kekuasaan peradilan yang dianut di
negeri kita menganut falsafah Pancasila. Landasan filosofis ini menegaskan,
pelaksanaan peradilan dilakukan berdasarkan sila pertama, yaitu Ketuhanan
yang Maha Esa. Kendati falsafah itu seolah-olah melakukan pendekatan yang
lebih mengutamakan sila pertama, hal itu tak mengurangi landasan lain,
seperti perikemanusiaan dan rule of law.
Dengan demikian, yang dijunjung tinggi bukan judicial power tapi kekuasaan
peradilan yang tunduk pada supremasi hukum. Oleh karena itu, Pasal 4 UU No.
14/1970 telah merumuskan bahwa dalam melaksanakan fungsi dan wewenang
peradilan, harus dijalankan: ”Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan yang Maha
Esa.” (M. Yahya Harahap, 1985).
Dalam perspektif seperti ini, keputusan apa pun yang diambil oleh sebuah
lembaga peradilan, pertanggungjawabannya tidak semata-mata ditujukan kepada
nurani masyarakat dan diri sendiri, tapi juga kepada Tuhan. Perasaan gentar,
takut, dan ewuh pakewuh tentu harus dibuang.

Karena itu sangat naif jika sebuah keputusan hukum dibayang-bayangi oleh
kekuasaan politik-ekonomi sekelompok orang/penguasa. Sebuah keputusan hukum
harus bebas dari kekuasaan extra judicial baik berupa ancaman, intimidasi,
atau bahkan dipengaruhi oleh uang.
Sebaliknya, seorang terdakwa tak dibenarkan untuk mempengaruhi keputusan
yang bakal diambil oleh hakim dengan memberikan ”sesuatu”. Cita-cita,
idealisme, dan tujuan peradilan kita bukan saja keadilan lahir dan kebebasan
peradilan, tapi juga terjaganya nurani publik. Ketertiban yang akan dibangun
adalah ketertiban yang hakiki, lahir-batin, bukan ketertiban semu seperti
yang sering terjadi selama ini.
Landasan filosofis tersebut terasa urgen untuk dikemukakan di sini, terlebih
ketika banyak putusan-putusan hukum di negeri kita terkesan kuat menafikan
perspektif Ketuhanan dan mengingkari keadilan publik.
Landasan filosofis tersebut juga untuk mengingatkan kembali nurani para
hakim yang sedang dan akan mengadili kasus-kasus besar di Indonesia. Sebab
dari palu yang digenggamnyalah masa depan, nasib, dan jalan hidup seseorang
akan ditentukan. Pen-jelasan di bawah ini barangkali akan membantu memahami
pernyataan di atas.

Asas Pembuktian
Seperti dimaklumi, sistem peradilan di negara kita menganut asas pembuktian
menurut undang-undang secara negatif (negatief wettelijk stelsel).
Sistem ini merupakan gabungan teori antara sistem pembuktian menurut
undang-undang secara positif dengan sistem pembuktian menurut keyakinan atau
conviction-intime. Jika dalam sistem pembuktian menurut undang-undang secara
positif berpedoman pada prinsip pembuktian dengan alat-alat bukti yang
ditentukan undang-undang, maka dalam sistem conviction-intime kesalahan atau
ketidakbersalahan seorang terdakwa ditentukan oleh ”keyakinan” subjektif
sang hakim.
Keyakinan hakim itu terbit dari alat-alat bukti yang disodorkan kepadanya
atau yang muncul di pengadilan. Hakim bisa saja mengabaikan temuan-temuan
itu, dan demikian pula sebaliknya. Walhasil, hakim dalam sistem ini
sungguh-sungguh amat berkuasa (powerful) dalam menentukan hitam-putihnya
seseorang.
Oleh karena itu sistem yang diberlakukan di Indonesia mencoba menjembatani
dua kutub ekstrem di atas: satu kutub yang amat menekankan pada fakta atau
bukti dan kutub lainnya yang menekankan ”keyakinan” subjektif hakim.
Itu berarti seorang terdakwa baru dinyatakan bersalah jika kesalahan yang
didakwakan kepadanya dapat dibuktikan dengan cara dan dengan alat-alat bukti
yang sah menurut undang-undang serta keterbuktikan kesalahan tadi ”
dibarengi” pula dengan keyakinan hakim (M. Yahya Harahap; 1985).
Akan tetapi, meski secara teoretis-normatif sistem ini mencoba
menyeimbangkan antara unsur objektif (fakta-fakta) dan unsur subjektif hakim
(”keyakinan”), dalam praktiknya unsur subjektif hakim tersebut sering
terlihat amat dominan dalam menentukan keputusan hukum. Ini karena unsur
subjektif hakim tersebut dilatari oleh masa lalu sang hakim, moralitas,
integritas, dan interaksi atau komunikasinya dengan terdakwa.
Mohon diingat, hakim adalah manusia biasa, dengan segala kenisbian,
keterbatasan dan sifat manusiawi lainnya seperti mudah tergoda oleh
iming-iming materi dari terdakwa atau malah takut ancaman yang mungkin
timbul dari keputusan yang dihasilkan.
Apalagi seorang terdakwa berhasil menyuap sang hakim. Hal-hal seperti inilah
yang membuat segenap bukti yang tampak di pengadilan-betapa pun
valid-nya-akan sia-sia.
Seorang hakim bisa saja berdalih bahwa bukti yang disodorkan di pengadilan
tak meyakinkan dan karenanya ia membebaskan terdakwa dari semua tuduhan yang
didakwakan. Atau kalaupun seorang terdakwa dijatuhi hukuman, putusan hakim
tersebut dinilai publik terlalu ringan.
Dalam pengalaman di negeri kita selama tiga dasawarsa lebih, fenomena ini
sering terjadi. Publik kerap tercabik-cabik nurani dan rasa keadilannya.
Hal inilah yang terjadi pada Buloggate II. Apalagi sejak awal kasus ini
memang diplot untuk mengikuti skenario dana mengalir ke yayasan yang
kontroversial itu. Dan seperti diduga, hakim atau jaksa konsisten dengan
materi berita acara tersebut.
Dalam persidangan selama ini, ada kesan kuat hakim dan jaksa ”melindungi”
Akbar dan abai terhadap nurani publik. Ditangguhkannya penahanan terhadap
Akbar beberapa waktu lalu, salah satu bukti betapa Akbar mendapat ”
perlakuan” khusus. Karena itu, sangat mungkin mereka akan membela Akbar
dengan berbagai kewenangan yang dimiliki.
Oleh karena itu, nasib Akbar dan putusan akhir terhadapnya pada akhirnya
akan sangat tergantung pada: pertama, kecermatan dan kewaskitaan (wisdom)
hakim dalam menyimak bukti-bukti yang berhasil dikuak di persidangan. Kedua,
penghayatan seorang hakim terhadap falsafah kekuasaan peradilan di negeri
kita. Dan ketiga, akeyakinan” subjektif hakim atas semua bukti yang
diajukan.
Di atas semua itu, majelis hakim harus ingat bahwa pembongkaran tuntas atas
kasus ini akan mengubah drastis lansekap politik kita di masa depan.
Bahkan masa depan Republik dan hukum kita ke depan amat bergantung pada
putusan hukum yang akan diambil majelis hakim. Tuntutan empat tahun penjara
bagi Akbar pada akhirnya terasa janggal dan tidak sesuai dengan nurani dan
jeritan publik.

Penulis adalah advokat, mantan Deputi III Bidang Penanggulangan Pelanggaran
HAM, Kantor Menteri Negara Urusan HAM.


Copyright © Sinar Harapan 2002