[Nasional-m] Privatisasi BUMN dan Iklim Kompetisi

Ambon nasional-m@polarhome.com
Wed Sep 18 01:24:01 2002


Media Indonesia
Rabu, 18 September 2002

Privatisasi BUMN dan Iklim Kompetisi
Rio Quiserto Pengamat ekonomi

PRIVATISASI Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang dilakukan pemerintah saat
ini perlu didukung oleh penciptaan iklim kompetisi. Tanpa adanya kompetisi
yang lebih sehat, privatisasi hanya memindahkan monopoli dari pemerintah ke
swasta.
Kompetisi akan mendorong penurunan harga barang publik dan perbaikan layanan
yang diimpikan oleh masyarakat. Privatisasi hanya mengubah status
kepemilikan, tapi tidak mengubah struktur harga dalam suatu industri yang
pada gilirannya manfaat bagi masyarakat dalam bentuk harga yang murah dan
kualitas yang baik tidak bisa terealisasikan.
Riset atas negara anggota OECD yang melakukan privatisasi menunjukkan bahwa
hasil positif dicapai jika pemerintah memiliki kebijakan persaingan yang
efektif mendorong kompetisi setelah privatisasi (Regulatory Reform,
Privatisation and Competition Policy, OECD 1992). Hanya saja, penciptaan
iklim kompetisi dalam sektor barang publik bukanlah hal yang mudah.
Dalam textbook ekonomi, sektor barang publik disebut sebagai monopoli
alamiah. Besarnya fixed cost harus diinvestasikan dalam penyediaan barang
publik, khususnya dalam pembangunan jaringan distribusi seperti telepon dan
transmisi listrik, membatasi masuknya perusahaan swasta. Akibatnya, hanya
perusahaan negara yang berani memproduksi barang publik. Kondisi semacam ini
berujung pada situasi monopoli.
Dari pemerintah sendiri, belum ada kebijakan yang jelas bagaimana
menciptakan persaingan dalam sektor publik. Perhatian lebih banyak
difokuskan terhadap sektor swasta yang sebenarnya relatif lebih mudah
ditangani dibandingkan sektor barang publik.
Undang-Undang Antimonopoli pun, yang merupakan dasar hukum kebijakan
persaingan, belum menyinggung masalah ini. Tidak mengherankan kalau Komite
Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) pun belum memberikan perhatian khusus
mengenai masalah ini.
***
Untuk menciptakan persaingan, hambatan fixed cost harus diatasi. Harus
diberikan kesempatan kepada pihak swasta masuk ke bisnis tanpa perlu
membangun jaringan sendiri yang membutuhkan investasi sangat besar. Salah
satu caranya adalah pemerintah menetapkan kebijakan third party access.
Dalam kebijakan tersebut, pihak swasta diberikan akses untuk menggunakan
fasilitas strategis. Fasilitas strategis, misalnya, berupa jaringan telepon
di telekomunikasi, jaringan transmisi di listrik dan jalur kereta. Atas
penggunaan tersebut, pihak swasta harus menyewa kepada pemilik fasilitas,
yang dalam hal ini adalah BUMN.
Dihilangkannya hambatan fixed cost akan mendorong masuknya pihak swasta.
Bisnis di sektor publik menjanjikan potensi keuntungan yang tidak kecil
karena merupakan kebutuhan primer masyarakat. Apalagi mempertimbangkan
besarnya jumlah penduduk di negara kita. Paling tidak ada dua isu krusial
dalam pelaksanaan kebijakan tersebut. Pertama, penetapan fasilitas apa saja
yang masuk dalam wilayah kebijakan ini. Pemerintah yang harus memutuskan.
Bukan pemilik fasilitas, bukan pula pihak yang ingin menyewa fasilitas. Hal
yang harus dipertimbangkan pemerintah adalah strategis tidaknya dan besar
kecilnya investasi dalam pembangunan fasilitas tersebut. Yang masuk kategori
adalah fasilitas yang tidak hanya strategis, tetapi juga membutuhkan
investasi yang besar dan tidak layak bagi calon pesaing untuk membangun
lagi.
Kedua, penetapan harga sewa atas fasilitas tersebut. Pemerintah tidak campur
tangan langsung, tetapi mengawasi proses negosiasi harga sewa antara kedua
belah pihak. Pengawasan tersebut bertujuan dua hal, yakni harga sewa yang
dicapai fair dan reasonable. Di samping itu, jika terjadi deadlock,
pemerintah berhak memutuskan harga sewa akhir. Isu terakhir ini kemungkinan
besar menjadi masalah yang kerap muncul. Berkaitan dengan itu, pemerintah
perlu memikirkan dengan matang lembaga mana yang akan diberikan tanggung
jawab. Komite Pengawas Persaingan Usaha bisa menjadi lembaga tersebut.
***
Salah satu negara yang mencoba metode third party acccess tersebut dan
berhasil adalah Australia sejak 1995. Kebijakan third party access mendorong
kompetisi dalam sektor telekomunikasi di Australia. Awalnya, sektor
telekomunikasi dimonopoli oleh perusahaan milik negara, Telstra. Setelah
kebijakan tersebut diberlakukan, banyak bermunculan pesaing baru dari pihak
swasta, seperti Optus, Vodafone, AAPT, dan One.tel.
Hadirnya perusahaan-perusahaan swasta mendorong persaingan yang akhirnya
menciptakan penurunan harga. Manurut laporan Australian Competition and
Consumer Commission 2001 (Changes in Prices Paid for Telecommunications
Service in Australia 1996-97 to 1999-2000, www.accc.gov.au), harga jasa
telekomunikasi telah mengalami penurunan 17,5% dalam periode 1996-2000.
Hal yang tidak jauh berbeda juga dialami sektor energi Australia. Per
Januari 2002 yang lalu, masyarakat bebas memilih supplier listrik dan gas
mereka, yang sebelumnya praktis dimonopoli perusahaan milik negara.
Sekarang, ada sekitar enam perusahaan yang bersaing menawarkan jasanya.
Belum ada data resmi dari Australian Competition and Consumer Commission
yang menunjukkan pengaruh persaingan di sektor energi di Australia kepada
tingkat harga. Namun, konsumen mulai merasakan dampak positifnya.
Perusahaan-perusahaan tersebut telah menawarkan diskon yang membuat harga
listrik dan gas jauh lebih kompetitif dibandingkan sebelum deregulasi.
Konsumen juga bisa melakukan negosiasi harga yang harus dibayar berdasarkan
jumlah pemakaian mereka. Hal mana yang tidak bisa dilakukan sebelumnya.
Sudah saatnya pemerintah mengambil kebijakan persaingan yang lebih agresif
terhadap sektor barang publik. Kebijakan yang dilakukan selama ini lebih
banyak terfokus pada pembenahan internal manajemen lewat privatisasi atau
pergantian pimpinan. Pembenahan semacam itu tidaklah memadai untuk
menurunkan harga barang publik dan meningkatkan kualitas pelayanan.***