[Nasional-a] TUNTUT TANGGUNG JAWAB PARA ELITE POLITIK NON-PRI. - "Yap Hong Gie"

nasional-a@polarhome.com nasional-a@polarhome.com
Sun Sep 1 06:00:16 2002


Posting yang kami rubah kedalam format Text/Plain.
Dengan harapan untuk selanjutnya yang bersangkutan
mengikuti aturan dimilis Nasional.
----------------------------------------------
Datum: Fri, 30 Aug 2002 12:36:34 +0700
Von: "Yap Hong Gie" <ouwehoer@centrin.net.id>
Firma: PT. Kresna Jalasegara
An: <nasional-a@polarhome.com>
-----------------------------------------

(Surat terbuka)

TUNTUT TANGGUNG JAWAB PARA ELITE POLITIK NON-PRI.

NYARIS diterimanya kata "pribumi" dalam Rancangan Ketetapan Rekomendasi Kebijakan
untuk Mempercepat Pemulihan Ekonomi Nasional (RKMPEN): "Memperbaiki struktur
perekonomian nasional dengan memperluas partisipasi dan emansipasi masyarkat,
termasuk kesetaraan jender dalam rangka mendorong dan meningkatkan perekonomian
rakyat kecil dan pribumi ..", dalam pengesahan RANTAP-RANTAP ST. MPR 2002, Sabtu 10
Agustus 2002,  membuat warga keturunan Cina luput dari suatu bencana ekonomi rasial.
Apabila Amandemen UU sampai diterima, maka Pemerintah Pusat maupun Daerah akan
memberlakukan berbagai Kebijakan, Peraturan, JUKLAK, serta kesempatan munculnya
efek-efek sampingan; berbagai bentuk praktek pemerasan lainnya.  Dan yang biasanya
merasakan  dampaknya langsung adalah pengusaha-pedagang non-pri kelas menengah dan
kecil,  karena pengusaha non-pri papan atas akan lebih mudah menghindar dengan cara
a.l. mengajak investor asing dan menjadikan usahanya sebagai perusahaan PMA, dlsb.
 
Euforia Reformasi:
Setelah jatuhnya pemerintah Orde Baru, dimana seluruh sistim dan sendi-sendi
kenegaraan dan masyarakat me-Reformasi diri, beberapa tokoh Non-pri melihat
kesempatan untuk ikut ambil bagian dalam pesta Reformasi  ini, dengan mendirikan
Partai2 Tiong-hoa, serta berbagai organisasi exclusif a.l. perhimpunan, paguyuban
dsb.  Tokoh-tokoh ini melihat kesempatan untuk tampil dan mengambil bagian dalam
power centre, menggalang  massa masyarakat etnis Cina, mengkampanyekan misi dan visi
organisasi yang menuntut persamaan hak sebagai warga negara.  Munculnya gerakan -
kegiatan seperti seminar dengan tema sentral, seperti : 
Hak WNI, Diskriminasi, dll.  Sayangnya yang dipersoalkan adalah isu-isu yang simbolis
ketimbang hal-hal yang sifatnya prinsip; hebohnya memperjuangkan penggunaan istilah
TIONG-HOA menggantikan kata CINA, lebih extrim lagi penyelenggaraan pemilihan Cici &
Koko, dll.
Dengan naif para elite non-pri ini  menuntut hak-hak sebagai warga negara dan membuat
kebijakan yang jauh diatas iklim realitas yang ada;  'asyik bermain sendiri dan
menikmati permainannya sendiri'.  
Faktor-faktor kendala dan problema ekonomi, politik, hukum, sosial yang dihadapi
bangsa ini tidak dilihat untuk dijadikan konsideran menentukan kebijakan program
organisasi, tidak melakukan sosialisasi atau berintegrasi dengan organisasi nasional
lainnya, dengan  kolompok atau unsur masyarakat pribumi umumnya.

Sejarah sudah membuktikan bahwa etnis Cina selalu dimanfaat kan oleh rezim penguasa,
selalu dengan modus yang sama : EXCLUSIVISME.  Mulai dari zaman Kolonial Belanda
dengan kebijakan "de Vreemde Oosterlingen", pada zaman penjajahan Jepang, rezim  Orde
Lama dengan BAPERKI-nya, rezim Orde Baru 'ALI-BABA & BABA-ALI', dan sekarang di era
"demokrasi" , justru para elite ini berlomba-lomba mendirikan partai, organisasi
massa, yang lagi-lagi sifatnya EXKLUSIF.
Selain merayakan Imlek dan hari-hari besar tradisionil,mari kita inventarisir, 
prinsip hak asasi dan nilai-nilai kebangsaan apakah yang telah dicapai untuk
dinikmati masyarakat etnis Cina dan kontribusinya apa yang diberikan pada masyarakat
Indonesia umumnya ?

1. Secara De Jure:
INPRES No.26/1998, tanggal 16 September 1998, tentang : Penghapusan istilah pri &
non-pri. KEPRES No.06/2000, tanggal 17 Januari 2000, tentang : Pencabutan INPRES
No.14/1967,      mengenai Agama, Kepercayaan dan Adat istiadat Cina.
Secara De Facto:
* Istilah pri & non-pri yang diawal tahun 90-an oleh pemerintah Orde Baru sudah mulai
dilarang, yang dikukuhkan  melalui INPRES No.26/88, namun diabaikan bahkan bukan lagi
merupakan sekedar istilah, akan tetapi kata  'pribumi' menjadi suatu kata resmi yang
ingin disisipkan dalam Rantap ST. MPR-2002, untuk memberlakukan ekonomi rasial.
* Keputusan Muspida Garut, untuk membebankan hutang Acun kepada  seluruh warga etnis
Cina di Garut.
* Kebijakan Pemkot Bekasi untuk memberlakukan Surat Keterangan  Model-1 (SBKRI,
KEPRES   Pemberian  Kewarganegaraan, Berita Acara Pengambilan Sumpah Milik Pribadi
atau Orang  Tua), Juli  2002.

2. Kehidupan sosial mayoritas masyarakat etnis Cina, cenderung makin tidak perduli
dengan situasi kondisi sosial-politik dan ekonomi yang sedang dilanda krisis
berkepanjangan, khususnya dalam menjalani hidup bermasyarakat sehari-hari dan dilain
pihak meningkatnya kecemburuan sosial dan diiringi dengan rasisme yang tajam.

Jika kita belum menyadari atau menangkap signal-signal dari gagalnya pendidikan
sosial-politik para elite politik non-pri dengan paham  Exclusivisme tersebut, dan
selanjutnya tidak merubah diri untuk hidup bermasyarakat, maka sudah dapat dipastikan
bahwa apabila terjadi kerusuhan massa lagi, maka pasti yang pertama-tama menjadi
korban adalah masyarakat Cina lagi, dengan korban adalah kalangan menengah kebawah.
Bayangkan, jika suatu ketika pemerintah membuat keputusan bahwa semua hutang atau
uang yang dilarikan koruptor non-pri harus ditanggung-renteng oleh seluruh warga
etnis Tiong-Hoa, dan kalau tidak akan terjadi kerusuhan sosial .....

Kepada para tokoh, para pimpinan dan elite Partai dan Ormas Tiong-Hoa, saya minta
untuk segera menghentikan praktek-praktek exklusifme ini, membubarkan partai dan
Ormas-nya, dimana selanjutnya bertanggung jawab atas meningkatnya diskriminasi
terhadap warga etnis Cina.
 
Kepada rekan-rekan warga etnis Cina, agar selalu bersikap kritis, menolak segala
doktrin pengkotak-kotakan, menjadikan kita warga masyarakat terisolir, demi
kepentingan segelintir elite non-pri yang ingin duduk diantara elite kekuasaan.
Silahkan rekan-rekan berpartisipasi, berintegrasi, bersosialisasi dengan partai,
ormas, LSM nasional, atau dengan komponen bangsa lainnya, untuk memperjuangakan
cita-cita masyarakat harmonis, dengan prinsip yang saling menghormati dan saling
menghargai.

Teringat apa yang pernah disampaikan almarhum Mr. Yap Thiam Hien, SH., bahwa
heterogenitas suku dan etnis bangsa Indonesia,  ibaratkan suatu Orchestra, yang
terdiri dari berbagai macam instrumen :
alat tiup, alat tabuh,  alat gesek, piano, gitar dsbnya.   Jika salah satu jenis
instrumen dimainkan secara dominan maka, maka dia akan menutupi dan mempengaruhi
suara alat-alat musik lainnya, namun kalau dimainkan secara harmonis; kompak, saling
mengisi, dimana setiap ciri dan karakter instrumen bisa tampil, maka suara Ochestra
akan terdengar sangat indah .........

Wassalam,
Jakarta, 17 Agustus 2002
Yap Hong Gie. 
ouwehoer@centrin.com