[Nasional-m] Sekolah dan Kesenjangan Ekonomi

Ambon nasional-m@polarhome.com
Tue Sep 17 21:48:01 2002


SUARA PEMBARUAN DAILY

Sekolah dan Kesenjangan Ekonomi
Oleh AJE Toenlioe

Kesenjangan ekonomi di negeri ini masih sangat lebar. Di satu pihak terdapat
sementara warga yang untuk makan sehari-hari saja masih sangat sulit,
sementara di pihak lain terdapat warga negara yang bergelimang harta,
sehingga untuk memuaskan hobinya pun mereka bingung mau berbuat apa.
Dalam konteks persoalan pendidikan, di satu pihak terdapat banyak bangunan
sekolah yang minim fasilitas dan nyaris rubuh, sementara di pihak lain
terdapat sementara warga yang amat mudah bolak-balik mengganti mobil
berharga ratusan juta hingga miliaran rupiah. Padahal biaya perbaikan
puluhan sekolah tidak seberapa bila dibandingkan dengan harga sebuah mobil
mewah.
Memang kekayaan sementara warga negeri ini adalah kekayaan semu, karena
secara makro Indonesia ini memiliki utang luar negeri luar biasa besarnya.
Meskipun demikian, tetap saja tidak dapat dipertanggungjawabkan secara
moral, kalau utang yang besar itu dinikmati secara tidak adil hanya oleh
sebagian warga. Bukankah setiap warga negara ikut memikul utang itu?
Pranata ekonomi jelas memiliki andil paling besar terhadap adanya
kesenjangan ekonomi amat parah, namun pranata lain pun ikut andil di
dalamnya, karena kebijakan pendidikan yang masih diskriminatif.
Andil pendidikan dalam menciptakan ketidakadilan ekonomi di Indonesia masih
amat bervariasi, sementara di pihak lain sekolah-sekolah bermutu hanya
dimasuki oleh mereka dari kalangan ekonomi menengah ke atas. Bahkan untuk
mengejar pendidikan bermutu, kalangan ekonomi atas tidak segan-segan
mengirimkan anaknya untuk mengikuti pendidikan sejak dini di luar negeri.
Dari kacamata pendidikan, kelompok ekonomi lemah sulit mempersempit
kesenjangan ekonominya dengan kelompok ekonomi menengah ke atas, karena
kelompok ekonomi lemah sulit memperoleh pendidikan bermutu.
Telaah Historis
Kesenjangan pendidikan dan ekonomi di Indonesia sesungguhnya merupakan
warisan kolonial. Pada masa penjajahan Belanda, demi kepentingan penjajah,
warga diadu-domba dan dibodohi melalui berbagai bentuk diskriminasi,
termasuk diskriminasi pendidikan dan eko-nomi.
Dalam hal pendidikan dasar misalnya, bagi golongan bangsawan dan Timur Asing
disediakan sekolah istimewa dengan lama pendidikan tujuh tahun, sedangkan
untuk rakyat biasa disediakan sekolah seadanya dengan lama pendidikan dua
tahun. Diskriminasi ini menjadi sempurna dalam menciptakan kesenjangan
ekonomi, karena pemerintah kolonial juga menjadikan kaum Timur Asing sebagai
tangan kanan bidang ekonomi.
Setelah merdeka, secara formal diskriminasi tersebut memang dihapus,
sebagaimana dapat dibaca pada pembukaan dan batang tubuh Undang-Undang Dasar
1945. Tetapi dalam kenyataannya, perpaduan antara telah mengakarnya sistem
yang dikembangkan pemerintah kolonial di satu pihak, serta ketidakmampuan
pemerintah dalam menciptakan sistem yang lebih adil di pihak lain, membuat
praktik pendidikan dan ekonomi yang diskriminatif tersebut tetap langgeng.
Kenyataan historis dan dampaknya hingga kini sebagaimana dikemukakan di atas
mesti disadari benar oleh setiap orang. Sekolah merupakan lembaga yang dapat
dimanfaatkan secara efektif dan efisien untuk maksud penyadaran tersebut.
Melalui pelajaran sejarah misalnya, sekolah mengajarkan apa adanya kenyataan
pahit diskriminasi sosial masa kolonial, agar setiap warga menyadari
posisinya dalam konteks sejarah, dan dengan demikian lebih bijak dalam
menempatkan diri. Agar mereka yang sedang berjaya saat ini karena
diuntungkan oleh diskriminasi sosial waktu lalu, tidak lupa diri dan
menikmati sendiri sepuas-puasnya kejayaannya sekarang, tanpa menghiraukan
sesama saudaranya sebangsa yang kurang beruntung.
Di pihak lain, agar mereka yang kurang beruntung karena diskriminasi sosial
waktu lalu tidak hanya menyesali diri dan menerima ketidakberuntungannya
secara negatif, melainkan termotivasi untuk bangkit dari ketertinggalannya
dengan memanfaatkan secara maksimal setiap peluang yang telah ada dan
mungkin diadakan pemerintah.
Peluang
Upaya nyata untuk memberikan kesempatan kepada mereka dari kalangan ekonomi
lemah untuk menikmati pendidikan bermutu bukan tidak ada sama sekali. Sebut
saja misalnya pemberian beasiswa dan pengadaan orangtua asuh bagi anak-anak
berprestasi dari kalangan ekonomi lemah. Namun upaya-upaya tersebut belum
menyentuh sepenuhnya akar persoalan. Pasalnya, pertama, yang menjadi sasaran
bantuan adalah mereka yang berprestasi. Padahal agar bisa berprestasi
diperlukan dukungan lingkungan. Lalu, bagaimana mungkin mereka dari kalangan
ekonomi lemah dapat berprestasi agar mendapatkan beasiswa misalnya, bila
kondisi keluarganya tidak memungkinkan mereka untuk berprestasi?
Kedua, anak-anak dari kalangan ekonomi lemah tidak hanya membutuhkan biaya
pendidikan, melainkan juga iklim belajar yang khas dibandingkan mereka dari
kalangan ekonomi menengah ke atas, terutama pada jenjang dan kelas-kelas
awal. Bila disatukan, kemungkinan besar anak-anak dari golongan ekonomi
lemah akan putus sekolah, dengan berbagai kemungkinan dampak negatif yang
menyertainya (lihat Kneler, 1965).
Apa yang dikemukakan di atas menyiratkan paling tidak dua jalan keluar dalam
rangka menjembatani kesenjangan ekonomi melalui sekolah. Pertama, pemerintah
hendaknya menyediakan kemudahan maksimal bersekolah di sekolah negeri bagi
mereka dari kalangan ekonomi lemah. Hendaknya mereka dari kalangan ekonomi
lemah ber-sekolah bukan karena bantuan orangtua asuh maupun beasiswa,
melainkan karena sistem pendidikan memang memberikan kesempatan
seluas-luasnya kepada mereka untuk mendapatkan haknya dalam mengenyam
pendidikan.
Kedua, sebagaimana pihak swasta menyelenggarakan sekolah yang khusus
dimasuki oleh anak-anak cerdas dan berbakat dari kalangan ekonomi menengah
ke atas, pada tempatnya pemerintah juga menyelenggarakan sekolah khusus bagi
anak-anak cerdas dan berbakat dari kalangan ekonomi lemah memperoleh
perhatian khusus di sekolah-sekolah negeri.
Secara teoretis otonomi daerah yang juga berarti otonomi pendidikan
memberikan peluang lebih besar bagi terjadinya pemerataan pendidikan bermutu
dalam rangka pemerataan ekonomi. Namun realisasi peluang besar itu
memerlukan kejujuran dan kemauan dari penguasa daerah dalam memberikan
perhatian proporsional kepada mereka yang kurang beruntung secara ekonomi.
Dalam kenyataannya, di sejumlah daerah, anggaran belanja untuk aparat
pemerintah dan DPR jauh melebihi anggaran pendidikan. Bahkan di
daerah-daerah tertentu terdapat indikasi adanya kerja sama saling
menguntungkan antara eksekutif dan legislatif untuk mempertahankan kekuasaan
dan jabatan, dengan mempermainkan anggaran belanja daerah.
Kenyataan ini merupakan indikator gamblang bahwa sampai saat ini otonomi
daerah belum disikapi oleh elite penguasa daerah sebagai peluang untuk
memajukan daerah.
Lalu, bagaimana mungkin kesenjangan mutu pendidikan dapat dijembatani?
Penulis adalah Dosen Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Malang.


Last modified: 17/9/2002