[Nasional-m] Perang Bukan Jawaban

Ambon nasional-m@polarhome.com
Thu Jan 30 02:12:10 2003


Sriwijaya Post
Rabu,  29 Januari 2003

Perang Bukan Jawaban
 Drs Kuncara Yuniadi, MM
Dosen UMP, STIMIK IGM, dan STIE Musi Palembang

JUDUL tulisan di atas adalah terjemahan dari war is not answer, salah satu
bunyi poster yang dibawa para pengunjuk rasa di Washington, Amerika Serikat,
baru-baru ini. Ribuan pengunjuk rasa, tidak hanya di Amerika Serikat (AS),
akan tetapi juga di Eropa serta Timur Tengah turun ke jalan untuk menentang
rencana AS menyerang Irak.
Menggejolaknya aksi-aksi protes di AS, Eropa, dan Timur Tengah kali ini
merupakan semacam “serangan pre-emptive” bagi perdamaian, di tengah
kekhawatiran orang terhadap pemerintah Presiden AS George W Bush yang
bergerak cepat untuk setiap saat memberi otorisasi bagi pasukannya untuk
menyerang Irak. Aksi protes di AS ini menyusul pernyataan Gedung Putih belum
lama ini, yang melukiskan bahwa penemuan sejumlah hulu ledak kimia yang
kosong di Irak sebagai hal yang mengganggu dan serius.
Aksi damai di AS bahkan rencananya akan diteruskan dalam berbagai rangkaian
demonstrasi tingkat lokal, serta demo besar di seluruh AS pada tanggal 29
Januari, pada saat Presiden AS George W Bush mengucapkan pidato tahunannya
(Annual State of the Union Address).
Bahkan, Tony Murphy, juru bicara penyelenggara unjuk rasa, Act Now to Stop
War and End Racism yang disingkat ANSWER menyatakan, bahwa rakyat AS tidak
menginginkan perang. Mereka lebih membutuhkan biaya sekolah dan keperluan
manusiawi lainnya, dan bukan ingin senjata pemusnah massal (Kompas, 20/1).
Gelombang menentang perang memang meningkat. Aksi protes diperkirakan akan
bertambahnya kecemasan tentang kemungkinan AS dan Inggris menggempur Irak
dalam waktu tidak terlalu lama lagi.
Mobilisasi pasukan serta mesin perang AS dan Inggris, yang terus meningkat
dalam beberapa hari terakhir, memperkuat spekulasi tentang kemungkinan
gempuran akan pecah pada akhir bulan ini atau awal bulan depan. Mulai detik
inilah, hitungan surut atas pecahnya perang seakan sudah dimulai. Gelombang
protes di atas menunjukkan masyarakat AS dan Inggris sendiri,
sekurang-kurangnya sebagian, tidak mendukung kebijaksanaan perang
pemerintahnya. Sejak awal, masyarakat kedua negara itu terlibat dalam
polemik dan kontroversi tentang serangan terhadap Irak.
Jika dibandingkan dengan kondisi Perang Teluk tahun 1990-1991 reaksi
masyarakat internasional terhadap serangan AS tampaknya sangat berbeda.
Perbedaannya, masyarakat internasional pada umumnya, mendukung gempuran
pasukan koalisi 28 negara terhadap Irak untuk membebaskan Kuwait tahun 1991.
Dan hanya sedikit yang menentang.
Sebaliknya saat ini, masyarakat internasional umumnya menentang perang dan
hanya sedikit saja yang mendukung. Berbagai kalangan beranggapan, alasan
serangan terhadap Irak tidak sejelas dan setegas dulu. Pertama, tuduhan
Presiden AS George W Bush bahwa Irak memiliki program persenjataan pemusnah
massal, belum terbukti. Sedangkan dalam Perang Teluk 1990-1991 Irak diserang
karena menginvasi Kuwait. Jadi, kesalahannya jelas dan terbukti. Kendatipun
juga harus diakui, meski kesalahan Irak sangat jelas, tetapi tidak sedikit
orang tetap mendukung Presiden Saddam. Dalam Perang Teluk 12 tahun lalu
telah muncul gerakan mengecam AS dan negara Barat lainnya.
Kedua, bagi banyak orang, Saddam masih menjadi idola terutama kalangan
generasi muda di Timur Tengah. Ia dinilai sebagai pemimpin yang berani
menantang arogansi, dominasi, dan hegemoni Barat. Saddam dipuja karena
dianggap mampu menghidupkan kembali impian kecemerlangan Arab masa lalu.
Gegap-gempita dan semangat pemujaan itu terasa riak dan gaungnya di
mana-mana termasuk Indonesia. Pernyataan dukungan terhadap Saddam dan
kecaman keras terhadap Amerika Serikat dan Inggris masih terdengar nyaring
saat ini.
Bukan hanya di Indonesia, bahkan Jerman yang menjadi sekutu dekat AS,
menyatakan penolakannya atas rencana serangan terhadap Irak, berbagai
pernyataan dan aksi penolakan terhadap perang membuat para pendukung Saddam
semakin merasa di atas angin.
Dua Alasan
Ada dua alasan (baca: kekhawatiran) mengapa perang bukan sebagai jawaban
atas suatu persoalan. Pertama, adanya kemungkinan kaum radikal dan
fundamentalis menggunakan momentum gerakan protes terhadap AS untuk merebut
panggung publik, sehingga kaum moderat akan terpinggirkan dan proses
demokratisasi terhambat di sejumlah negara.
Mungkin saja AS dan Inggris kurang peka dan tidak peduli terhadap aksi
protes dan gelombang kecaman dari mana-mana. Sebagai negara adidaya AS dapat
melaksanakan ancamannya tanpa banyak mendapat hambatan.
Namun, sikap sikap tidak peduli terhadap gerakan protes masyarakat
internasional akan merugikan AS sendiri. Perasaan anti-AS akan mengalami
radikalisasi yang tidak kondusif bagi koalisi global melawan terorisme.
Sentimen menentang AS diperkirakan akan melebar jika Irak sampai digempur
lagi. Bahkan kebencian terhadap AS akan semakin bertambah dan mendalam, bila
ternyata Irak tidak memiliki senjata pemusnah massal.
Sebagai manusia apalagi negara yang sangat menghargai dan menjunjung tinggi
hak asasi manusia, tentu menjiwai asas praduga tak bersalah (presumption of
innocence). Setiap upaya pembuktian terhadap pelanggaran dan kejahatan perlu
disertai bukti-bukti yang cukup (physical evidence).
Bukankah tim inspeksi persenjataan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tidak
menemukan bukti konkret atas program persenjataan pemusnah massal Irak tahun
1991-1998? Tim inspeksi PBB yang kembali ke Irak dalam pekan terakhir juga
tidak menemukan bukti konkrit.
Mungkin AS dan Inggris bukan termasuk bangsa yang sabar. Sabar menunggu
hasil kerja tim inspeksi persenjataan PBB yang diperkirakan akan berlangsung
sekitar 10 bulan lagi. Kalaupun Irak terbukti memiliki persenjataan pemusnah
massal, solusinya bukanlah perang, tetapi perlucutan oleh PBB yang memiliki
otoritas untuk itu sesuai mandat Resolusi Dewan Keamanan (DK) PBB (Resolusi
1441).
Tampaknya, ada kecenderungan AS dan Inggris bekerja di luar mandat PBB.
Mobilisasi pasukan kedua negara ke kawasan Teluk Persia merupakan tindakan
sepihak dan bernuansa melecehkan fungsi PBB. PBB juga merupakan kumpulan
negara-negara untuk melakukan diplomasi, bukan perang. Jika terjadi perang,
berarti diplomasi telah gagal total.
War is hell. Perang adalah neraka. Begitu kata William Tecumseh Sherman.
Mereka lupa, bahwa Winston Churchill pernah mengatakan, tak ada yang dijamin
berhasil dalam perang, yang ada adalah menerima ganjarannya (baca:
akibatnya) masing-masing. Atau mungkin George W Bush akan menguji kebenaran
perkataan Napoleon Bonaparte, prajurit yang memenangkan perang, jenderal
(pemimpin) yang memperoleh nilai kreditnya.
Apa pun alasannya, ketika perang dinyatakan, menurut Arthur Ponsonby, maka
kebenaran merupakan korban pertamanya. Dan kedua, perang berarti malapetaka.
Petaka atas kemanusiaan. Apa pun alasannya, perang senantiasa mengundang
petaka kemanusiaan dan menghancurkan harta benda.
Trauma dan dampak perang 12 tahun lalu sampai sekarang masih terasa. Jutaan
rakyat Irak, terutama anak-anak terancam mati kelaparan dan kekurangan gizi
akibat sanksi ekonomi yang dijatuhkan PBB sejak tahun 1990. Makna sanksi
ekonomi terasa menjadi hambar karena hanya menimbulkan kesengsaraan rakyat
Irak.
Perang juga mempunyai dampak berantai (multiplier effect). Bencana akibat
perang yang menerpa Irak, tidak hanya dipikul Irak sendiri, tetapi juga oleh
seluruh bangsa Arab dan Timur Tengah lainnya. Harga yang akan dibayar rakyat
Irak juga akan dibayar bangsa Arab, menyangkut keamanan, ekonomi, stabilitas
dalam negeri dan regional.
Mudah-mudahan lebih baik mereka merapatkan barisan untuk mencari solusinya
(the ultimate solution for problem), membatalkan rencana perangnya dan
menghentikan mesin perangnya daripada melanjutkan aksi penghancuran yang
akibatnya bisa merugikan semua pihak. Semoga!