[Nasional-m] Antara Pengadilan Ham Ad Hoc atau Tribunal Internasional

Ambon nasional-m@polarhome.com
Fri Sep 20 23:48:06 2002


Sinar Harapan
20/9/2002

Antara Pengadilan Ham Ad Hoc atau Tribunal Internasional
TNI Harus Memilih

Oleh Joss Wibisono

Eurico Gutterres, pemimpin milisi Ai-tarak dan Wakil Panglima Pasukan
Pejuang Pro-Integrasi, menantang Uskup Titularis Lorium dan Administrator
Apostolik Dili Monsignor Carlos Felipe Ximenes Belo, SDB untuk hadir sebagai
saksi dalam persidangan dirinya di Pengadilan Ad Hoc HAM di Pengadilan
Negeri, Jakarta Pusat. ”Kalau dia betul-betul tahu kejadiannya, kalau dia
merasa menjadi korban, dia harus datang menjadi saksi supaya saya bisa
dihukum,” kata Gutterres kepada sebuah media ibukota. Tantangan ini
merupakan jawaban Wakil Panglima Gutterres kepada penolakan Mgr. Belo untuk
datang ke Jakarta memberikan kesaksian di hadapan Pengadilan Ad Hoc HAM
Timor Timur.
Apapun alasannya, (diberitakan Mgr Belo merasa keselamatannya terancam)
dengan menolak datang maka berarti Uskup Belo sudah tidak percaya lagi pada
Pengadilan Ad Hoc HAM Timor Timur. Bukan hanya itu. Dengan menolak datang,
maka Pemenang Hadiah Nobel Perdamaian tahun 1996 ini sekaligus juga mendesak
masyarakat internasional supaya membentuk tribunal internasional Timor
Timur. Tuntutan tribunal internasional ini makin lantang terdengar dari
Timor Lorosa’e begitu Pengadilan Ad Hoc Timtim memvonis bebas para tokoh
militer dan hanya menghukum tiga tahun penjara tokoh sipil yaitu gubernur
terakhir provinsi ke-27 Abilio Osorio Soares.
Inilah yang tidak dipahami bukan hanya oleh pemimpin Aitarak dan Wakil
Panglima Pasukan Pejuang Pro-Integrasi Eurico Gutterres, tetapi juga oleh
banyak kalangan di Jakarta. Masalahnya Wakil Panglima Gutterres dan para
elit politike Jakarta berkomunikasi di dalam negeri, sedangkan Uskup Belo
dalam kapasitasnya sebagai seorang Nobel peace laureate mampu berkomunikasi
langsung dengan dunia, dan itulah yang terus-terusan dikerjakannya.

Tribunal Internasional
Dalam sebuah tulisan yang dimuat oleh harian International Herald Tribune,
edisi Jumat 30 Agustus 2002, tepat tiga tahun referendum Timor Timur, Uskup
Diosis Dili ini menguraikan bahwa keadilan tidak kunjung datang pada
bangsanya yang sudah merdeka itu. ”Pemerkosa, penyulut kebakaran dan
pembunuh masih bebas berkeliaran, sementara orang-orang yang tidak berdosa
hidup dicekam trauma. Trauma ini dan perasaan tak berdaya sebagai korban
kembali bangkit ketika beberapa waktu berselang pengadilan di Jakarta
membebaskan polisi dan militer Indonesia yang dituduh membiarkan perusakan
itu berlangsung,” demikian tulis Mgr Belo. Ia melanjutkan, ”Salah satu yang
terkeji adalah pembunuhan massal terhadap sebuah konggregasi dan tiga orang
pastor di Gereja Katolik Suai September 1999. Sebuah tribunal internasional
diperlukan untuk bisa memberikan keadilan kepada para korban kejahatan
terhadap kemanusiaan seperti itu.”
Lalu bagaimana dengan Eurico Gutterres? Siapa yang akan mendengar Wakil
Panglima Pasukan Pejuang Pro-Integrasi ini? Siapa pula yang akan mendengar
seruan elite politik Jakarta bahwa Pengadilan Ad Hoc HAM Timtim sudah
beroperasi independen? Mungkin ada baiknya kalau Wakil Panglima Pasukan
Pejuang Pro-Integarasi ini dianjurkan untuk, seperti Uskup Belo, juga
mempublikasikan pendapatnya pada koran internasional.
Dari dulu, terutama akibat masalah Timor Timur, Jakarta selalu menjadi
pariah dalam pentas diplomasi internasional. Ali Alatas misalnya pernah
punya peluang (walau pun tidak terlalu besar) untuk menjadi Sekjen PBB,
tetapi sebuah kolom José Ramos Horta pada mingguan Far Eastern Economic
Review membuyarkan impian indah itu. Indonesia terlalu ternoda oleh Timor
Timur, sehingga seorang diplomatnya tidak layak mendapat kehormatan memangku
jabatan Sekjen PBB! Ali Alatas sendiri menjadi terkenal dengan ucapan bahwa
Timor Timur merupakan kerikil dalam sepatu diplomasi Indonesia.
Sekarang, walaupun sudah ganti pemerintahan dan Timor Timur sudah merdeka,
tetapi ternyata belum juga ada peningkatan yang berarti pada diplomasi
internasional Indonesia. Bahkan, lagi-lagi gara-gara Timor Leste, Indonesia
kini terancam kembali menjadi pariah.
Dalam kunjungannya ke Dili belum lama berselang, Komisaris Tinggi HAM PBB
Mary Robinson (yang sekarang sudah diganti oleh Sergio Vieira de Mello,
bukan orang asing bagi Timor Lorosa’e) berjanji akan meneruskan tuntutan
pendirian tribunal internasional kepada Dewan Keamanan PBB. Kalau DK PBB
sampai membahasnya maka kembali diplomasi Indonesia akan kena bogem mentah.
Indonesia bisa jadi masih harus menelan pil pahit kalau kelak sampai
terbentuk tribunal internasional yang mengadili mereka yang dianggap
bertanggung jawab terhadap peluluhlantakan Timor Timur pasca-referendum 30
Agustus 1999.
Ketika menghadiri KTT Pembangunan Berlanjut di Johannesburg, Senin 2
September 2002 Presiden Megawati Soekarnoputri mengadakan pembicaraan dengan
Perdana Menteri Belanda Jan Peter Balkenende. Perdana Menteri baru itu
langsung menyinggung soal pembunuhan wartawan Belanda Sander Thoenes di
Becora tanggal 21 September 1999. Kapan pengadilan akan digelar, itulah yang
ditanyakan oleh Balkenende. Sampai sekarang memang tidak seorang pun didakwa
karena pembunuhan ini. Tak pelak lagi, masalah peluluhlantakan Timor Timur
pasca-jajak pendapat akan terus menghantui Indonesia di pentas
interansional.

Unsur Paling Peka
Dalam tulisannya di koran International Herald Tribune tadi, Mgr Carlos
Felipe Ximenes Belo secara halus juga memperingatkan adalah tanggung jawab
Amerika pula untuk tidak memulihkan hubungan kerja sama militer dengan TNI.
Amerika sudah ikut berupaya sekuat tenaga mengamankan Timor Timur.
Kalau sekarang Amerika berniat memulihkan kerja sama militer dengan tentara
Indonesia, kalangan yang paling menanggung kepahitan dengan kemerdekaan
Timor Leste, bukankah mereka akan bisa merasa terdorong untuk kembali
menimbulkan penderitaan bagi Timor Leste? Kalau sampai begitu apakah Amerika
akan mendukung keadilan bagi Timor Timur? Demikian tanya Mgr. Belo.

Di sini Uskup Belo menukik pada unsur yang paling peka, itulah peran TNI.
TNI memang selalu berada di atas hukum, menikmati apa yang disebut impunity
(bahasa Inggris) atau straffeloosheid (bahasa Belanda), tidak pernah dihukum
atas pelanggaran hukum (baca: pelanggaran HAM) yang pernah dilakukannya.
Maka tampaklah betapa dalam soal sanksi Amerika dan pengadilan terhadap para
tokohnya, TNI menginginkan kedua-duanya. Di satu pihak TNI ingin supaya
Amerika menghapuskan sanksinya yang dikenakan, begitu Timor Timur luluh
lantak menyusul referendum Agustus 1999. Di lain pihak TNI juga ingin supaya
para prajurit dan perwiranya yang sekarang didakwa divonis bebas semua,
sementara Jenderal Wiranto, Pangab ketika Timor Timur dicabik-cabik, juga
tidak pernah dituntut.
Bisakah TNI memperoleh kedua-duanya? Tanpa bicara adil atau tidak, keinginan
seperti ini kiranya sulit terpenuhi. Melihat posisi diplomasi Indonesia, hal
itu nyaris tidak mungkin. Tak pelak lagi, TNI harus memilih, dan itu berarti
harus berani bertanggung jawab, bukan hanya atas perbuatannya sekarang,
tetapi terutama juga atas perbuatannya di masa lampau. Bukan hanya di Timor
Timur, tetapi juga pelbagai tempat di Indonesia, khususnya sejak Soeharto
tampil berkuasa.

Titik Lemah
Timor Timur dari dulu memang selalu merupakan titik lemah TNI/ABRI. Bukan
hanya prajuritnya, tetapi banyak pula perwira tinggi yang terjungkal karena
Timor Timur. Misalnya Pangdam Udayana Sintong Panjaitan dan Pangkolakops
Timor Timur Rudolf Warouw, keduanya harus meninggalkan jabatan-jabatan itu
akibat pembantaian di makam Santa Cruz, November 1991. Dari pelbagai analisa
yang ada, yang paling masuk akal adalah bahwa seperti peristiwa G-30-S,
pembantaian Santa Cruz juga akibat konflik dalam tubuh TNI/AD dengan rakyat
tak berdosa sebagai korbannya.
Soeharto ingin adik iparnya, Wismoyo Arismunandar, tampil sebagai KSAD,
padahal tokoh yang paling pantas dari generasi Wismoyo untuk jabatan ini
adalah Sintong Panjaitan, orang nomor satu lulusan AMN tahun 1963. Maka
Sintong yang juga anak emas Benny Moerdani harus disingkirkan. Di sinilah
inti banjir darah Santa Cruz, dengan menyingkirkan Sintong, membuatnya ”
bertanggung jawab” pada pembunuhan Santa Cruz, maka bukan hanya Soeharto
bisa mengangkat adik iparnya, tetapi ia juga bisa terus mengurangi pengaruh
Benny Moerdani. Dan memang akhirnya sebuah pengadilan di Amerika menggugat
Sintong, sehingga kalau dia berkunjung ke Amerika, akan sulit baginya untuk
bisa lolos dari gugatan itu.
Peristiwa besar lain yang berhubungan dengan Timor Timur adalah dicopotnya
Hendropriyono dari jabatan Pangdam Jaya karena para mahasiswa Timor Timur
secara spektakuler meloncat masuk ke Kedutaan Besar Amerika di Jakarta
ketika berlangsung KTT APEC di Bogor November 1994. Dengan langkah gagah
berani ini mereka berhasil membuat tuan rumah Soeharto menanggung malu besar
di hadapan tamu-tamunya.
Akibat keberanian mahasiswa Timtim itu, Hendro hanya sempat memangku jabatan
Pangdam Jaya selama 18 bulan, padahal normalnya seorang pangdam menjabat
selama dua tahun. Lebih pahit lagi, Hendro harus menyerahkan jabatannya
kepada Kasdam Jaya Wiranto ketika para mahasiswa Timtim masih berada dalam
gedung Kedubes Amerika. Jelas Soeharto sangat marah, sehingga baginya soal
keamanan Jakarta hanya bisa dipercayakan pada bekas ajudannya.
Dengan begitu jelas bahwa Wiranto naik pada jabatan Pangdam Jaya karena ulah
orang-orang Timor Timur. Ini juga promosi yang luar biasa. Wiranto tidak
pernah menjabat pangdam di manapun sebelumnya. Selain Wiranto, hanya dua
orang perwira tinggi lain yang sempat menikmati promosi luar biasa seperti
ini, itulah raja intel Benny Moerdani yang, tanpa pernah menjabat pangdam,
langsung melejit pada posisi pangab. Yang lainnya adalah menantu Soeharto:
Prabowo Subianto yang, juga tidak pernah menjabat pangdam, langsung
bertengger pada jabatan Pangkostrad.
Adolf Sahala Radjagukguk harus puas dengan jabatan duta besar di New Delhi,
padahal sebelumnya ia dicalonkan untuk Washington dan setelah ditolak
Amerika masih juga ditampik oleh Tokyo. Nasib serupa dialami oleh Herman
Mantiri yang juga gagal menjadi Dubes Australia.
Adang Ruchiatna, pengganti Herman Mantiri dan Theo Syafei pada jabatan
Pangdam Udayana, juga kandas kariernya. Seperti Hendro, Adang juga tidak
sampai dua tahun menduduki posisi Pangdam Udayana. Waktu Adang menjabat
pecah insiden Liquiça. Walaupun formalnya yang dianggap bersalah dalam kasus
Liquiça adalah prajurit kelas teri yaitu Letnan Satu Jeremias Kase (inilah
cara klasik perwira tinggi ABRI untuk menghindari tanggung jawab, yaitu
mengkambinghitamkan anak buahnya), tetapi Adang Ruchiatna tidak melaju
kariernya.
Sebagai bekas ajudan orang kuat Orde Baru, Wiranto memang punya jalur khusus
untuk tampil pada jabatan Pangdam Jaya. Kejatuhannya dari jabatan Menko
Polkam Februari 2000 juga paling spektakuler, sejauh ini. Lagi-lagi itu
akibat Timor Timur yaitu pembumihangusan pasca-referendum Agustus 1999.
Wiranto sendiri sampai sekarang masih selamat dari pengadilan, karena
perwira tertinggi TNI yang diadili oleh Pengadilan HAM Ad Hoc Timur Timur
barulah Adam Damiri, yang di masa referendum menjabat Pangdam Udayana. Dalam
konteks inilah Wiranto mendekati Xanana Gusmão ketika, masih sebagai
presiden terpilih Timor Lorosa’e, Xanana berkunjung ke Jakarta awal Mei
lalu. Jelas Wiranto ingin melobi Xanana supaya sang presiden tidak mendesak
didirikannya sebuah tribunal internasional.
Jangankan memenuhi standar internasional, dengan pelbagai vonisnya jelas
Pengadilan Ad Hoc HAM Timor Timur tidak melenyapkan keraguan banyak
kalangan. Maka tiada pula jaminan bahwa di masa depan tidak akan ada perwira
atau pensiunan perwira TNI yang diseret ke depan tribunal internasional
untuk Timor Timur yang kini ramai dituntut masyarakat Timor Lorosa’e.

NKRI Jadi Taruhan
Sekali lagi, tentara memang harus memilih! Kalau ingin supaya Amerika
memulihkan kembali hubungan kerja sama militer, dan supaya pamor diplomasi
Indonesia di pentas internasional terselamatkan, maka TNI harus berani
mengambil tanggung jawab terhadap peluluhlantakan Timor Timur. Menariknya
vonis bebas pembunuhan di Suai yang ditunjuk Mgr Belo tadi keluar ketika
Kepala Staf Komando Perairan Pasifik, Laksamana Thomas Boulton Fargo sedang
berada di Jakarta untuk merundingkan pemulihan kembali kerja sama militer
kedua negara. Amerika jelas dibuat malu, makanya State Department, Deplunya
Amerika datang dengan kecaman terhadap vonis itu, antara lain jaksa penuntut
disebutnya tidak sepenuhnya menggunakan bukti yang ada.
Budaya tidak tersentuh hukum harus segera diakhiri. Kalau kita tidak bisa
mengakhirinya sendiri, masyarakat internasionallah yang akan melakukannya
untuk kita. Kita sudah diberi kesempatan melalui Pengadilan Ad Hoc HAM Timor
Timur. Tapi tampaknya kesempatan itu tidak kita manfaatkan sebaik-baiknya.
Yang sekarang paling mengkhawatirkan adalah bahwa kemerdekaan Timor Timur
makin membulatkan tekad Aceh dan Papua untuk mengikuti jejak Timor Timur
menjadi merdeka, cabut dari NKRI. Dua wilayah ini juga menuntut tanggung
jawab TNI terhadap pelbagai pelangaran hak-hak asasi manusia. Ini berarti
bahwa posisi impunity, straffeloosheid atau enak-enak di luar hukum yang
dinikmati TNI harus segera dibuang jauh-jauh. Kalau TNI terus ingin
menikmatinya maka taruhannya adalah NKRI sendiri!

Penulis adalah wartawan dan pengamat politik yang menetap di Amsterdam,
Negeri Belanda.