[Nasional-m] Restrukturisasi Hari Libur Nasional

Ambon nasional-m@polarhome.com
Sat, 26 Oct 2002 01:11:19 +0200


Jawa Pos
Sabtu, 26 Okt 2002

Restrukturisasi Hari Libur Nasional
Oleh Baharuddin Tino *

Pemerintah melalui Menko Kesra Jusuf Kalla menegaskan, pihaknya akan menata
hari libur nasional untuk mendorong pemulihan dunia wisata yang mengalami
goncangan akibat terjadinya pengeboman di Kuta, Bali. Menurut Kalla, hari
libur nasional yang tidak jatuh pada Sabtu dan Senin akan dialihkan ke hari
akhir dan awal pekan tersebut -Sabtu dan Senin.

Tujuannya, masyarakat memiliki waktu libur yang lebih lama sehingga dapat
digunakan untuk melakukan wisata ke tujuan-tujuan wisata, khususnya Bali.
Terhadap rencana pemerintah itu, muncul dua pendapat yang saling bertolak
belakang, pro dan kontra.

Pihak yang pro meskipun cenderung moderat dikemukakan Mendiknas Malik
Fadjar. Menurut Malik, pihaknya tidak keberatan atas rencana menata hari
libur itu sepanjang tidak mengganggu pelaksanaan pendidikan. Karena itu,
Depdiknas menyerahkan masalah tersebut ke masing-masing sekolah untuk
memutuskannya.

Pihak yang kontra diperlihatkan oleh Ketua Umum PB NU Hasyim Muzadi.
Pihaknya kurang setuju atas restrukturisasi hari libur nasional, khususnya
hari libur yang berkaitan dengan ritual keagamaan. Masalahnya, kata Hasyim,
keberadaan hari libur keagamaan tidak sekadar menghormati hari besar
keagamaan, tetapi substansinya terletak pada momentum yang bersifat
spiritual.

Jika, misalnya, Idul Fitri jatuh pada Rabu atau Kamis -yang berarti hari itu
adalah hari libur-, lalu karena ada keputusan pemerintah bahwa libur Idul
Fitri digeser atau dialihkan ke Sabtu atau Senin pekan berikutnya, nuansa
dan nilai spritual perayaannya akan kehilangan momentum.

Sebagian Besar Agama

Sebagian besar hari libur nasional di Indonesia dimaksudkan untuk
memperingati perayaan hari besar keagamaan, baik Islam maupun non-Islam.
Untuk Islam, misalnya, hari besar keagamaan yang dinyatakan hari libur
adalah Idul Fitri (dua hari), Maulid Nabi (satu hari), Idul Adha (satu
hari), Isra Mikraj (satu hari), dan Tahun Baru Hijriah (satu hari).

Sementara itu, hari besar keagamaan non-Islam yang dinyatakan sebagai hari
libur nasional, antara lain, Hari Natal (satu hari), Kenaikan Isa Al Masih
(satu hari), Wafat Isa Al Masih (satu hari), Hari Raya Nyepi (satu hari),
Waisak (satu hari), dan Imlek (satu hari). Adapun hari libur nasional non
keagamaan, antara lain, Tahun Baru Masehi dan Proklamasi Kemerdekaan RI.
Jadi, sepanjang tahun, terdapat 12 hari libur nasional dalam rangka ritual
keagamaan.

Lantas, apa implikasinya? Dengan jumlah hari libur nasional yang sebagian
besar untuk memperingati atau merayakan hari suci keagamaan itu, tampaknya,
niat pemerintah untuk meningkatkan frekuensi orang berwisata dengan cara
menderetkan atau mengakumulasikan hari libur keagamaan pada hari libur akhir
pekan bisa saja akan tercapai.

Dengan sangat banyaknya hari libur nasional yang diakumulasikan pada akhir
atau awal pekan, hari libur akhir pekan bakal bertambah banyak. Dengan
begitu, akan ada libur panjang sehingga akan mendorong banyak orang untuk
memilih berwisata memanfaatkan hari libur panjangnya.

Tetapi, tetap saja ada kemungkinan implikasi lain yang dapat bersifat
negatif. Nalarnya sederhana saja. Sebagai masyarakat agamis -apa pun agama
yang dianut-, warga masyarakat Indonesia akan tetap mengutamakan aktivitas
ritual agamanya.

Dengan kata lain, mereka akan tetap menjalankan atau melaksanakan ibadah
ritualnya tetap pada hari dan tanggal yang telah ditentukan menurut
perhitungan agama masing-masing. Lalu, akibatnya, mereka pada saat itu
mengambil libur sendiri meskipun hari dan waktu untuk menjalankan ibadah
ritual tersebut telah dinyatakan pemerintah sebagai bukan hari libur.
Meskipun, dalam hal itu hari libur peringatan hari suci keagamaannya sudah
digeser ke akhir atau awal pekan berikutnya.

Bagi para karyawan, mereka tetap saja setengah hati bekerja di hari yang
sepenuhnya untuk beribadah itu. Bukankah umat beragama beranggapan bahwa
saat-saat menjalankan ibadah ritual harus bersifat spesial, tidak boleh
diganggu oleh urusan-urusan nonagama?

Kian Tak Produktif

Yang kemudian terjadi dari kecenderungan ini ialah para karyawan, pekerja,
buruh, dan mungkin juga para profesional menjadi semakin tidak produktif.
Paling tidak, daftar hari libur sepanjang tahun semakin banyak. Yakni, hari
libur resmi yang digabungkan ke libur akhir atau awal pekan ditambah hari
libur yang dibuat sendiri saat mereka harus menjalankan ibadah ritual agama
yang sakral.

Pemerintah bisa saja menyatakan, karena hari libur keagamaan sudah
digabungkan ke libur akhir atau awal pekan, tidak ada lagi hari libur resmi
di luar yang ditetapkan menurut kalender nasional. Nyatanya, dalam praktik,
pemerintah tidak bisa berbuat apa-apa.

Misalnya, tambahan hari libur resmi yang dibuat atas perpanjangan hari libur
Idul Fitri. Meskipun secara resmi kantor dinyatakan sudah buka dan melayani
publik setelah libur dua hari pada Idul Fitri, praktiknya, pemerintah tak
berkutik atas banyaknya karyawan yang masih meliburkan diri alias mbolos
sampai tiga hari atau sepekan kemudian.

Preseden Buruk

Kita memahami kesulitan pemerintah mencari solusi untuk memulihkan kondisi
wisata, khususnya di Bali, setelah terjadinya pengeboman di Kuta. Bahkan,
sampai enam bulan berikutnya, diperkirakan kondisi wisata Bali belum akan
pulih. Sebagian besar turis mancanegara dan domestik masih trauma terhadap
pengeboman yang menewaskan 184 orang itu.

Tetapi, apa pun alternatif upaya yang ditemukan tidak boleh menjadi preseden
buruk bagi sektor lain. Semua menyadari, sebagian besar karyawan di negeri
ini adalah pegawai negeri.

Selama ini, mereka dikenal sangat rendah produktivitasnya. Di tempat bekerja
masing-masing, mereka lebih banyak nganggur daripada bekerja dengan semangat
dan etos yang tinggi.

Kalau dengan produktivitas yang rendah itu mereka masih diberi keleluasaan
dengan memberikan peluang untuk mbolos atau meliburkan diri, mutu pelayanan
publik di negeri ini akan semakin buruk. Kalaupun, misalnya, disiplin para
karyawan bisa ditertibkan agar tidak melanggar kalender libur nasional yang
dibuat pemerintah, belum dengan sendirinya kunjungan ke tujuan wisata bisa
dipulihkan secara normal seperti semula.

Mengapa? Sebab, pelayanan angkutan publik pada saat libur panjang sangat
buruk. Contohnya adalah saat menjelang Idul Fitri. Tetapi, pada saat
menjelang Idul Fitri, para pemudik tetap memaksakan diri melakukan
perjalanan pulang meski pelayanan angkutan publik sangat buruk. Sebab,
mereka terikat pada waktu dan momentum ritual yang sangat suci.

Di luar Idul Fitri, meski ada libur panjang, belum tentu mereka nekat
bepergian. Lagi pula, faktor utama untuk memulihkan kondisi wisata bukan
banyaknya hari libur, melainkan jaminan keamanan dan keselamatan wisatawan.
Tanpa jaminan keamanan, sulit diharapkan orang berwisata dengan nyaman.
*. Baharuddin Tino PhD, praktisi pendidikan, alumnus Syracus University, AS




---
Outgoing mail is certified Virus Free.
Checked by AVG anti-virus system (http://www.grisoft.com).
Version: 6.0.404 / Virus Database: 228 - Release Date: 2002-10-16