[Nasional-m] membuka mata hati - "Benny Susetyo, Pr"

bhineka nasional-m@polarhome.com
Thu Jan 30 02:12:04 2003


-------- Original Message --------
Betreff: membuka mata hati
Datum: Wed, 29 Jan 2003 21:30:28 +0700
Von: "Benny Susetyo, Pr" <bennya@indo.net.id>
An: <national-admin@mail2.factsoft.de>,
<national@mail2.factsoft.de>,"nasional-e" <nasional-e@polarhome.com>
------------------------------------------------------------------

Cetakan : Pertama, September 2002

Penerbit : Averroes Press dan Pustaka Pelajar

Tebal : xx + 2001 hlm

Harga : Rp. 20.000,-

Lepas dari mulut singa masuk kandang buaya. Demikian ungkapan yang tepat untuk
menggambarkan semesta wajah Indonesia Raya.

Pasalnya, setelah bersusah payah melepaskan diri dari cengkeraman Orde Baru,
Indonesia justru memasuki Orde Reformasi yang penuh dengan teka-teki, tak jelas
juntrungnya.

Bangkrutnya Orba tidak serta-merta membawa negeri ini menuju kehidupan yang
lebih baik. Orde reformasi yang menjadi harapan dan impian segenap masyarakat
malahan menyeret negeri ini menuju masa ketidakpastian yang panjang, dengan
segunung persoalan.

Kalau di masa Orba Indonesia dipenuhi dengan penindasan, pembungkaman, dan
kejumudan, sekarang carut-marut wajah bangsa ini semakin menjadi-jadi. Korupsi,
kolusi, nepotisme (KKN) kian merajalela, kepastian hukum sebatas retorika,
krisis ekonomi tak kunjung usai, kekerasan, teror, mewarnai dalam keseharian.
Indonesia seperti terpuruk ke lembah gelap, terperosok ke jurang yang sangat
dalam sehingga wajah Indonesia nyaris tak bisa dikenali oleh masyarakatnya
sendiri.

Masyarakat hidup dalam prasangka, primordialisme (agama, suku, daerah) memuncak,
elite politik sibuk bertengkar demi mempertahankan kekuasaan, rakyat kecil hidup
serbamenyedihkan. Indonesia seperti tinggal nama. Indonesia tak lagi menjadi
tempat yang nyaman bagi masyarakatnya.

Membaca kumpulan karya Benny Susetyo ini, kita akan disuguhi segudang
permasalahan yang melanda bangsa ini, yang sampai sekarang belum juga
terselesaikan. Ke-23 tulisan yang terkumpul itu merupakan pertanyaan yang tak
kunjung terjawab, mulai dari soal sosial politik, pendidikan, sampai agama.

Buku ini secara kritis mempertanyakan ulang Indonesia dan semangat
keindonesiaan. Sungguh sayang seribu sayang, Indonesia yang sekarang
terseok-seok hanyalah sebuah nama yang tidak terikat dan mengikat kita semua
sebagai bangsa.

Romo Benny, pastor muda dari Malang, ingin menggugah kembali sekaligus
mengobarkan semangat keindonesiaan yang kian lama makin pudar.

Salah satu artikelnya, "Membuka Mata Hati Indonesia", yang dijadikan sebagai
judul buku ini menunjukkan kegelisahan Romo Benny atas keindonesiaan. Indonesia
harus bangkit dari lembah ketiadaan. Ruh keindonesiaan mesti terus dibangun dan
dikobarkan. Meski, tentu saja memang tak mudah dilakukan.

Romo Benny menggugat ketimpangan yang terjadi, ketidakadilan yang melanda,
merindukan hidup dalam kebersamaan dan kedamaian. Mencintai Indonesia, mengajak
segenap masyarakat keluar dari krisis dan membangun kembali masyarakat majemuk
yang terbuka, beradab, saling menghormati seperti dicita-citakan founding
fathers kita, merupakan keharusan yang tak bisa ditunda.

Buku ini terdiri dari lima bagian. Bagian pertama dan ketiga, mengajak kita
untuk merenungkan kembali kebangsaan dan keindonesiaan. Indonesia dipenuhi oleh
manusia dengan hasrat kekuasaan yang berlebihan.

Hasrat kekuasaan inilah yang seringkali membutakan mata hati para pemimpin dan
elite politik kita. Kekuasaan menjadi tujuan dan dipertuhankan.

Akibatnya, rakyat dibiarkan merana, sengsara tanpa perhatian. Rakyat menderita
dibawah kesenangan dan kemewahan kehidupan para pemimpinnya. Indonesia
sebagaimana diperjuangkan para founding fathers kita padahal didirikan dengan
tujuan untuk kemaslahatan masyarakat bersama, bukan untuk kebahagiaan dan
kesenangan orang per orang.

Orde Baru telah meninggalkan warisan yang sangat mengakar dalam kehidupan
masyarakat, yaitu pembusukan hati nurani dan mata hati. Elite politik
terjangkiti virus-virus kekuasaan yang membuat mata mereka gelap. Mata hati dan
nurani Indonesia harus dibuka.

Seperti dituliskan Romo Benny, "Mari membuka mata hati Indonesia dengan
berpolitik untuk kepentingan bangsa, dengan berkata jujur dan berorientasi
kepada rakyat, bukan untuk kepentingan pribadi" (hlm 132).

Bagian kedua buku ini, menelaah kehidupan keberagamaan kita. Keragaman agama
yang ada di Indonesia seringkali menjadi alasan dan rentan konflik, agama
disebut-sebut sebagai sumber konflik.

Kekerasan atas nama agama terjadi di konflik Ambon, Poso dan daerah lainnya.
Sentimen antar agama acapkali meledak tak terkendali.

Menyikapi kondisi itu, menurut Romo Benny, "kecerdasan beragama" menjadi sangat
penting, yaitu berani untuk mengkritisi agamanya sendiri dan mengritisi
praktik-praktik keagamaan yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan,
yakni nilai kemanusiaan yang melekat pada diri manusia tanpa pandang dari mana
asalnya, apa agamanya, apa sukunya dan apa golongannya (hlm 64).

Bagian keempat mengulas masalah pendidikan. Jagad pendidikan kita sampai
sekarang belum mampu menghasilkan manusia-manusia yang berjiwa merdeka.

Orientasi pendidikan masih salah kaprah. Pendidikan melalaikan substansi
pendidikan itu sendiri. Pendidikan belum mampu menjadi wahana pembebasan bagi
anak didik untuk menjadi dirinya sendiri, mencetak manusia-manusia merdeka. Yang
dihasilkan adalah manusia yang sombong, pongah, picik dan arogan.

Pendidikan menjadi sekadar ritual formalitas akademis yang mencetak
manusia-manusia teknis mekanis, menjadikan mereka terasing, kering dengan
nilai-nilai kemanusiaan. Yang terjadi hanyalah transfer ilmu tanpa moralitas.

Urgensi pendidikan memang tak bisa diabaikan. Krisis edukasi membuat peradaban
tak karuan. Peradaban mengandaikan edukasi. Seperti ditegaskan Romo Mudji
Sutrisno dalam pengantar buku ini, perekat proses satu-satunya untuk menjadi
beradab dan tidak mundur kembali menjadi identitas purba naluriah kebiadaban
adalah jalan edukasi transformatif, yaitu proses pendidikan pencerahan,
pemerdekaan dan penajaman nurani bangsa serta pencerdasan budinya (hlm xi).

Sementara bagian kelima menguraikan pentingnya mempererat persaudaraan antara
sesama masyarakat. Kemajemukan Indonesia seringkali menjadi bumerang tersendiri
yaitu meyulut konflik SARA, apalagi kalau ditumpangi oleh kepentingan tertentu
(vested interest). Antarsuku, antaragama, antar-ras dan antargolongan saling
menjelekkan satu sama lain dan ingin menang sendiri.

Dalam konteks ini, persaudaraan sejati menjadi sangat penting. Persaudaraan
sejati tidak sekadar saling menghormati dan saling menghargai. Dalam
persaudaraan sejati, dikembangkan sikap egaliter dimana setiap orang memiliki
martabat sama, tidak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah dan tidak pula ada
yang menindas dan ditindas (hlm 168).

Membaca buku ini adakalanya kita akan disergap semacam kejenuhan. Antara satu
artikel dengan yang lain seringkali terjadi repetisi, pengulangan, sehingga
terkadang memunculkan kebosanan.

Hal ini bisa terjadi karena beberapa hal, diantaranya, ditulis olah orang yang
sama dan dengan kaca mata (frame work) yang sama pula. Kemudian, jarak antara
satu tulisan dengan yang lain sangat pendek (Romo Benny belum sempat membaca dan
merenung) sehingga kata-kata yang dituangkan serta bahasa yang dipakai monoton
alias datar.

Meski demikian, hal itu tidak mengecilkan arti penting buku ini sekaligus
mengingatkan bahwa tak ada sesuatu pun yang sempurna. Indonesia pun masih sangat
jauh dari sempurna.

Betapa benang-benang keindonesiaan harus terus dirajut, dijalin, dipintal
menjadi Indonesia seperti yang didambakan para founding fathers kita. Indonesia
yang penuh dengan keragaman, kerukunan, perdamaian dan keadilan bagi seluruh
warganya.

Penulis adalah Koordinator Forum Kajian Islam Strategis.

--------------------------------------------------------------------------------

Copyright © Sinar Harapan 2002