[Nasional-m] Kisruh PT QSAR Cermin Bangsa yang Malas

Ambon nasional-m@polarhome.com
Mon Sep 2 08:49:52 2002


Jawa Pos
Senin, 02 Sept 2002
Kisruh PT QSAR Cermin Bangsa yang Malas

Oleh R. Akbar Maulana

Semua investor PT Qurnia Subur Alam Raya (PT QSAR) merasa tertipu oleh
kepiawaian Ramli Araby yang berhasil "menjual" mimpi indah tentang menambang
duit tanpa kerja keras.

Ada yang mengaku tertipu karena diyakinkan saudara dekat untuk menyetor
uangnya. Ada yang terbuai karena membaca prospektif investasi di sektor
agrobisnis.

Ada yang tertarik karena tetangganya sudah menambang duit dari PT QSAR dalam
waktu singkat. Dan, ada pula yang mengaku karena terbuai oleh kehadiran
pejabat tinggi negara sehingga yakin PT QSAR merupakan perusahaan bonafide.

Tetapi, adakah penyebab lain yang mengakibatkan 6 ribu lebih investor PT
QSAR itu jatuh bergelimpangan dengan segala emosi dan keputusasaannya?
Agaknya, fenomena PT QSAR pimpinan Ramli dan kawan-kawannya secara relatif
mencerminkan mental bangsa ini, yang ingin meraih sukses dalam hidup tanpa
kerja keras melalui proses panjang yang melelahkan.

Tak usah ruwet-ruwet menyimak kelihaian Ramli Araby menjual mimpi indah
tentang hidup yang bergelimangan sukses dalam waktu singkat. Dalam segi lain
pun, banyak fenomena yang mencerminkan karakter bangsa ini tidak punya
semangat, disiplin, dan antusiasme kerja keras untuk mewujudkan mimpi
indahnya dalam hidup.

Dalam politik, begitu gampang elite menghambur-hamburkan uang untuk membeli
dukungan publik. Tiap pemilu digelar, banyak laporan faktual -yang bisa
dibuktikan dengan kasat mata- bahwa pimpinan partai menggalang dukungan
dengan cara membeli suara pemilih.

Mereka tahu bahwa hal itu melanggar aturan main, tidak fair, dan merupakan
upaya instan tanpa proses, inisiatif, serta kerja keras untuk menjadi
penguasa. Toh, tetap saja cara itu dilakukan. Tragisnya, kecenderungan
tersebut dilakukan hampir semua elite politik dan pimpinan partai dengan
cara dan upayanya masing-masing untuk memperoleh dukungan lewat uang.

Bidang hukum makin telanjang. Aparat penegak hukum begitu lemah oleh godaan
materi. Rayuan uang dan fasilitas begitu digdaya untuk meruntuhkan iman dan
integritas para penegak hukum.

Banyak polisi, jaksa, dan hakim yang mencerminkan hamba-hamba penegak hukum
yang lemah di hadapan uang, materi, serta fasilitas. Mereka begitu mudah
"menjual" profesi dan integritasnya untuk mendapatkan imbalan materi, tanpa
melalui proses dan kerja keras. Begitu gampang mereka menjadi orang kaya
bergelimangan harta tanpa melalui kerja keras dalam meniti karirnya.

Contoh yang lain ialah tindakan tidak sportif di cabang olahraga. Lihatlah,
misalnya, kasus pemalsuan identitas yang dilakukan tim sepak bola U-15
Sumatera Utara (Sumut) dalam kompetisi Liga Bogasari. Akibatnya, pihak
manajemen PT Bogasari mengancam tidak akan melanjutkan kerja samanya dengan
PSSI akibat kasus yang mencederai sportivitas itu.

Cabang olahraga dikenal memiliki falsafah sportivitas untuk meraih
kemenangan. Hanya tim olahraga yang jujur dalam berkompetisi yang diharapkan
meraih kemenangan. Kemenangan dalam olahraga ditanamkan melalui proses
perjuangan keras dan melelahkan.

Tidak ada juara kilat. Tidak ada kemenangan melalui proses karbitan yang
serba instan. Semuanya harus melalui seleksi, latihan, dan kompetisi yang
melelahkan dari bawah serta membutuhkan waktu sangat lama dan panjang.

Toh, kita melihat sendiri, misalnya, dalam pemalsuan identitas
pemain -memakai nama orang lain- dalam kasus tim U-15 Sumut, sebuah tim
sepak bola ingin meraih prestasi melalui cara instan dengan melakukan tindak
kejahatan, khususnya kejahatan terhadap sportivitas. Dengan cara seperti
itu, mereka ingin menjadi yang terbaik, tanpa kerja keras yang melelahkan.

The lazy native (pribumi yang malas) -meminjam terminologi Max Weber-
dipakai untuk melukiskan karakter bangsa Asia Selatan yang dinilainya selalu
tertinggal kemajuan dan peradabannya dari bangsa Barat. Meski tentang
sebab-sebab menjadi malas itu masih menjadi perdebatan yang tidak pernah
berakhir -ada yang bilang karena memang ditakdirkan malas, atau mentalnya
memang malas, atau sistem yang ditinggalkan para penjajah membuat bangsa
Timur menjadi malas-, banyak ahli sosiopsikologi sepakat bahwa salah satu
ciri watak bangsa-bangsa Asia Selatan ialah tidak memiliki etos kerja.

Etos kerja ialah dorongan, cita, dan ketekunan dalam mewujudkan sesuatu
tanpa harus putus asa. Dengan etos kerja, warga bangsa di mana pun akan
memiliki inisiatif yang keras, tekun berusaha, dan tahan berjuang guna
meraih prestasi yang tinggi.

Ciri-cirinya, kata Weber, mereka tidak mau menyerah terhadap kegagalan. Juga
menghargai waktu, disiplin, dan kuat pendiriannya -tidak mudah goyah dalam
menjalankan ikhtiar.

Jika tesis Weber tersebut dipakai untuk menilai banyaknya investor PT QSAR
yang tertipu, barangkali tidak terlalu keliru jika dikatakan bahwa bangsa
ini memang tidak memiliki etos kerja. Peringatan dari para analis bisnis
bahwa iming-iming keuntungan besar dalam jangka pendek itu nonsens tidak
dihiraukan. Mereka terlalu dibuai mimpi untuk menjadi kaya mendadak, tanpa
melalui perjuangan dan kerja keras yang berkeringat.
R. Akbar Maulana MSc, pengajar psikologi sosial pada salah satu PTS di
Jakarta