[Nasional-m] Keberagamaan yang Emansipatoris

Ambon nasional-m@polarhome.com
Sat Jan 18 03:12:41 2003


Suara Karya
Jumat, 17 Januari 2003

Keberagamaan yang Emansipatoris
Oleh : Zuhairi Misrawi

Di tengah dahsyatnya arus pemikiran keagamaan mutakhir, saatnya kita
mencermati perkembangan tersebut sebagai berkah untuk menuai sintesa-sintesa
yang akan mendewasakan cara pandang masyarakat dan kesempatan emas untuk
mengawal transisi demokrasi. Di sinilah, sebenarnya pemikiran keagamaan
mesti diapresiasi dan dipertanyakan guna menangkap makna terdalam dari
agama.

Siapapun patut berdecak kagum atas perkembangan pemikiran keagamaan
mutakhir. Setiap kelompok hadir dan bebas menyampaikan pandangan dan
pemikirannya. Ini sebuah khazanah dan situasi yang dinanti-nantikan banyak
kalangan, yang mana setiap kelompok bisa menikmati kebebasan berpikir dan
kebebasan berpendapat.

Kendatipun demikian, situasi tersebut bukan tanpa kritik. Sejauh ini, saya
melihat satu hal yang sangat mengganjal pikiran saya, yaitu semarak
literalisme dan tekstualisme (al-fahm al-harfy). Tidak hanya itu saja, lebih
jauh lagi, ongkos mahal pun harus dibayar konsekuensi merebaknya pandangan
keagamaan seperti itu.

Di atas permukaan, memang siapapun mesti menaruh simpati, termasuk saya,
kepada mereka yang mampu melakukan ritual keagamaan secara ketat. Semarak
ritualisme merupakan hak setiap agamawan untuk menunaikannya secara baik dan
benar. Namun, hal tersebut bukan berarti menutup kemungkinan lahirnya
pemikiran keagamaan yang beragam.

Di sinilah, kritik wacana agama (naqd al-khithab al-diny) menjadi penting
untuk menghidupkan kembali tradisi intelektualisme yang redup dan hilang
ditelan masa. Wacana keagamaan sejatinya dibuka kembali untuk didiskusikan
dan dikontekstualisasikan (mahall al-niqasy wa al-taghyir). Karena perbedaan
ruang telah memberikan kesempatan bagi setiap umat untuk memaknai kembali
doktrin keagamaan. Imam Syafii, misalnya, adalah ahli fikih yang
kontekstual. Perbedaan ruang telah mendorongnya untuk berijtihad dan
melahirkan pandangan, sehingga dia dikenal dengan dua pandangan: pandangan
lama (qaul qadim) dan pandangan baru (qaul jadid).

Setidaknya kalau kita membaca karya besar Ibnu Rushd, Bidayat al-Mujtahid wa
Nihayat al-Muqtashid, kita akan terperangah melihat pandangan keagamaan yang
beragam. Ibnu Rushd dalam fikihnya menghadirkan pandangan empat madzhab:
Syafii, Maliki, Hanafi dan Hambali. Meskipun Ibnu Rushd terkesan memihak
mazhab Maliki, namun yang menarik dari karyanya adalah adanya apresiasi
terhadap mazhab-mazhab lain sebagai khazanah yang hadir dalam sejarah Islam.

Apabila melihat panorama tradisi Islam tersebut, kita akan melihat mozaik
pemikiran yang amat kaya. Pemutlakan terhadap sebuah pendapat ditolak dan
tidak dibenarkan. Apalagi pandangan yang dimutlakkan bukan ajaran yang inti
(ushul), melainkan ajaran yang sekunder (furu).

Karena itu, tantangan keberagamaan yang kita hadapi bersama adalah
kecenderungan tekstualisme. Biasanya hal tersebut bisa dilihat dari beberapa
karakteristik berikut. Pertama, unifikasi agama dan pemikiran keagamaan
(tawhid al-din wa al-fikr al-diny). Menurut kalangan tekstualis, bahwa
pemikiran keagamaan adalah agama itu sendiri, sehingga perbedaan pandangan
dianggap sebagai perbedaan agama. Nashr Hamid Abu Zayd (1992) dan Abdul
Karim Soroush (2000) melihat persoalan tersebut adalah titik lemah pemikiran
keislaman kontemporer, karena ada percampuradukan antara keduanya. Kedua
pemikir muslim tersebut menyerukan pentingnya pemisahan antara 'agama' dan
'ilmu agama'. Yang pertama bersifat sakral, sedangkan yang kedua bersifat
profan.

Kedua, teosentrisme. Kalangan tekstualis beranggapan bahwa pandangan
keagamaan mereka merujuk kepada Tuhan, sedangkan pandangan yang lain merujuk
pada selain Tuhan. Ini menyebabkan munculnya keyakinan, bahwa madzhabnya
adalah madzhab yang paling benar. Atas nama Tuhan, mereka menolak perbedaan
dan keragaman pandangan. Ini juga menyebabkan munculnya distingsi antara
hal-hal bersifat teosentris dengan hal-hal yang bersifat
sosio-antroposentris. Mereka biasanya menolak terhadap modernitas, bukan
karena watak eksploitasi modernitas, melainkan anggapan mereka, bahwa
modernitas berasal dari antah-berantah dan bertentangan dengan ajaran
ketuhanan. Di sini, sebenarnya titik kelemahan mereka, tatkala tak mampu
mengakomodasi pandangan yang lahir dari pembacaan terhadap realitas
kemanusiaan.

Ketiga, otoritas salaf. Kalangan tekstualis beranggapan, bahwa salaf adalah
'yang benar', sedangkan yang modern adalah 'yang tidak benar', karenanya
harus mengikuti yang salaf. Al-salaf al-shalih adalah penghargaan yang
diberikan mereka kepada para ulama salaf. Ketergantungan terhadap salaf
menyebabkan mereka harus selalu menghadirkan yang salaf dalam konteks
kemodernan. Yang salaf diyakininya sebagai cara terbaik untuk memecahkan
persoalan kekinian.

Demikianlah, logika-logika yang biasa digunakan dalam pandangan dan sikap
keagamaan mereka. Pada titik ini, saya kira tidak ada masalah. Namun
kerumitan akan menghantui kita, tatkala mereka menggunakan 'agama' sebagai
justifikasi otoritas tertentu. Agama lalu tidak berarti apa-apa, jikalau
tidak diformalisasikan dalam politik praktis. Agama dibentuk sedemikian rupa
untuk menjadi ideologi politik. Maraknya kampanye formalisasi syariat,
sebenarnya didukung sepenuhnya oleh akumulasi pandangan keagamaan yang
bersifat literal dan tekstual.

Di sisi lain, mereka juga menggunakan agama sebagai kendaraan untuk
membuldoser pandangan keagamaan yang lebih moderat dan progresif. Ini, bukan
cerita baru, melainkan cerita klasik yang mewarnai pergulatan pemikiran
keislaman sejak periode awal Islam, bahwa perbedaan seringkali diakhiri
dengan kekerasan dan inkuisisi (mihnah).

Setidaknya, kita masih mendapatkan sebagian masyarakat yang menggunakan
kekerasan, seperti pengkafiran dan pemurtadan yang berakhir pada penghalalan
darah sebagai jalan untuk mengakhiri perbedaan pendapat. Langkah tersebut,
menurut mereka, dilandaskan pada doktrin-doktrin keagamaan yang otentik.

Pada tataran ini, kita mesti mewaspadai adanya sikap-sikap di luar akal
sehat, karena hanya akan membawa citra buruk bagi agama sendiri. Pengkafiran
dan pemurtadan hanya akan mempertegas kekakuan dan kerigidan agama.

Muhammad Abduh mempunyai pandangan menarik agar kita menghindari upaya
pengkafiran. Menurutnya, "apabila dalam diri seseorang terdapat sembilan
puluh sembilan persen kekufuran dan satu persen keimanan, maka ia sebenarnya
muslim." Pandangan tersebut seringkali dijadikan rujukan oleh Muhammad
Imarah dan sejumlah ulama Al-Azhar untuk senantiasa merayakan perbedaan
pendapat guna menguak dimensi yang tak terpikirkan dalam agama (allamufakkar
fi al-khithab al-diny).

Karena itu, dalam menyoal keberagamaan mutakhir, kita semestinya memikirkan
kembali cara berfikir tekstualis. Artinya, bahwa berfikir secara tekstualis
saja tidak cukup. Perlu pandangan keagamaan yang lebih kontekstual dan
inovatif.

Emansipatori
Kita mesti mencari model keberagamaan yang lebih menyentuh hajat masyarakat
luas. Misalnya, problem kemiskinan yang hampir merata bagi segenap
masyarakat, problem ketidakadilan di segala sektor kehidupan dan problem
kebijakan politik yang timpang dan merugikan khalayak ramai. Ini semua
merupakan siklus problem yang tidak bisa dipisahkan.

Di sinilah, semestinya agama mempunyai konsern untuk melakukan perlawanan
terhadap segala bentuk eksploitasi. Agama dituntut kepekaannya untuk menolak
segala hal yang tidak sesuai dengan kemaslahatan dan akal budi. Karena agama
sebenarnya hadir untuk memberikan jalan keluar dari perasaan lapar dan takut
(QS 106:2-4).

Segala hal yang menimpa masyarakat akhir-akhir ini, seperti pengangguran dan
mahalnya kebutuhan pokok, secara nyata semakin menyempurnakan penderitaan
dan kelaparan. Begitu halnya, dengan merebaknya bom di pelbagai tempat telah
menciptakan rasa takut yang bersifat massif. Di manakah suara agama di
tengah penderitaan ini semua?

Tantangan keberagamaan di masa mendatang bukan tantangan doktrinal,
melainkan tantangan yang bersifat empirik, yaitu problem kemanusiaan yang
amat mendasar: konflik sosial, kekerasan dan ketidakadilan. Agama
sebagaimana disabdakan Nabi Muhammad Saw bukan untuk menjadi berhala baru,
melainkan untuk menyempurnakan moral dan akhlak.

Di sini dibutuhkan visi keberagamaan yang dapat membebaskan dari segala
bentuk eksploitasi. Agama sejatinya didesak untuk memiliki perhatian
terhadap persoalan-persoalan kemanusiaan yang bersifat universal. Karenanya,
agama mesti dipaksa beranjak dari masjid-masjid menuju ranah sosial, politik
dan budaya, sehingga mampu memberikan dorongan moral untuk keluar dari
segala bentuk belenggu. Najib Mahmud dalam buku Ru'yah Islamiyah
mengingatkan kita, bahwa nurani adalah masjid yang sejati.

Karenanya, setiap manusia mesti membawa misi pembebasan dan perubahan.
Karenanya, keberagamaan kita akan ditentukan sejauhmana pergulatan kita
dengan realitas kemanusiaan. Agama diharapkan dapat memberikan jawaban riil
dari sekadar mengedepankan simbol dan romantisme. Beragama secara
kontekstual. Barangkali itu jawabannya.

Koordinator Program Islam Emansipatoris, P3M, Jakarta