[Nasional-m] Menanti Tukang Sapu Korupsi

Ambon nasional-m@polarhome.com
Sun Jan 19 14:24:07 2003


http://www.mediaindo.co.id/cetak/berita.asp?id=2003011900504508
Minggu, 19 Januari 2003

Menanti Tukang Sapu Korupsi

RUU tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sudah disahkan DPR
akhir tahun lalu. Kini, rakyat tinggal menunggu kapan lembaga superbody itu
terbentuk.

TAK lama setelah terpilih menjadi Perdana Menteri (PM) China pada Maret
1998, Zhu Rongji mengeluarkan pernyataan yang membuat para koruptor
bergidik. Zhu menegaskan, sediakan 100 peti mati, 99 untuk mereka yang
melakukan tindak korupsi dan satu untuk dirinya.

Pernyataan itu dikeluarkannya di tengah masalah berat yang dihadapi oleh
badan usaha milik negara dan perbankan, serta jutaan orang menganggur akibat
krisis ekonomi. Banyaknya masalah akibat krisis itu justru makin diperparah
oleh kondisi korupsi yang sudah mengakar.

Komitmennya sangat jelas dalam memerangi korupsi dan membersihkan negerinya,
China, dari benalu yang merusak kehidupan bangsanya. Dengan tidak mengenal
kompromi, ia menjatuhkan hukuman gantung kepada setiap pejabat negara yang
terbukti melakukan korupsi.

''Aspek paling penting adalah mematuhi hukum, menerapkan dengan tegas
undang-undang dan peraturan, menyelidiki setiap kasus pelanggaran hukum, dan
menghukum setiap orang yang terbukti bersalah melanggar hukum,'' kata Zhu.

Ucapannya ternyata bukan hanya gertak sambal untuk sekadar mencari dukungan
dari rakyat. Ia memulai gerakan antikorupsinya justru dari dalam tubuh
pemerintahannya sendiri. Di awal pemerintahannya, ia langsung mempersiapkan
ujian dan seleksi internal di kalangan pejabat tinggi China. Hal itu
dilakukan sebagai bagian dari reformasi untuk mencapai transparansi dan
membasmi korupsi.

Program antikorupsi yang merupakan perjuangan utama Zhu sejak memerintah
pada Mei 1998 telah menyerang habis-habisan penyelundupan, penipuan dalam
penjualan valuta asing, serta menekan pejabat pemerintah dan militer, untuk
melepaskan hubungan mereka dengan bisnis. ''Perilaku buruk para pejabat
menyebabkan kerugian yang sangat besar terhadap reputasi sistem hukum dan
merusak citra partai dan pemerintah yang berkuasa,'' ujarnya.

Bagaimana di Indonesia? Dimulai dari era Orde Lama, Orde Baru, hingga Orde
Reformasi seperti saat ini, slogan antikorupsi hanya menjadi bahan teriakan
oleh para politikus dan pejabat negara. Teriakan ini makin nyaring di
saat-saat mendekati pemilihan umum, lalu hilang begitu saja.

Untuk memberantasnya, paling tidak sejak 1967 sudah ada pembentukan tim
antikorupsi. Persoalannya terletak pada tindak lanjut dan tegaknya hukum.
Tim yang pernah dibentuk tidak bergigi karena hasil temuan tim tidak pernah
ditindaklanjuti. Orang-orang yang diduga terlibat praktik korupsi tidak
diproses dan kemudian dijatuhi hukuman yang membuat orang lain menjadi jera.

Saat ini, rakyat Indonesia boleh bernapas lega (namun juga harap-harap
cemas), setelah RUU Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPTPK)
disetujui menjadi UU oleh DPR dan pemerintah, menyusul disahkannya UU Nomor
30 Tahun 2002 pada 27 Desember 2002. Rakyat akan menunggu sepak terjang apa
yang akan disajikan oleh anggota komisi ini. Komisi yang biasa disebut
sebagai Komisi Antikorupsi ini disebut-sebut sebagai superbody. Karena,
dengan kewenangan yang dimilikinya, ia dapat mengambil alih fungsi
kepolisian dan kejaksaan dalam perkara korupsi.

Fungsi komisi ini dimulai dari penyelidikan, penyidikan, hingga penuntutan.
Kepolisian dan kejaksaan yang selama ini berwenang dalam fungsi-fungsi
tersebut dinilai sudah tak mampu lagi memberantas korupsi. Yang namanya
polisi, jaksa, dan hakim justru sudah menjadi bagian dari korupsi itu
sendiri. Tidak ada lagi rasa risih di antara mereka untuk mempermainkan
hukum. Contoh yang bisa diambil dan masih hangat adalah kasus kekayaan Jaksa
Agung MA Rachman dan upaya pemerasan oleh Hakim Torang Tampubolon.

Dalam laporan akhir tahunnya, Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat
bahwa selama 2002, nasib kasus-kasus korupsi yang ditangani oleh penegak
hukum makin memprihatinkan. Sebagai contoh, dari 52 kasus korupsi berupa
penyalahgunaan bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI), baru 20 kasus yang
sudah dalam proses penyelidikan-penyidikan. Dan, kasus yang sampai pada
tahap pengadilan, cuma enam kasus!

Di luar kasus korupsi BLBI, masih ada 20 kasus yang mengendap di kejaksaan.
Nama-nama koruptor kakap seperti Sjamsul Nursalim, Hendra Rahardja, Prajogo
Pangestu, dan David Nusa Wijaya, masih menjadi jawaranya. Bahkan, keberadaan
dari nama-nama tersangka ini tak jelas rimbanya.

Lembaga legislatif pun rupanya menghendaki agar 'hujan turun secara merata'.
Sebagai lembaga tempat sandaran rakyat, korupsi justru sudah merasuki
lembaga legislatif. Gedung parlemen sudah menjadi ajang transaksi untuk
berbagai tindak korupsi. Contohnya? Sebut saja, kasus suap oleh BPPN kepada
anggota Komisi IX.

Dengan dalih lemahnya bukti atau 'pertimbangan kesehatan', koruptor kelas
kakap dan teri bebas melenggang tanpa tersentuh hukum. Akhirnya, lembaga
superbody ini benar-benar ditunggu sepak terjangnya.

Namun, pertanyaan yang bakal muncul, siapa orang yang dapat dipercaya untuk
duduk di komisi itu? Lalu bagaimana kemauan politik dan penegakan hukum agar
kerja komisi tidak menjadi sia-sia, seperti komisi-komisi terdahulu?

Pertanyaan ini muncul karena tugas komisi ini sangat berat. Para anggota
bukan hanya harus menguasai persoalan hukum, ekonomi, keuangan, dan
perbankan, tetapi harus tahan terhadap teror fisik maupun godaan materi.

Tindak korupsi yang dilakukan orang-orang di negeri ini sudah berada pada
tingkat yang paling canggih. Itu bisa dilihat dari kenyataan, meskipun
negeri ini masuk dalam kategori negara paling korup, tak ada satu pun
koruptor yang bisa ditangkap.

Ketua Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara Jusuf Syakir
mengharapkan agar keanggotaan yang akan duduk di komisi harus sejalan dengan
persyaratan yang telah disebutkan dalam UU. Persyaratan-persyaratan yang
tercantum di dalamnya, dinilai Jusuf, sudah ideal.

Dalam Pasal 29, mengenai pimpinan komisi, disebutkan syarat, di antaranya
berijazah sarjana hukum atau sarjana lain yang memiliki keahlian dan
pengalaman sekurang-kurangnya 15 tahun dalam bidang hukum, ekonomi,
keuangan, atau perbankan; tidak pernah melakukan perbuatan tercela; cakap,
jujur, memiliki integritas moral yang tinggi, dan memiliki reputasi yang
baik.

Selain itu, disyaratkan juga tidak menjadi pengurus salah satu partai
politik; melepaskan jabatan struktural dan atau jabatan lainnya selama
menjadi anggota Komisi Antikorupsi; tidak menjalankan profesinya selama
menjadi anggota Komisi Antikorupsi; dan mengumumkan kekayaannya sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dengan adanya pengesahan RUU tersebut, pejabat penyelenggara negara yang
gemar korupsi akan menjadi gerah. Tidak tertutup kemungkinan penyelenggara
negara (pemerintah dan anggota DPR) yang doyan korupsi akan berusaha
menempatkan orang di dalam komisi ini.

Dalam mekanisme penentuan anggota komisi, pemerintah, dalam hal ini
presiden, dapat memilih orang yang diajukan oleh DPR. Selain itu, sebagai
pihak yang berwenang melakukan uji kelayakan (fit and proper test) terhadap
calon anggota, DPR dapat saja 'bermain' di dalamnya.

''Saya kira (apa yang akan dilakukan oleh anggota DPR) akan ke situ arahnya.
Bisa melobi ke presiden maupun di antara anggota DPR sendiri. Mereka itu
sebagai penentu, ya, dua-duanya yang digarap,'' ujar Jusuf.

Panitia seleksi

Dalam Pasal 30, dijelaskan mekanisme pemilihan ketua dan anggota yang akan
duduk di komisi ini. Langkah pertama, presiden akan membentuk panitia
seleksi. Selanjutnya panitia seleksi secara terbuka akan meminta masyarakat
dan pemerintah untuk mengajukan calonnya.

Calon yang terkumpul akan diumumkan kepada masyarakat untuk menilainya.
Setelah itu, panitia akan menyeleksi hasil yang didasarkan pada penilaian
masyarakat, dan hasilnya akan diserahkan kepada presiden. Kemudian presiden
akan memilih sepuluh nama yang selanjutnya diserahkan ke DPR.

Kemudian, DPR akan memilih lima orang yang akan menduduki jabatan anggota
komisi tersebut. Pemilihan yang dilakukan oleh DPR melalui uji tuntas (fit
and proper test) terhadap sepuluh nama calon tersebut.

Meski DPR dalam kenyataannya juga menjadi sarang koruptor, Jusuf mengaku
pasrah. Menurutnya, dalam mekanisme penyelenggaraan negara, hanya DPR-lah
yang berwenang melakukan uji tuntas. Dengan keanggotaan komisi yang nanti
akan dipilih oleh DPR, Jusuf memaklumi jika masyarakat pesimistis terhadap
kinerja komisi ini.

''Tapi, bagaimana lagi, DPR kepunyaan kita memang seperti itu. Mau apa lagi?
Harus realistis. Jangan menuntut lebih, karena begitulah adanya. Itu saja
yang diawasi,'' ujarnya. Namun, dengan adanya seleksi terbuka, yang bisa
disaksikan oleh masyarakat melalui media massa, Jusuf yakin praktik
menitipkan orang ke dalam komisi dapat diperkecil dengan adanya kontrol
masyarakat.

Lalu, kepribadian seperti apa yang harus dimiliki oleh calon anggota komisi
tersebut. Koordinator Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW)
Wasingatu Zakiyah berpendapat, anggota yang duduk di sana harus memiliki
profesionalisme, integritas, dan komitmen yang tinggi terhadap penangkalan
korupsi.

''Mereka dapat berasal dari akuntan dan ahli hukum. Mereka dapat disaring,
tidak dari Jakarta saja, tetapi juga bisa dari daerah,'' ujar Zaki, sapaan
akrabnya.

Hampir senada dengan Zaki, Jusuf lebih menomorsatukan komitmen moral.
''Pengetahuan itu bersifat teknis. Jika kurang, itu bisa ditingkatkan. Tapi,
komitmen moral yang nomor satu. Setelah komitmen moral terpenuhi, lebih
lanjut seleksi harus ke arah catatan riwayat dan perjalanan hidupnya (track
record),'' jelasnya.

Siapa pun yang menjadi anggota di komisi ini, ada satu hal yang perlu
menjadi pemikiran rakyat Indonesia. Berdasarkan pengalaman studi banding di
negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, dan Thailand, berhasilnya
mereka menekan tingginya korupsi karena didukung oleh kemauan (political
will dari pemimpin negaranya. Baik Zaki maupun Jusuf sependapat, bahwa masih
sulit mengharapkan penyelenggara negara yang memiliki political will
memberantas korupsi.

''Untuk di Indonesia, kita cuma bisa berdoa saja. Belum ada harapan ke arah
situ. Terlebih dengan akan dibubarkannya KPKPN. Betapa kecilnya political
will untuk itu. Tanpa ada political will dari pimpinan nasional, baik
eksekutif maupun legislatif, keberadaan komisi itu tidak ada artinya sama
sekali. Kalau ada kemauan, apa saja akan diperbantukan ke situ,'' tandas
Jusuf.

Lalu, sampai kapan rakyat Indonesia harus menunggu munculnya pemimpin
seperti Zhu Rongji? (CR-17/M-5)