[Nasional-a] MELAWAN KETERPURUKAN SAMAKAH DENGAN DENDAM?

Budhisatwati J.KUSNI nasional-a@polarhome.com
Sun Sep 1 05:48:03 2002


MELAWAN KETERPURUKAN UNTUK KEHIDUPAN MANUSIAWI,  APAKAH SAMA DENGAN DENDAM?

Beberapa topik diskusi di kalangan orang-orang Dayak Kalimantan


Oleh JJ.KUSNI


Pertanyaan-pertanyaan berikut adalah beberapa persoalan yang muncul dalam
diskusi di kalangan orang-orang  Dayak Kalimantan Indonesia melalui media
listrik yang sampai sekarang masih terus berlangsung:

(1). perlukah sejarah keterpurukan disyukuri?; (2). siapakah yang membuat
kita terpuruk dan ke mana larinya harta kekayaan alam Kalimantan dibawa?;
(3). apakah kekuatan Orba sudah bisa dianggap berlalu?; (4). apakah melawan
keterpurukan bisa dinilai sebagai "dendam"?; dan (5). bagaimana kita menarik
pelajaran dari pengalaman masa lalu untuk kepentingan hari ini dan masa
mendatang?

Dalam usaha untuk mencoba menjawab kelima persoalan tersebut maka saya akan
menggabungkan apa yang bisa saya gabungkan.


MEMBACA SEJARAH:

"Syukurilah perjalanan Sejarah yang telah berlalu. Jadikan semuanya sebagai
pelajaran berharga untuk masa depan kita", tulis Fasenga salah seorang
peserta diskusi. Agaknya Fasenga pun menganggap bahwa sejarah kalau kita
bisa membacanya dengan baik, maka ia akan mempunyai manfaat bagi kehidupan.
Sejarah memang bukanlah hanya rangkaian cerita yang hanya dijadikan bahan
hapalan dalam menghadapi ujian sekolah. Dalam hubungan ini maka metode
pengajaran sejarah di sekolah-sekolah perlu dicermati danditinjau kembali
dan hal kedua, perlunya sejarah lokal dimasukkan ke dalam kurikulum
sekolah-sekolah sehingga orang-orang lokal mengenal sejarah daerahnya, tahu
apa-siapa diri mereka sehingga dengan begini sejak dini, sejak kecil warga
komunitas paham apa kekurangan, kesalahan dan keunggulan komunitas mereka
pada masa silam. Belajar dari pengalaman-pengalaman sejarah tersebut mereka
diingatkan untuk tidak lagi mengulangi kesalahan-kesalahan pada masasilam
sehingga mereka tidak kembali seperti keledai tersandung di batu yang sama
ketika melangkah ke depan. Di samping itu merekapun bisa mengembangkan
tradisi unggul yang mereka miliki.Saya kira inilah arti pentingnya belajar
sejarah dan bagaimana belajar sejarah. Belajar sejarah secara aplikatif,
belajar sejarah untuk kepentingan kehidupan bukan terbatas pada tujuan lulus
ujian. Belajar sejarah secara aplikatif, saya kira, bukan hanya bermanfaat
"untuk masa depan" tetapi juga berguna untuk kepentingan kita praktis kita
di hari ini. Dalam artian inilah maka masa lalu, hari ini dan haridepan
merupakan satu kesatuan, dan bukannya seperti pulau-pulau terpisah satu dari
yang lain. Jika kita bisa menyatukan ketiga periode sejarah untuk
kepentingan memanusiawikan manusia, kehidupan dan masyarakat maka layaklah
kita mengucapkan "syukur" atau "menyukuri" metode pengajaran sejarah dan
bukan dalam artian "menyukuri" sejarah kepapaan yang sudah kita lalui.
Mengapa mesti menyukuri kepapaan dan kenistaan serta keterpurukan? Jika kita
hanya menjadikan yang disebut sejarah hanya sebatas bahan hapalan ujian,
saya kira, metode pendidikan demikian tidak pula layak disyukuri. Sejarah
patut mengangkat dan bukan "mengubur dalam-dalam" semua hal termasuk "akar
pahit" yang kita telan dari generasi ke generasi.

PENULISAN SEJARAH NASIONAL:

Sejarah yang bagaimana yang patut kita pelajari?
Prof. Dr. Moh. Arkoun, islamolog dan sejarawan Prancis asal Aljazair,
membedakan adanya dua macam sejarah, yaitu (1). sejarah yang bersifat
politis dan (2). sejarah yang ditulis secara ilmiah.

Sejarah yang bersifat politis, ditulis guna melayani kepentingan politik
kelompok-kelompok dominan dalam masyarakat, jelasnya kekuasaan politik pada
periode tertentu. Unsur keobyektifan pada sejarah jenis pertama ini
diabaikan sehingga di dalam sejarah yang bersifat politis ini sering kita
saksikan, jika menggunakan istilah alm. Dr. Jacques LECLERC, sejarawan dan
Indonesianis Prancis: "pahlawan dibunuh dua kali". Bahkan bisa saja terjadi
dibunuh lebih dari dua kali sesuai dengan kepentingan politik.pemegang
kekuasaan politik yang bergonta-ganti. Contohnya: buku sejarah Indonesia
yang disusun di bawah bimbingan Brigjen Prof.Dr Nugroho Notosusanto, sejarah
ini  ditulis demi melayani kepentingan pemerintahan Orde Baru (Orba).

Sedangkan sejarah yang ditulis secara ilmiah adalah sejarah yang
mengutamakan obyektivitas, berusaha menulis sejarah sebagaimana adanya. Yang
hitam dikatakan hitam, yang putih dikatakan putih.

Sejauh ini, sejarah Indonesia masih dikuasai oleh kitab-kitab sejarah yang
ditulis demi mengabdi kepentingan politik tertentu. Penulisan sejarah yang
bersifat ilmiah masih menghadapi rupa-rupa rintangan terutama rintangan
politik, disamping masih terjadi  "pemutihan" atau "penggelapan", sehingga
tidak heran bahwa tidak sedikit dari kalangan terutama angkatan muda  yang
misalnya tidak mengerti mengapa tanggal 1 Mei itu dirayakan, bahwa dikatakan
Gerwani itu ada dua, yaitu Gerwani  Zaman Revolusi 1945 dan Gerwani sesudah
itu, dan lain-lain....

Selain hal-hal di atas, tidakkah sejarah Indonesia masih ditandai oleh sifat
Jawa-sentris dan terpengaruh oleh pandangan Eropah-sentris (menggunakan
istilah Samir Amin)?

Jika benar apa yang saya katakan ini, artinya sejarah Indonesia yang
bersifat ilmiah masih harus ditulis. Sejarah Indonesia masih perlu ditulis
kembali. Malangnya, justru sejarah yang melayani kepentingan politik  inilah
yang dicerna terutama oleh generasi muda, termasuk generasi muda Dayak.

SEJARAH LOKAL:

Untuk mengatasi kelemahan penulisan sejarah yang bersifat Jawa-sentris ini,
lagi pula karena Indonesia adalah rangkaian dari sekian ribu pulau dan
sekian ratus etnik, sudah selayaknya digalakkan penulisan sejarah lokal yang
ditulis secara ilmiah artinya bukan untuk melayani kepentingan-kepentingan
politik tertentu. Di samping sejarah nasional, sejarah lokal ini sekali lagi
sudah selayaknya dijadikan salah satu bagian dari mata pelajaran sejarah
yang diajarkan di sekolah-sekolah. Iapun patut dipelajari oleh semua pihak
yang bekerja di daerah tersebut, terutama yang berasal dari etnik atau
daerah lain sehingga orang-orang ini mempunyai pemahaman terhadap daerah di
mana mereka sedang bekerja, termasuk jajaran TNI/Polri. Boleh jadi dari sini
bisa ditumbuhkan rasa saling menghormati dan pengertian. Tentu saja dalam
konteks ini pengetahuan tentang budaya lokal juga sangat diperlukan oleh
orang-orang ini.

Sayangnya sampai saat ini, di Kalimantan Tengah (Kalteng), belum tersedia
sejarah lokal Kalteng. Untuk ini ketika saya akan meninggalkan Palangka Raya
awal tahun ini, saya menyaksikan kesibukan sebuah Panitya Penyusunan Sejarah
Kalteng yang dipimpin oleh Dr.Ahim Rusan. Usaha ini patut didorong. Kalau
materi sejarah lokal saja tidak ada, lalu bagaimana sejarah lokal diajarkan?
Kalau sejarah Kalteng dan Dayak saja tidak ditulis, bagaimana kita bisa
belajar dari sejarah? Ketika mengunjungi Perpustakaan Daerah Kalteng di
Palangka Raya, saya sering berjumpa dengan para guru yang merasa kesulitan
mencari bahan-bahan untuk muatan lokal di sekolah. Salahkah saya jika untuk
keperluan ini saya meminta perhatian lebih khusus lagi kepada Dinas-dinas
terkait? Masalah pendidikan menyangkut haridepan daerah dan bangsa.

Di samping dinas-dinas terkait, sesungguhnya penyediaan bahan pelajaran
untuk muatan lokal bisa dikerjakan juga oleh kekuatan sipil non pemerintah
seperti Lembaga-lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Ikatan Sastrawan Indonesia
(Isasi) Kalteng dan Dewan Kesenian Daerah Kalteng (sayangnya sampai Januari
2002 Dewan Kesenian Daerah ini masih mengalami kelesuan).

Sejarah lokal yang bagaimana yang patut ditulis? Saya kira, sejarah lokal
yang mendesak diperlukan penulisannya mencakup sejarah politik, sejarah
sosial, sejarah kebudayaan, sejarah ekonomi, sejarah sastra-seni, sejarah
Masyarakat Adat. Dengan demikian maka kita bisa mengenal peta keadaaan
daerah-daerah dari masa ke masa. Tanpa adanya penulisan sejarah lokal maka
belajar sejarah untuk kepentingan hari ini dan hari esok serta esok yang
lebih jauh lagi akan terhenti pada seruan dan keinginan belaka.


SIAPA YANG MEMBUAT KALTENG TERPURUK?

Dalam tulisan saya: "Dayak Ngaju: Komunitas Bayang-bayang Tanpa Bentuk",
saya telah memberikan periodisasi perkembangan komunitas Dayak Ngaju dari
masa ke masa. Dalam tulisan tersebut saya tunjukkan bahwa keterpurukan
drastis komunitas Dayak Ngaju bermula dari naiknya Orba ke panggung
kekuasaan. Orba telah melakukan penghancuran sistematik terhadap
tatamasyarakat dan budaya Dayak Ngaju melebihi yang telah dilakukan oleh
kolonialis Belanda. Yang mula-mula dilakukan adalah pengangkangan kekuasaan
politik, dan kemudian bermula dari pengendalian kekuasaan politik itu,
penguasaan di bidang-bidang lain dilakukan. Sejak itu kerusakan demi
kerusakan, terutama kerusakan di bidang pola pikir dan mentalitas di samping
tentu saja kerusakan alam lingkungan yang luar biasa telah terjadi dan terus
berlangsung sampai sekarang. Dayak yang dulu menjadi tuan atas daerah dan
diri mereka pada 1957-1966 telah digantikan oleh Dayak yang lebih pandai
menangis dan menadah belaskasihan. Kalau 1957-1966 merupakan periode
kebangkitan Dayak dan Dayak menjadi tuan atas nasib diri dan daerah mereka,
artinya orang Dayak itu sebenarnya punya kemampuan mengelola daerah mereka.
Mereaksi keadaan ini sayup-sayup terdengar hasrat mendirikan "Dayak Merdeka"
atau "Borneo Merdeka" sekalipun sekali lagi masih merupakan suara
"sayup-sayup". Perlukah keadaan ini disyukuri?

Dilihat dari segi sejarah, sampai hari ini, perjalanan kehidupan orang Dayak
Ngaju sesungguhnya tidak lain dari sebuah sejarah penindasan dan perlawanan
yang laiknya seperti tak kunjung berakhir. Mengungkapkan hal ini tidak lain
dengan maksud agar kita paham, kita sedang berada dalam situasi bagaimana,
menunjukkan di mana kita berada untuk kemudian mempertanyakan mau kemana
serta bagaimana mencapai tujuan tersebut. Ia tidak ada bau-baunya dengan
dendam. Yang saya maui adalah kita bersama-sama menghalau keterpurukan dan
menghalau  keterpurukan untuk menjadikan diri sebagai anak manusia dengan
harkat dan martabat manusiawi sama sekali bukan suatu dendam terhadap
siapapun. Atau patutkah kita menganggap keterpurukan itu sebagai sesuatu
yang patut disyukuri? Saya kira menyukuri keterpurukan akan membuat kita
kian tenggelam bagai kayu besi dilempar ke sungai. Saya kira sudah saatnya
dan sudah seharusnya kita mengobah kehidupan Dayak dari "besi tenggelam"
(sanaman leteng) menjadi besi timbul (sanaman lampang). Jika kita bisa
mengobah keadaan kita dari leteng menjadi lampang, nah, ini yang patut
disyukuri. Jika orang Dayak Ngaju berhasil menjadikan diri mereka sebagai
"sanaman lampang", saya kira, justru keadaan inilah yang menjadi "berkat"
bagi etnik-etnik lain dan negeri ini. "Berkat" apa yang bisa kita berikan
kepada nasion, kepada etnik-etnik lain, kepada kemanusiaan jika kita tetap
terpuruk? Dengan mengemban keterpurukan, kita hanya akan menjadi beban orang
lain, bukan memberikan "berkat". Saya kawatir bahwa pandangan begini
merupakan salahsatu contoh dari kekacauan dalam pola pikir dan mentalitas.


UNTUK KESEJAHTERAAN DAERAH LAIN?

Mengenai adanya anggapan bahwa "kekayaan alam Kalimantan dikuras untuk
kesejahteraan daerah lain", sehingga kemudian yang sekarang ditinggalkan
kepada kita adalah "hutan ..gundul dan gersang", saya ingin meminta
perhatian jangan sampai pandangan begini berkembang menjadi rasa
ketidaksukaan terhadap etnik ini atau itu.

Dalam hal ini, saya tidak menyamaratakan populasi etnik manapun. Seperti
halnya komunitas Dayak terdiri dari berbagai lapisan, paling tidak, ada
lapisan elite kekuasaan yang menikmati "berkah" dari kekuasaan di tangan
mereka, di pihak lain ada lapisan  mayoritas warga komunitas Dayak Ngaju
yang berkehidupan papa. Jika selama Orba ada semacam politik Jawanisasi dan
agama besar, maka saya kira, politik ini tidak berarti ia mencerminkan
dukungan seluruh orang Jawa. Mayoritas penduduk Jawa seperti halnya dengan
mayoritas penduduk Dayak Ngaju, tidak menikmati apa-apa dari politik
Jawanisasi dan agama besar Orba. Mayoritas penduduk Jawa pun menderita.
Politik Jawanisasi dan agama besar adalah pilihan politik pemegang kekuasaan
pada zaman Orba dan tidak semua mereka adalah orang-orang Jawa. Dalam usaha
menghalau keterpurukan, sangatlah layak kita mengembangkan jaringan
solidaritas dengan etnik manapun di negeri ini. Kebersamaan yang merupakan
salahsatu inti budaya betang orang Dayak, merupakan dasar budaya dari
pengembangan jaringan solidaritas ini. Kebersamaan membuat kita kian kuat
dalam menghalau keterpurukan. Berhala sesungguhnya yang menimbulkan
malapetaka bagi kita adalah justru keterpurukan itu sendiri. Mengapa mesti
menyukurinya? Mereka yang mempercayai roh-roh leluhur seperti orang-orang
Kaharingan, bukanlah penyebab keterpurukan ini dan mereka tidak menganggu
siapapun. Mereka pun adalah korban "berhala" sejati bernama keterpurukan
itu. Menyembah ini atau itu, percaya ini atau itu, adalah hak masing-masing
orang yang patut dihormati. Tanpa toleransi, tanpa saling menghormati dan
menghargai, belum sempat lagi kita menarungi keterpurukan, kita sudah akan
saling bertarung sendiri. Toleransi adalah kemampuan kita mencadangkan
tempat bagi kebenaran orang lain, bahwa kita bukanlah pemegang kebenaran
tunggal.


ORDE BARU: ANGIN BADAI YANG SUDAH BERLALU?

Tentang hal ini jika kita mengamati keadaan poilitik di Kalteng saja, kita
akan gampang menjawabnya bahwa anggapan Orba merupakan angin badai yang
sudah berlalu adalah suatu kekeliruan. Akan lebih jelas lagi jika kita
melihat ke Jakarta. Dan apa yang berlangsung di Jakarta dengan sendirinya
akan mempengaruhi situasi dan perkembangan di daerah. Di sinilah perlunya
kita yang berada di daerah, patut memperhatikan perkembangan di Jakarta dan
selalu mengasah pisau pengetahuan serta analisa politik kita. Buta aksara
politik akan menyebabkan kita tetap dipasung keterpurukan dan petaka.

Saya kira agar daerah bisa menghalau keterpurukan, daerah-daerah perlu
memperkuat posisi tawar (bargaining positioon) mereka, perlu memperkokoh
diri, memberikan daya nyata pada kata-kata mereka, tidak membiarkan nasib
mereka ditetapkan bulat-bulat di Jakarta. Sejarah Dayak Ngaju membuktikan
bahwa mereka bisa!

Perjalanan 2002.