[Nasional-m] Selangkah Mundur, Belum Tentu Dua Langkah Maju

Ambon nasional-m@polarhome.com
Sun Jan 19 03:00:25 2003


SUARA PEMBARUAN DAILY


Selangkah Mundur, Belum Tentu Dua Langkah Maju

Wladimir Lenin (1870-1924), tokoh pelopor Revolusi Bolshevik pada bulan
Oktober 1917 (sesuai penanggalan Rusia) kreatif dalam merumuskan sejumlah
slogan. Antara lain, yang sering diucapkan tanpa begitu sadar akan
sumbernya: "Mundur selangkah, Maju dua langkah".

Slogan itu dilontarkan oleh Lenin, ketika ia mendorong diterimanya
"Kebijakan Ekonomi yang Baru" pada tahun 1921. Uni Soviet baru didirikan dan
Rusia amat menderita -setelah perang saudara berkecamuk selama
bertahun-tahun. Sebagai seorang realis, Lenin sadar bahwa nasionalisasi
semua hak milik tidak dapat dipaksakan sekaligus.

Karena itu, pada tahap awal pembangunan Uni Soviet, Lenin masih mengakui hak
milik pribadi dan peranan swasta di usaha kecil-kecilan.

Untuk menanggapi rekan-rekannya yang mengutamakan kemurnian ideologis dan
bersikap doktriner ("semua alat produksi mesti dikuasai negara"), Lenin
meyakinkan mereka supaya bersikap agak luwes. Lebih baik mundur selangkah
dulu, sehingga kemudian dapat maju dua langkah.

Akhir-akhir ini, sejumlah tulisan di media pers menganjurkan supaya
pemerintah bersikap agak luwes dalam soal kenaikan harga bahan bakar minyak
(BBM), tarif dasar listrik (TDL) dan telepon. Mengingat reaksi begitu hebat
di masyarakat, bukan saja di Jakarta, dianjurkan supaya dilakukan
penyesuaian sementara. Lalu kita baca untuk memperkuat argumentasi itu,
slogan Lenin itu sebagai kutipan dari Mao Zedong.

Seorang rekan beberapa hari yang lalu sambil setengah mengantuk mendengar
uraian terperinci dari Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo
Yusgiantoro kepada Editors' Club tentang alasan dan latar belakang dari
keputusan kenaikan harga dan tarif tersebut. Seperti biasa, uraian yang
diperinci itu bukan untuk diberitakan.

Tiba-tiba rekan itu bangun tersentak dan mengatakan bahwa keterangan teknis
yang diperinci itu oke-oke saja, tapi situasi di luar sudah resah. Dia
anjurkan supaya pemerintah bersikap luwes dulu, seperti dikatakan oleh Mao
Zedong (Proklamator RRT, 1893-1976): "Mundur, dan seterusnya".

Pada tahap sekarang ini, soal salah kutip bukanlah soal yang amat penting.

Soal yang amat penting ialah, apakah penyesuaian yang dilakukan dan akan
dilakukan pemerintah dapat meredakan situasi. Soal yang tidak kalah
pentingnya, apakah dengan apa yang diperkirakan sebagai mundur selangkah
itu, Indonesia akan maju dua langkah nantinya.

Dalam berbagai kesempatan disampaikan bahwa sebenarnya soal kenaikan harga
dan tarif ini telah dicanangkan beberapa bulan sebelumnya. Umpamanya, dalam
pidato 16 Agustus yang lalu, Presiden Megawati telah wanti-wanti tentang
kenaikan harga dan tarif yang akan diberlakukan pada awal 2003.

Keterangan demikian dan tindakan-tindakan penyesuaian serta keringanan yang
diumumkan (katanya, telah lama dipersiapkan) menunjukkan bahwa
menteri-menteri yang menangani kebijakan ekonomi tidak begitu akurat
memperhitungkan psikologi sosial masyarakat dewasa ini. Memang hal ini
tidaklah mudah.

Begitu cepat dan intensnya dinamika sosial politik dan dinamika opini dewasa
ini, sehingga kita semuanya agaknya hanya dapat menduga-duga saja.

Namun yang patut dipegang ialah, jangan menganggap enteng permasalahannya.
"Don't take things for granted". Karena berbagai faktor yang terlalu
terperinci untuk diuraikan, rasa fairness masyarakat dewasa ini cenderung
mudah terganggu.

Suatu Keputusan Presiden dikeluarkan yang sekaligus memberlakukan kenaikan
harga BBM dan TDL. Karena bentuknya adalah suatu Keputusan Presiden, maka
dinyatakan bahwa sulit untuk mengadakan perubahan. Antara lain, karena
menyangkut prestise presiden. Lagi pula Presiden Megawati telah menyatakan
dalam pidatonya di Bali pada 12 Januari yang lalu, keputusan tidak akan
diubah. "Ini demi perbaikan masa depan bangsa".

Melihat reaksi masyarakat yang cukup sengit dan meluas, maka beredarlah
teori konspirasi politik. Siapa yang mendorong lahirnya Keppres itu? Apakah
itu dengan sengaja untuk memojokkan Megawati secara politis, supaya
posisinya menghadapi pemilihan langsung tahun depan akan melemah?

Jelas, teori-teori ini tidaklah sehat. Ia hanya menimbulkan rasa saling
curiga saja.

Alhasil, andaikata pun penyesuaian-penyesuaian yang sedang dipersiapkan
pemerintah setelah berkonsultasi dengan DPR akan diterapkan, maka dampaknya
sekadar damage control saja. Istilah itu dipergunakan kalangan Angkatan Laut
AS. Kalau terjadi suatu kecelakaan di sebuah kapal perang, maka komandan
segera memerintahkan supaya dilakukan tindakan-tindakan untuk membatasi
dampak negatif dari kecelakaan tersebut.

Artinya, janganlah segera mengharapkan bahwa dengan penyesuaian dalam harga
BBM dan TDL itu dapat diperkirakan bahwa suatu kemajuan dua langkah akan
terjadi.

Sejak sekarang, setelah pengalaman awal 2003 ini, setiap keputusan
pemerintah yang luas dampaknya pada masyarakat, haruslah dipersiapkan secara
teliti. Meskipun substansi keputusan itu cukup rasional, tapi kalau
sosialisasinya tidak dilakukan secara jitu, maka sasaran yang ingin dicapai
akan meleset.

Penulis adalah pengamat perkembangan sosial politik di Indonesia, serta
masalah internasional, berdomisili di Jakarta.

Last modified: 18/1/2003