[Nasional-m] [Fwd: UNIVERSITAS TRISAKTI SIAPA YANG PUNYA ?]

nasional-m@polarhome.com nasional-m@polarhome.com
Sun Sep 22 09:36:03 2002


------=_20020922142714_20316
Content-Type: text/plain; charset=iso-8859-1
Content-Transfer-Encoding: 8bit

-------- Pesan Asli --------
Subyek: UNIVERSITAS TRISAKTI SIAPA YANG PUNYA ?
Dari: ignanto asalli <ignanto_scc@yahoo.com>
Tanggal: Sab, 21 September 2002, 2:34 pm
Untuk: ignanto@detik.com


UNIVERSITAS TRISAKTI SIAPA YANG PUNYA  ?



Sejak awal bulan September ini, pertentangan di kalangan
sivitas-academica Universitas Trisakti mencuat ke permukaan
yang diiringi dengan perang pernyataan dan perang iklan di
media massa antara kubu Yayasan Trisakti dan kubu Rektorat.
Masing-masing pihak melontarkan argumentasi yang menarik,
namun pada intinya adalah saling menafikan otoritas atas hak
pengelolaan dan kepemilikan Universitas Trisakti.

Menurut kubu Yayasan Trisakti, pihak Rektorat yang dimotori
oleh Rektor Usakti Prof.Thoby Mutis secara sepihak telah
merobah Statuta Universitas Trisakti (Anggaran Dasar),
mendirikan Badan Hukum Pendidikan Universitas Trisakti
melalui Akta Notaris Edi Priyono,SH dan membentuk lembaga
Majelis Wali Amanat, yang berarti mengambil alih seluruh
fungsi dan peranan Yayasan Trisakti selama ini. Disamping
itu, Prof.Thoby juga dipersalahkan karena tidak
menyelenggarakan acara pemilihan rektor baru dengan
mengajukan 3 (tiga) calon ke pihak yayasan. Oleh karena
itulah pada tanggal 4 September 2002, pihak Yayasan Trisakti
memecat Prof.Thoby Mutis dari jabatannya sebagai rektor yang
kebetulan akan berakhir di tahun ini juga, dan kemudian
mengangkat Prof.Azril Azahari sebagai pejabat rektor.

Pemecatan itu tidak diterima pihak Rektorat yang kelihatannya
cukup didukung oleh kalangan Senat Universitas dan
karyawan-karyawan administratif. Alasannya adalah, sejak
terbentuknya Badan Hukum Pendidikan Usakti, wewenang
memberhentikan dan mengangkat rektor sudah beralih ke lembaga
Majelis Wali Amanat sebagai badan tertinggi di universitas,
yang kemudian justru memperpanjang masa jabatan Prof.Thoby
hingga tahun 2006. Di kalangan karyawan dalam lingkungan
Usakti, Prof.Thoby dikenal sebagai seorang pemimpin yang
cukup 'memanjakan' karyawannya, sehingga tidak heran kalau
beliau berhasil menggalang dukungan dari kalangan dalam yang
sebagian diantaranya merupakan alumni-alumni Usakti sendiri.
Dan dukungan dari kalangan dalam kampus itu untuk sementara
ini cukup effektif untuk membuat pihak rektorat tetap
menguasai secara de-facto seluruh sarana fisik kampus maupun
proses belajar-mengajar disana. Tetapi kelihatannya tidak
hanya sekedar dukungan orang dalam saja yang membuat
Prof.Thoby Mutis sedemikian bernyali untuk "meng-kudeta"
Yayasan Trisakti, apalagi setelah melihat bahwa ternyata yang
menjadi Ketua Majelis Wali Amanat yang baru dibentuk itu
adalah sosok seperti Prof.PK Haryasudirja - mantan Rektor
Usakti diawal 1980-an, mantan Menteri Negara Pengairan Dasar,
dan juga anggota pengurus Yayasan Trisakti ! Dan yang juga
menarik adalah, ternyata Dirjen Dikti Satryo Soemantri
Brodjonegoro memberikan dukungan terhadap perobahan status
badan pengelola Universitas Trisakti menjadi Badan Hukum
Pendidikan dalam suratnya  kepada rektor tertanggal 26
Agustus 2002. Dukungan kedua tokoh ini yang berdedikasi dalam
dunia pendidikan tinggi tentu saja menarik perhatian, dengan
asumsi bahwa keduanya tentu telah mengetahui bahwa secara
legalitas formal kedudukan Yayasan Trisakti yang dipimpin
K.Sindhunata itu adalah 'kuat' berdasarkan berbagai dokumen
yang dimilikinya. Jika demikian hal-nya, dukungan-dukungan
tersebut tentu mempunyai bobot alasan yang memadai pula, dan
lebih dari sekedar dukungan berdasarkan 'perkoncoan'.

Regulasi sistim pendidikan tinggi sebagaimana diatur dalam PP
No.60/1999 tentang Pendidikan Tinggi tidak mengatur secara
jelas dan tegas APA dan BAGAIMANA bentuk Badan Hukum
Penyelenggara Perguruan Tinggi yang diselenggarakan oleh
masyarakat (PTS) , sedangkan untuk Perguruan Tinggi Negeri
(PTN) telah ada PP No.61/1999 tentang Penetapan PTN sebagai
Badan Hukum Pendidikan yang mengatur secara rinci kelembagaan
dan wewenang pengelolaan perguruan tinggi. Didalam
konsepsinya, PP No.61/1999 patut dipuji sebagai sebuah produk
kebijakan yang demokratis, modern dan progressif, dimana
pemerintah dalam hal ini Depdiknas, mendelegasikan kewenangan
manajerial perguruan tinggi kepada seluruh sivitas-academica
dan masyarakat luas. Pemberian otonomi dengan pengaturan yang
secara terbuka melibatkan unsur masyarakat diperkirakan akan
semakin mendorong kemajuan dan kemandirian perguruan tinggi
sebagaimana hal-nya sistim yang ada di negara-negara maju.
Didalam PP No.61/1999 inilah diperkenalkan konsepsi Majelis
Wali Amanat (MWA) yang menjadi lembaga tertinggi penentu
kebijakan non-akademik perguruan tinggi, termasuk diantaranya
mengangkat dan memberhentikan pimpinan perguruan tinggi
(rektor). Sistem keanggotaan didalam MWA yang terdiri unsur
pemerintah,universitas dan masyarakat dengan sistem
recruitment terbuka ini patut dipuji sebagai upaya
demokratisasi yang baik. Namun sayangnya, mengapa PP ini
hanya diberlakukan untuk PTN ? Kelihatannya resistensi dari
kalangan ormas-ormas maupun pribadi-pribadi didalam
masyarakat yang selama ini terlanjur menganggap PTS-PTS yang
dikelolanya sebagai "MILIKNYA PRIBADI" atau "MILIK ORMASNYA"
telah menjadi faktor tidak atau belum diterapkannya peraturan
ini untuk PTS. Ataukah mungkin pihak Depdikbud sedang
menunggu disahkannya UU tentang Yayasan yang saat ini sedang
digodok di Kehakiman dan HAM ? Regulasi "sepotong-sepotong"
seperti inilah yang patut disayangkan, sekaligus menunjukkan
betapa tidak tegasnya para pejabat negara ini menghadapi
resistensi dari kelompok-kelompok yang mempunyai kepentingan
dalam suatu regulasi - betapa pun bagusnya konsep regulasi
itu.

Sejauh hubungannya dengan perguruan tinggi swasta, konsepsi
pengelolaan perguruan tinggi sebagaimana diatur dalam PP
No.61/1999 tentu jauh lebih demokratis dan transparan jika
dibandingkan dengan sistim pengelolaan selama ini yang
bernaung dibawah yayasan-yayasan. Karena sudah menjadi
rahasia umum, sistem pengelolaan yayasan-yayasan yang
cenderung tertutup dan tidak jelas aturan mainnya telah
menjadi sarana "pat-gulipat" oleh pemilik yayasan. Di jaman
M'bah Soeharto,dbb (dan begundal-begundalnya), setiap istri
jenderal dan menteri pasti mempunyai yayasan (yang seharusnya
bertujuan mulia dan non-profit), tetapi dalam kenyataannya
yayasan-yayasan itu hanyalah kamuflase dari keserakahan
pribadi. Keberadaan dan fungsi hakiki sebuah yayasan nyaris
tak berbeda dengan perusahaan milik pribadi.

Mencermati pertikaian di Universitas Trisakti, sejauh kalau
tindakan Prof.Thoby Mutis mengadopsi PP No.61/1999 tidaklah
berdasarkan ambisi pribadinya, tapi semata-mata demi masa
depan yang lebih baik untuk Universitas Trisakti secara
keseluruhan, mengapa pihak Yayasan Trisakti harus menolaknya
? Sebab bukankah era DEMOKRATISASI dan TRANSPARANSI sudah
harus menjadi KENISCAYAAN DIMASA DEPAN ? Seharusnya pengurus
Yayasan Trisakti saat ini yang rata-rata sudah uzur dapat
realistis melihat tanda-tanda perobahan jaman, dan rela untuk
turut mempelopori terbentuknya sebuah Badan Hukum Pendidikan
bersama-sama dengan pihak rektorat sekaligus untuk
menuntaskan seluruh permasalahan yang berkenaan dengan
eksistensi Universitas Trisakti, agar dikemudian hari tidak
timbul friksi-friksi ataupun klaim dari pihak lain yang
merasa lebih berhak atas kepemilikan Universitas Trisakti.

Walaupun pihak Yayasan Trisakti saat ini secara juridis
formil 'seolah-olah' adalah pemilik Universitas Trisakti
berdasarkan legitimasi dari berbagai SK-SK menteri, namun
sesungguhnya secara materiil berdasarkan fakta-fakta historis
yang ada, sesungguhnya legitimasi itu masih rentan untuk
dipermasalahkan, bahkan bukan tidak mungkin untuk digugat ke
pengadilan tata usaha negara.

Sebab riwayat Universitas Trisakti tentu tidak dapat terlepas
dari riwayat Universitas Res-Publica yang didirikan oleh
Baperki (Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia)
yang dipimpin Alm.Siauw Giok Tjhan - seorang tokoh masyarakat
Tionghoa, mantan menteri kabinet Amir Syarifuddin dan anggota
konstituante. Di dalam catatan arsip Pramoedya Ananta-Toer
disebutkan, bahwa tokoh gerakan kemerdekaan ini bukanlah
seorang hartawan. Jika demikian hal-nya, darimanakah SUMBER
DANA pendirian Universitas Res-Publica oleh Baperki sehingga
mereka mampu membeli dan membangun sarana fisik kampus yang
sedemikian megah dan komplit untuk ukuran masa itu dibilangan
Grogol-Jakarta Barat itu ?  Ternyata dana raksasa untuk
membangunnya diperoleh dari SUMBANGAN-SUMBANGAN MASYARAKAT,
khususnya dari kalangan masyarakat Tionghoa. Catatan mengenai
hal ini disinggung oleh Sobron Aidit dalam memoarnya (Bab 6 :
Kenangan lama), dimana dituliskan pengalamannya ketika hadir
dalam suatu acara rapat Baperki untuk pengumpulan dana yang
dimotori oleh Ang Yang Goan, Kwee Kek Beng,dll. Catatan ini
menunjukkan bahwa ternyata DANA pembangunan Universitas
Res-Publica dahulu adalah sepenuhnya merupakan SWADAYA DARI
MASYARAKAT. Dan dalam perkembangannya, universitas ini
merupakan universitas swasta yang terkemuka di Indonesia,
baik dari segi mutu akademik maupun kelengkapan belajarnya,
sehingga tidak kalah pamor dengan universitas-universitas
negeri yang dibiayai oleh pemerintah. Sehingga tidak heran
kalau banyak pejabat di jaman itu yang menyekolahkan anaknya
disana, walau mayoritas mahasiswanya adalah kalangan
masyarakat Tionghoa.

Mungkin sudah 'nasibnya' ataukah suatu kebetulan, kampus yang
terletak dibilangan Grogol-Jakarta Barat ini harus menjadi
'tumbal' pertikaian politik nasional. Seperti hal-nya diawal
lengsernya M'bah Soeharto thn 1998, kampus ini diserang dan
ditembaki oleh penembak-penembak gila hingga merenggut 4
nyawa mahasiswa. Demikian halnya pada tahun 1965, Setelah
pecah Gerakan 30 September, segerombolan massa yang memakai
seragam militer dan atribut KAMI/KAPPI datang menyerang dan
menjarah kampus Universitas Res-Publica, seluruh fasilitas
belajar luluh-lantak ! Seiring dengan upaya pihak militer
yang dikendalikan M'bah Soeharto,dbb untuk 'membersihkan
pengaruh kaum kiri', tidak hanya tokoh-tokoh PKI saja yang
ditangkap, tetapi hampir seluruh tokoh-tokoh nasional yang
bukan PKI tapi pro-Soekarno juga ditangkap termasuk tokoh
Baperki seperti Alm.Siauw Giok Tjhan dan Oei Tjoe Tat. Mereka
ditangkap dan dipenjarakan selama hampir 15 tahun TANPA
PROSES PENGADILAN APAPUN JUGA, sehingga tidak pernah
diketahui dengan jelas pelanggaran hukum apakah yang telah
membuat mereka layak untuk dipenjarakan selama 15 tahun.
Namun sesungguhnya mereka berdua hanyalah segelintir dari
jutaan orang yang harus mengalami tragedi yang memilukan dari
sebuah ambisi kekuasaan. Melayangnya nyawa ratusan ribu orang
dimasa itu tercatat dalam lembaran hitam sejarah peradaban
manusia yang hanya bisa dikalahkan oleh peristiwa genocyde
ala Nazi di Eropa.

Setelah Universitas Res-Publica dirusak dan beberapa pimpinan
Baperki dan staff pengajar ditangkap oleh rezim penguasa,
praktis terjadi kevakuman dalam pimpinan universitas.
Mahasiswa dan dosen yang kembali ke kampus menceritakan
betapa semangat gotong-royong sedemikian kental diantara
mereka, sehingga mereka rela bekerja-bakti untuk membenahi
gedung-gedung yang rusak dengan dana patungan seadanya,
belajar seadanya, bahkan ada dosen yang rela mengajar dan
bekerja bakti tanpa tahu siapa yang akan membayar gajinya.
Atas desakan dosen dan mahasiswa, penguasa pada masa itu
mengijinkan beroperasinya proses belajar-mengajar dengan
syarat pergantian nama menjadi Universitas Trisakti
sebagaimana tertuang dalam SK menteri PTIP No.13/dar
(darurat?) tahun 1965 tertanggal 15 November 1965. Dua minggu
kemudian, keluar lagi sebuah SK Menteri PTIP No.14/dar
(darurat?) tahun 1965 tertanggal 29 November 1965 yang
menunjuk sebuah presidium yang disebutkan diberi wewenang
sebagai badan penyelenggara pendidikan di Universitas
Trisakti. Didalam presidium inilah tercantum nama-nama
pejabat-pejabat PTIP, pejabat militer KOTI, dan pengurus LPKB
pimpinan K.Sindhunata, dan dari kalangan masyarakat seperti
Ferry Sonneville.

Nuansa "pengambil-alihan" terasa sangat kental dengan
dibentuknya Yayasan Trisakti dihadapan notaris Eliza Pondaag
pada tanggal 27 Januari 1966, dimana dalam akta itulah antara
lain dinyatakan bahwa Brigjen Syarief Thayeb dan K.Sindhunata
adalah pendiri Yayasan Trisakti. Tidak jelas apakah mereka
bertindak atas nama pribadi atau ex-officio jabatannya
sebagai menteri PTIP dan pengurus LPKB. Namun yang jelas
adalah sejak saat itulah Yayasan Trisakti dianggap sebagai
badan hukum yang mengelola Universitas Trisakti. Bahkan
menurut iklan di media massa yang dikeluarkan oleh kantor
pengacara Frans H.Winata,SH, Yayasan Trisakti adalah
satu-satunya badan hukum yang berhak memiliki tanah dan
bangunan beserta seluruh asset Universitas Trisakti
berdasarkan SK.Menteri PTIP No.0281/U/1979 tertanggal 31
Desember 1979.

Seluruh proses legitimasi Yayasan Trisakti atas pemilikan
Universitas Trisakti terasa "biasa saja" dijaman kekuasaan
Orba. Namun sekarang, bukankah seluruh proses itu terasa aneh
? Dan bukan tidak mungkin dikemudian hari akan dianggap
sebagai kesewenang-wenangan. Sebagai Negara yang berdasarkan
HUKUM, dapatkah seorang menteri mengambil-alih asset suatu
lembaga swasta dan kemudian menyerahkannya pada lembaga
swasta lainnya TANPA MELALUI PROSES HUKUM APAPUN JUGA ? Jika
pemberian nama "Universitas Trisakti" dapat dianggap sebagai
prakarsa Alm.Brigjen Syarief Thayeb  dan K.Sindhunata
sehingga Yayasan Trisakti menganggap dirinya sebagai pendiri
dan pemilik Universitas Trisakti, bukankah masih tersisa
sebuah pertanyaan besar ; Di atas properti dan fasilitas
milik siapakah mereka mengoperasikan universitasnya ?

Penyertaan LPKB pimpinan K.Sindhunata dalam pengambil-alihan
Universitas Res-Publica juga masih menyisakan misteri. Tidak
ada catatan mengenai sepak-terjang ketokohannya secara
nasional maupun dilingkungan masyarakat Tionghoa sebelum
tahun 1962. Nama tokoh ini mulai muncul ketika ia memimpin
LPKB (Lembaga Pembinaan Kesatuan bangsa) tahun 1963 yang
bernaung dibawah Departemen Penerangan dan didukung oleh
kelompok militer. Tokoh ini mengusung jargon "assimilasi"
yang segera menempatkan dirinya sebagai "lawan" dari Siauw
Giok Tjhan yang menganut paham "integrasi", perseteruan ini
berakhir dengan kemenangan mutlak K.Sindhunata dan LPKB-nya
seiring dengan kemenangan militer yang menguasai kancah
perpolitikan nasional.

Namun sejauh ini, belum pernah terdengar eks-pengurus Baperki
ataupun ahli warisnya yang menggugat persoalan ini. Sebab
memang asset Universitas Res-Publica sendiri berasal dari
sumbangan masyarakat luas. Namun demikian, sejarah haruslah
tetap diluruskan. Jangan mewariskan sejarah yang penuh
kebohongan seperti "telor mata sapi" - ayam yang bertelor kok
sapi yang punya nama ? Sedikit apresiasi selayaknya diberikan
kepada mereka yang pantas menerimanya. Oleh karena itulah,
momentum regulasi pendidikan tinggi yang saat ini terbuka
melalui PP.No.60/1999 sebaiknya dapat dimanfaatkan juga oleh
segenap sivitas-academika Universitas Trisakti untuk
melakukan rekonsiliasi. Mengembalikan dan melibatkan segenap
unsur masyarakat dalam pengelolaan Universitas Trisakti
seperti konsepsi Majelis Wali Amanat yang diadopsi dari PP
No.61/1999 akan menjadi terobosan yang jitu bagi suatu upaya
rekonsiliasi maupun upaya antisipasi terhadap kemungkinan
munculnya gugatan-gugatan hukum dikemudian hari. Dengan
terlibatnya unsur masyarakat secara terbuka dan demokratis
didalam pengelolaan Universitas Trisakti akan jauh sehat
daripada tetap dikelola dalam sebuah kelembagaan yang
bersifat tertutup dan inklusif.

Akhir kata, semoga seluruh niat adalah sungguh-sungguh tulus.

Salam,

Mantan Mahasiswa Usakti

Ignanto G.Asl ==> ignanto@detik.com



---------------------------------
Do you Yahoo!?
New DSL Internet Access from SBC & Yahoo!



------=_20020922142714_20316
Content-Type: text/html; name="untitled-2"
Content-Disposition: attachment; filename="untitled-2"

<P><STRONG><U>UNIVERSITAS TRISAKTI SIAPA YANG PUNYA&nbsp; ?</U></STRONG></P>
<P>&nbsp;</P>
<P>Sejak awal bulan September ini, pertentangan di kalangan sivitas-academica Universitas Trisakti mencuat ke permukaan yang diiringi dengan perang pernyataan dan perang iklan di media massa antara kubu Yayasan Trisakti dan kubu Rektorat. Masing-masing pihak melontarkan argumentasi yang menarik, namun pada intinya adalah saling menafikan otoritas atas hak pengelolaan dan kepemilikan Universitas Trisakti. </P>
<P>Menurut kubu Yayasan Trisakti, pihak Rektorat yang dimotori oleh Rektor Usakti Prof.Thoby Mutis secara sepihak telah merobah&nbsp;Statuta Universitas Trisakti (Anggaran Dasar), mendirikan Badan Hukum Pendidikan Universitas Trisakti melalui&nbsp;Akta Notaris Edi Priyono,SH dan membentuk lembaga Majelis Wali Amanat, yang berarti mengambil alih seluruh fungsi dan peranan Yayasan Trisakti selama ini. Disamping itu, Prof.Thoby juga dipersalahkan karena tidak menyelenggarakan acara pemilihan rektor baru dengan mengajukan 3 (tiga) calon ke pihak yayasan. Oleh karena itulah&nbsp;pada tanggal&nbsp;4&nbsp;September 2002, pihak Yayasan Trisakti memecat Prof.Thoby Mutis dari jabatannya sebagai rektor yang kebetulan&nbsp;akan berakhir di tahun ini juga, dan kemudian mengangkat&nbsp;Prof.Azril Azahari sebagai pejabat rektor.&nbsp;&nbsp;</P>
<P>Pemecatan itu tidak diterima pihak Rektorat yang kelihatannya cukup didukung oleh kalangan Senat&nbsp;Universitas dan karyawan-karyawan administratif. Alasannya adalah, sejak&nbsp;terbentuknya Badan Hukum Pendidikan Usakti, wewenang memberhentikan dan mengangkat rektor&nbsp;sudah beralih ke lembaga Majelis Wali Amanat&nbsp;sebagai badan tertinggi di universitas, yang kemudian justru memperpanjang masa jabatan Prof.Thoby hingga tahun 2006. Di kalangan karyawan dalam lingkungan Usakti, Prof.Thoby dikenal sebagai seorang pemimpin yang cukup 'memanjakan' karyawannya, sehingga tidak heran kalau beliau berhasil menggalang dukungan dari kalangan dalam yang sebagian diantaranya merupakan alumni-alumni Usakti sendiri. Dan dukungan dari kalangan dalam kampus itu untuk sementara ini cukup effektif untuk membuat pihak rektorat tetap menguasai secara de-facto seluruh sarana fisik kampus maupun proses belajar-mengajar disana. Tetapi kelihatannya tidak hanya sekedar dukungan orang dalam 
 saja yang membuat Prof.Thoby Mutis sedemikian bernyali untuk "meng-kudeta" Yayasan Trisakti, apalagi setelah melihat bahwa ternyata yang menjadi Ketua Majelis Wali Amanat yang baru dibentuk itu adalah sosok seperti Prof.PK Haryasudirja - mantan Rektor Usakti diawal 1980-an, mantan Menteri Negara Pengairan Dasar, dan juga anggota pengurus Yayasan Trisakti ! Dan yang juga menarik adalah, ternyata Dirjen Dikti Satryo Soemantri Brodjonegoro memberikan dukungan terhadap perobahan status badan pengelola Universitas Trisakti menjadi Badan Hukum Pendidikan dalam suratnya&nbsp; kepada rektor tertanggal 26 Agustus 2002. Dukungan kedua tokoh ini yang berdedikasi dalam dunia pendidikan tinggi tentu saja menarik perhatian, dengan asumsi bahwa keduanya tentu telah mengetahui bahwa secara legalitas formal kedudukan Yayasan Trisakti yang dipimpin K.Sindhunata itu adalah 'kuat' berdasarkan berbagai dokumen yang dimilikinya. Jika demikian hal-nya, dukungan-dukungan tersebut tentu mempunyai bo
 bot alasan yang memadai pula, dan lebih dari sekedar dukungan berdasarkan 'perkoncoan'.</P>
<P>Regulasi sistim pendidikan tinggi sebagaimana diatur dalam PP No.60/1999 tentang Pendidikan Tinggi tidak mengatur secara jelas dan tegas APA dan BAGAIMANA bentuk Badan Hukum Penyelenggara Perguruan Tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat (PTS) , sedangkan untuk Perguruan Tinggi Negeri (PTN) telah ada PP No.61/1999 tentang Penetapan PTN sebagai Badan Hukum Pendidikan yang mengatur secara rinci kelembagaan dan wewenang pengelolaan perguruan tinggi. Didalam konsepsinya, PP No.61/1999 patut dipuji sebagai sebuah produk kebijakan yang demokratis, modern dan progressif, dimana pemerintah dalam hal ini Depdiknas, mendelegasikan kewenangan manajerial perguruan tinggi kepada seluruh sivitas-academica dan masyarakat luas. Pemberian otonomi dengan pengaturan yang secara terbuka melibatkan unsur masyarakat diperkirakan akan semakin mendorong kemajuan dan kemandirian perguruan tinggi sebagaimana hal-nya sistim yang ada di negara-negara maju. Didalam PP No.61/1999 inilah diperkenalk
 an konsepsi Majelis Wali Amanat (MWA) yang menjadi lembaga tertinggi penentu kebijakan non-akademik perguruan tinggi, termasuk diantaranya mengangkat dan memberhentikan pimpinan perguruan tinggi (rektor). Sistem keanggotaan didalam MWA yang terdiri unsur pemerintah,universitas dan masyarakat&nbsp;dengan sistem recruitment terbuka ini patut dipuji sebagai upaya demokratisasi yang baik.&nbsp;Namun sayangnya, mengapa PP ini hanya diberlakukan untuk PTN ? Kelihatannya resistensi dari kalangan ormas-ormas maupun pribadi-pribadi didalam masyarakat yang selama ini terlanjur menganggap PTS-PTS yang dikelolanya sebagai "MILIKNYA PRIBADI" atau "MILIK ORMASNYA" telah menjadi faktor tidak atau belum diterapkannya peraturan ini untuk PTS. Ataukah mungkin pihak Depdikbud sedang menunggu disahkannya UU tentang Yayasan yang saat ini sedang digodok di Kehakiman dan HAM ? Regulasi "sepotong-sepotong" seperti inilah yang patut disayangkan, sekaligus menunjukkan betapa&nbsp;tidak tegasnya para 
 pejabat negara ini menghadapi resistensi dari kelompok-kelompok yang mempunyai kepentingan dalam suatu regulasi - betapa pun bagusnya konsep regulasi itu.</P>
<P>Sejauh hubungannya dengan perguruan tinggi swasta, konsepsi pengelolaan perguruan tinggi sebagaimana diatur dalam PP No.61/1999 tentu jauh lebih demokratis dan transparan jika dibandingkan dengan&nbsp;sistim pengelolaan selama ini yang bernaung dibawah&nbsp;yayasan-yayasan. Karena sudah menjadi rahasia umum, sistem pengelolaan yayasan-yayasan&nbsp;yang cenderung tertutup dan tidak jelas aturan mainnya telah menjadi sarana "pat-gulipat"&nbsp;oleh&nbsp;pemilik yayasan. Di jaman M'bah Soeharto,dbb (dan begundal-begundalnya), setiap istri jenderal dan menteri pasti mempunyai yayasan&nbsp;(yang seharusnya bertujuan mulia dan non-profit), tetapi&nbsp;dalam kenyataannya yayasan-yayasan itu hanyalah kamuflase dari keserakahan pribadi. Keberadaan dan fungsi hakiki sebuah yayasan nyaris tak berbeda dengan perusahaan milik pribadi.</P>
<P>Mencermati pertikaian di&nbsp;Universitas Trisakti, sejauh kalau tindakan Prof.Thoby Mutis&nbsp;mengadopsi PP No.61/1999 tidaklah berdasarkan ambisi pribadinya, tapi semata-mata demi masa depan yang lebih baik untuk Universitas Trisakti secara keseluruhan, mengapa pihak Yayasan Trisakti harus menolaknya ?&nbsp;Sebab bukankah era&nbsp;DEMOKRATISASI dan TRANSPARANSI sudah harus menjadi&nbsp;KENISCAYAAN DIMASA DEPAN ? Seharusnya pengurus Yayasan Trisakti saat ini yang rata-rata sudah&nbsp;uzur dapat realistis melihat tanda-tanda perobahan jaman,&nbsp;dan rela untuk turut mempelopori terbentuknya sebuah Badan Hukum Pendidikan bersama-sama dengan pihak rektorat sekaligus untuk menuntaskan&nbsp;seluruh permasalahan yang berkenaan dengan eksistensi Universitas Trisakti, agar dikemudian hari tidak timbul friksi-friksi&nbsp;ataupun klaim dari pihak lain yang merasa lebih berhak atas kepemilikan Universitas Trisakti. </P>
<P>Walaupun pihak Yayasan Trisakti saat ini secara juridis formil 'seolah-olah' adalah&nbsp;pemilik Universitas Trisakti berdasarkan legitimasi dari berbagai SK-SK menteri, namun sesungguhnya secara materiil berdasarkan fakta-fakta historis yang ada, sesungguhnya legitimasi itu masih rentan untuk dipermasalahkan, bahkan bukan tidak mungkin untuk digugat ke pengadilan tata usaha negara. </P>
<P>Sebab riwayat Universitas Trisakti tentu tidak dapat terlepas dari riwayat Universitas Res-Publica yang didirikan oleh Baperki (Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia) yang dipimpin Alm.Siauw Giok Tjhan - seorang tokoh masyarakat Tionghoa, mantan menteri kabinet Amir&nbsp;Syarifuddin dan anggota konstituante. Di dalam&nbsp;catatan arsip Pramoedya Ananta-Toer disebutkan, bahwa tokoh gerakan kemerdekaan ini bukanlah seorang hartawan. Jika demikian hal-nya, darimanakah SUMBER DANA pendirian Universitas Res-Publica oleh Baperki sehingga mereka mampu membeli dan membangun sarana fisik kampus yang sedemikian megah dan komplit untuk ukuran masa itu&nbsp;dibilangan Grogol-Jakarta Barat itu ?&nbsp; Ternyata dana raksasa untuk membangunnya diperoleh dari SUMBANGAN-SUMBANGAN MASYARAKAT, khususnya dari kalangan masyarakat Tionghoa. Catatan mengenai hal ini disinggung oleh Sobron Aidit dalam memoarnya (Bab 6 : Kenangan lama), dimana dituliskan pengalamannya ketika hadir dalam 
 suatu acara rapat Baperki untuk pengumpulan dana yang dimotori oleh Ang Yang Goan, Kwee Kek Beng,dll. Catatan ini menunjukkan bahwa ternyata&nbsp;DANA pembangunan Universitas Res-Publica dahulu adalah sepenuhnya merupakan SWADAYA DARI MASYARAKAT. Dan dalam perkembangannya, universitas ini merupakan universitas swasta yang terkemuka di Indonesia, baik dari segi mutu akademik maupun kelengkapan belajarnya, sehingga tidak kalah pamor dengan universitas-universitas negeri yang dibiayai oleh pemerintah. Sehingga tidak heran kalau banyak pejabat di jaman itu yang menyekolahkan anaknya disana, walau mayoritas mahasiswanya adalah kalangan masyarakat Tionghoa.</P>
<P>Mungkin sudah 'nasibnya' ataukah suatu kebetulan, kampus&nbsp;yang terletak dibilangan Grogol-Jakarta Barat ini harus menjadi 'tumbal' pertikaian politik nasional. Seperti hal-nya&nbsp;diawal lengsernya M'bah&nbsp;Soeharto thn 1998, kampus&nbsp;ini diserang dan ditembaki oleh penembak-penembak gila hingga merenggut 4 nyawa mahasiswa. Demikian halnya pada&nbsp;tahun 1965,&nbsp;Setelah pecah&nbsp;Gerakan 30 September,&nbsp;segerombolan massa yang memakai seragam militer dan atribut KAMI/KAPPI datang menyerang dan menjarah kampus Universitas Res-Publica, seluruh fasilitas belajar luluh-lantak&nbsp;! Seiring dengan upaya pihak militer yang dikendalikan M'bah Soeharto,dbb untuk 'membersihkan pengaruh kaum kiri', tidak hanya tokoh-tokoh PKI saja yang ditangkap, tetapi hampir seluruh tokoh-tokoh nasional yang bukan PKI tapi pro-Soekarno juga ditangkap termasuk tokoh Baperki seperti Alm.Siauw Giok Tjhan dan Oei Tjoe Tat. Mereka ditangkap dan dipenjarakan selama hampir 15 tahun TAN
 PA PROSES PENGADILAN APAPUN JUGA, sehingga tidak pernah diketahui dengan jelas pelanggaran hukum apakah yang telah membuat mereka layak untuk dipenjarakan selama 15 tahun. Namun sesungguhnya mereka berdua hanyalah segelintir dari jutaan orang yang harus mengalami tragedi yang memilukan dari sebuah ambisi kekuasaan. Melayangnya nyawa ratusan ribu orang dimasa itu tercatat dalam lembaran hitam sejarah peradaban manusia yang hanya bisa dikalahkan oleh peristiwa genocyde ala Nazi di Eropa.</P>
<P>Setelah Universitas Res-Publica dirusak dan beberapa pimpinan Baperki dan staff pengajar ditangkap oleh rezim penguasa, praktis terjadi kevakuman dalam pimpinan universitas.&nbsp;Mahasiswa dan dosen yang kembali ke kampus menceritakan betapa semangat gotong-royong sedemikian kental diantara mereka, sehingga mereka rela bekerja-bakti untuk membenahi gedung-gedung yang rusak&nbsp;dengan dana patungan seadanya, belajar seadanya, bahkan ada dosen yang rela mengajar dan bekerja bakti tanpa tahu siapa yang akan membayar gajinya.&nbsp;Atas desakan dosen dan mahasiswa, penguasa pada masa itu mengijinkan beroperasinya proses belajar-mengajar&nbsp;dengan syarat pergantian nama menjadi Universitas Trisakti sebagaimana tertuang dalam SK menteri PTIP No.13/dar (darurat?) tahun 1965 tertanggal 15&nbsp;November 1965. Dua minggu kemudian, keluar lagi sebuah SK Menteri PTIP No.14/dar (darurat?) tahun 1965 tertanggal 29 November 1965 yang menunjuk sebuah presidium yang disebutkan diberi wew
 enang sebagai badan penyelenggara pendidikan&nbsp;di Universitas Trisakti. Didalam presidium inilah tercantum nama-nama pejabat-pejabat PTIP, pejabat militer KOTI, dan pengurus LPKB pimpinan K.Sindhunata, dan dari kalangan masyarakat seperti Ferry Sonneville.</P>
<P>Nuansa "pengambil-alihan" terasa sangat kental dengan dibentuknya Yayasan Trisakti dihadapan notaris Eliza Pondaag pada tanggal 27 Januari 1966, dimana dalam akta itulah antara lain dinyatakan bahwa Brigjen Syarief Thayeb dan K.Sindhunata adalah pendiri Yayasan Trisakti. Tidak jelas apakah mereka bertindak atas nama pribadi atau ex-officio jabatannya sebagai menteri PTIP dan pengurus LPKB. Namun yang jelas adalah sejak saat itulah Yayasan Trisakti dianggap sebagai badan hukum yang&nbsp;mengelola Universitas Trisakti. Bahkan menurut iklan di media massa yang dikeluarkan oleh kantor pengacara Frans H.Winata,SH, Yayasan Trisakti adalah satu-satunya badan hukum yang berhak memiliki tanah dan bangunan beserta seluruh asset Universitas Trisakti berdasarkan SK.Menteri PTIP No.0281/U/1979 tertanggal 31 Desember 1979. </P>
<P>Seluruh proses legitimasi Yayasan Trisakti atas pemilikan Universitas Trisakti terasa "biasa saja" dijaman kekuasaan Orba. Namun sekarang, bukankah seluruh proses itu terasa&nbsp;aneh ? Dan bukan tidak mungkin dikemudian hari akan dianggap sebagai kesewenang-wenangan. Sebagai Negara yang berdasarkan HUKUM, dapatkah seorang menteri mengambil-alih asset suatu lembaga swasta dan kemudian menyerahkannya pada lembaga swasta lainnya TANPA MELALUI PROSES HUKUM APAPUN JUGA ? Jika pemberian nama&nbsp;"Universitas Trisakti" dapat dianggap sebagai prakarsa Alm.Brigjen Syarief Thayeb&nbsp; dan K.Sindhunata&nbsp;sehingga&nbsp;Yayasan Trisakti menganggap dirinya sebagai pendiri&nbsp;dan pemilik Universitas Trisakti, bukankah masih tersisa sebuah pertanyaan besar ; Di atas properti dan fasilitas milik siapakah mereka mengoperasikan universitasnya ?</P>
<P>Penyertaan LPKB pimpinan K.Sindhunata dalam pengambil-alihan Universitas Res-Publica juga masih menyisakan misteri. Tidak ada catatan mengenai sepak-terjang ketokohannya secara nasional maupun dilingkungan masyarakat Tionghoa sebelum tahun 1962. Nama tokoh ini mulai muncul ketika ia memimpin LPKB (Lembaga Pembinaan Kesatuan bangsa) tahun 1963 yang bernaung dibawah Departemen Penerangan dan didukung oleh kelompok militer. Tokoh ini mengusung jargon "assimilasi" yang segera menempatkan dirinya sebagai "lawan" dari Siauw Giok Tjhan yang menganut paham "integrasi", perseteruan ini berakhir dengan kemenangan mutlak K.Sindhunata dan LPKB-nya seiring dengan kemenangan militer yang menguasai kancah perpolitikan nasional.</P>
<P>Namun sejauh ini, belum pernah terdengar eks-pengurus Baperki ataupun ahli warisnya yang menggugat persoalan ini.&nbsp;Sebab memang asset Universitas&nbsp;Res-Publica sendiri&nbsp;berasal dari sumbangan masyarakat luas. Namun demikian, sejarah haruslah tetap diluruskan. Jangan mewariskan sejarah yang penuh kebohongan seperti "telor mata sapi" - ayam yang bertelor kok sapi yang punya nama ? Sedikit apresiasi selayaknya diberikan kepada mereka yang pantas menerimanya. Oleh karena itulah, momentum regulasi pendidikan tinggi yang saat ini terbuka melalui PP.No.60/1999 sebaiknya dapat dimanfaatkan juga oleh segenap sivitas-academika Universitas Trisakti untuk melakukan rekonsiliasi. Mengembalikan dan melibatkan segenap unsur masyarakat dalam pengelolaan Universitas Trisakti seperti konsepsi Majelis Wali Amanat&nbsp;yang diadopsi dari PP No.61/1999 akan menjadi terobosan yang jitu bagi suatu upaya rekonsiliasi maupun upaya antisipasi terhadap kemungkinan munculnya gugatan-gugata
 n hukum dikemudian hari.&nbsp;Dengan terlibatnya unsur masyarakat secara terbuka dan demokratis didalam pengelolaan Universitas Trisakti akan jauh sehat daripada tetap dikelola&nbsp;dalam sebuah kelembagaan yang bersifat tertutup dan inklusif.</P>
<P>Akhir kata, semoga seluruh niat adalah sungguh-sungguh tulus.</P>
<P>Salam,&nbsp;</P>
<P>Mantan Mahasiswa&nbsp;Usakti </P>
<P>Ignanto G.Asl ==&gt; <A href="mailto:ignanto@detik.com">ignanto@detik.com</A></P><p><br><hr size=1>Do you Yahoo!?<br>
New <a href="http://rd.yahoo.com/evt=1207/*http://sbc.yahoo.com/">DSL Internet Access</a> from SBC & Yahoo!</a>
------=_20020922142714_20316--