[Nasional-m] Perilaku Skizofrenik Warga Indonesia

nasional-m@polarhome.com nasional-m@polarhome.com
Sat, 12 Oct 2002 01:07:32 +0200


Kompas
Sabtu, 12 Oktober 2002

Perilaku Skizofrenik Warga Indonesia
Oleh Limas Sutanto

DI tengah riuh rendah tuding-menuding seputar isu terorisme di Indonesia,
coba amati dan renungkan fakta ini. Senin, 23 September 2002, sekitar pukul
03.30, terjadi ledakan yang berasal dari granat nanas yang ada di dalam
mobil Toyota Kijang di Jalan Teluk Betung, Menteng, Jakarta Pusat. Polisi
menduga, granat yang menewaskan salah seorang penumpang Kijang itu akan
dilemparkan ke mes kosong milik Kedutaan Besar Amerika Serikat.

Salah seorang dari tiga penumpang yang masih hidup, dikejar warga. Warga
mengepung dan menangkap orang itu. Kepala satuan keamanan lingkungan Yos
Tatontos, dan anggota satuan keamanan lingkungan Leonard mengatakan, si
tersangka ditangkap warga di depan pompa bensin di Jalan Sumenep, sekitar
satu kilometer dari tempat kejadian ledakan. "Ada sekitar 50 orang yang
mengepung. Kalau tidak dirangkul Leo dan beberapa orang lain, mati dia.
Warga sudah banyak yang teriak, bakar saja," tutur Yos. (Kompas, 24/09/2002)

Bersit fakta itu menarik dan penting, karena ia boleh mencerminkan betapa
sebenarnya hamparan luas warga masyarakat tidak menyukai
peledakan-peledakan, teror, dan berbagai tindakan kekerasan lain. Maka, si
tersangka peledakan serta-merta dikepung warga. Mereka berniat menangkap
tersangka peledakan, bahkan saat aparat keamanan negara belum bergerak untuk
menangkapnya.
Ternyata, warga masyarakat menolak keras tindakan teror. Namun, betapa
paradoksal, tindakan masyarakat yang menolak keras tindakan teror itu bisa
mendadak menjadi amat sangat kejam. Tersangka yang mereka kepung itu amat
mungkin akan dibantai beramai-ramai, jika tidak dihalang-halangi petugas
keamanan lingkungan. Pada titik ini dapat ditangkap paradoks perilaku
masyarakat yang sedemikian terbelah, terkoyak-koyak: warga masyarakat pada
dasarnya amat tidak setuju dengan peledakan, kerusuhan, kekerasan, dan
segala varian teror lain; namun di sisi lain mereka begitu dikuasai
impuls-impuls kompulsif dan otomatis untuk menghabisi tersangka pelaku
tindakan teror, justru dengan tindakan kekerasan yang tidak kalah biadabnya
dibanding tindakan si tersangka. Di sini terlihat betapa perilaku
"skizofrenik" (dari kata schizo yang bermakna terbelah, dan phren yang
bermakna jiwa atau khazanah mental).

Perilaku yang sebegitu skizofrenik itu mencerminkan betapa kehidupan tidak
lagi menyediakan patokan minimal yang bisa berperan sebagai acuan perwujudan
perilaku integratif nan sehat. Di tengah ketiadaan patokan minimal untuk
perwujudan perilaku integratif nan sehat, kemauan luhur warga masyarakat
untuk menolak kekerasan dan tindakan teror, bercampur baur secara
kacau-balau (chaotic) dengan gumpal-gumpal impuls untuk merusak kehidupan.
Di tengah ketiadaan patokan minimal itu, perilaku membela kehidupan
(perilaku biofilik) bercampur baur secara amat kacau dengan perilaku
memusnahkan kehidupan (perilaku nekrofilik). Di tengah ketiadaan patokan
minimal untuk perwujudan perilaku integratif yang sehat, perilaku yang boleh
diwujudnyatakan berbuncah kacau dengan perilaku yang sama sekali tidak boleh
diwujudnyatakan.
Amatilah secara saksama perilaku tokoh masyarakat dan elite politik dalam
menanggapi isu dan perbincangan luas bertema terorisme di Indonesia. Tak
kurang dari Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat, Wakil Presiden, deret
elite politik di Dewan Perwakilan Rakyat, pelbagai organisasi, dan berbagai
tokoh masyarakat serta-merta merasakan betapa negara tertentu menuding dan
menempelkan stigma buruk buat Indonesia sebagai "sarang teroris". Mereka
menampilkan reaksi yang bercorak emosional, dan reaksi itu nyaris cuma
berpusatkan ketersinggungan yang sesungguhnya tidak niscaya.

Sementara itu, mereka seolah sama sekali tidak bisa ikut menghayati rasa
nyeri luar biasa yang sebenarnya sampai kini masih ditanggung masyarakat
luas dan bangsa Indonesia, akibat berderet tindakan kekerasan bernuansa
teror yang terpampang panjang di tengah kehidupan nyata rakyat Indonesia.
Sebagian tokoh masyarakat justru sibuk mendefinisikan apa makna teror,
teroris, dan terorisme, sementara kenyataan hidup sehari-hari di bumi negeri
sendiri begitu banyak ditebari ketakutan akan kekerasan. Bahkan di bumi
negeri yang makin kaya kekerasan dalam berbagai varian itu, keamanan
(security) kian menjadi komoditas nan mahal.
***
DALAM permenungan boleh dirasakan betapa corak skizofrenik kian mewarnai
perilaku warga Indonesia. Rasa nyeri yang merasuk tulang dan sumsum rakyat
karena berderet peristiwa kekerasan, tidak lagi terasakan oleh tokoh
masyarakat dan elite politik. Maka hamparan tokoh masyarakat dan elite
politik benar-benar mengabaikan realitas nyeri yang sungguh dialami rakyat.
Tindakan mengabaikan realitas nyeri yang sungguh dialami rakyat itu, secara
hakiki mencerminkan ketidakpedulian pada rakyat. Namun, semua tokoh
masyarakat dan elite politik berseru-seru menudingkan kesalahan ke pihak
lain, justru merasa dan mengaku betapa tindakan mereka adalah "demi rakyat,
demi bangsa", bahkan "demi martabat dan nama baik bangsa", seolah semuanya
sedemikian heroik. Padahal, mereka tidak sanggup untuk sekadar mengingat
kembali betapa sejak Januari 2002 hingga September 2002 ini saja, di Jakarta
telah terjadi setidaknya delapan ledakan bom atau granat yang memakan korban
nyawa dan harta benda yang tidak sedikit (Kompas, 24/9/2002). Mereka gampang
melupakan banyak perlukaan besar yang terjadi karena berbagai kerusuhan amat
biadab, semisal kerusuhan Mei, yang de facto terhampar sebagai carut-marut
tindakan kekerasan dan teror luar biasa menakutkan, yang hingga kini pun
masih terus meresapkan nyeri jiwani dalam khazanah mental warga masyarakat
Indonesia.

Apa salahnya bila berbagai isu dan perbincangan luas bertema terorisme di
Indonesia justru ditanggapi pemerintah, semua tokoh masyarakat, aparat
keamanan negara, dan elite politik dengan mawas diri, jujur, tulus, khusyuk,
dan realistis. Niscayalah mawas diri seperti itu akan memunculkan
corak-corak kesadaran mendalam (insight) tentang betapa buruknya
perlindungan dan jaminan keamanan yang bisa diberikan aparat keamanan negara
untuk hamparan warga di bumi negeri sendiri. Di bumi negeri Indonesia,
masyarakat bisa segera melayang nyawanya hanya karena diteriaki oleh
seseorang dengan sebutan "maling". Di bumi negeri Indonesia, dua kelompok
orang yang saling tidak menyukai bisa begitu mudah mempertontonkan tawuran
riuh rendah dengan mengorbankan sekian banyak nyawa tanpa kontrol rasa dosa.
Di bumi negeri Indonesia, pada suatu saat bom, granat, bahkan onggokan
petasan bisa meledak begitu saja, dan di waktu kemudian kejadian serupa
terulang lagi dan terulang lagi. Bahkan di bumi negeri Indonesia kerusuhan
massa terjadi dan terjadi lagi, berulang-ulang, seolah tidak akan pernah
berakhir.

Sebenarnya, persoalan Indonesia bukan ada atau tidak adanya jaringan Al
Qaeda atau jaringan apa pun namanya di negeri ini. Persoalan pokok yang
nyata adalah lemahnya perlindungan dan jaminan keamanan bagi warga Indonesia
sendiri. Tanpa terlalu mempersoalkan ada atau tidak adanya jaringan Al Qaeda
di bumi negeri Indonesia, pemerintah, para tokoh masyarakat, elite politik,
para wakil rakyat, dan aparat keamanan negara niscaya bahu-membahu
menumbuhkembangkan perlindungan dan jaminan keamanan yang andal bagi setiap
warga di negeri mereka sendiri.

Penumbuhkembangan perlindungan dan jaminan keamanan yang andal tidak dapat
dilepaskan dari penegakan hukum yang tegas, tak berpihak, adil, dan tak
pandang bulu. Hukum niscaya dijadikan patokan minimal nan riil untuk
mewujudnyatakan perilaku integratif yang sehat. Dapat dimengerti, jika
perlindungan warga, jaminan keamanan warga, serta penegakan hukum sedemikian
lemah, jaringan tindak kekerasan (terserah mau disebut jaringan teroris atau
jaringan apa pun), gampang bersarang dan berkembang biak.

LIMAS SUTANTO, Psikiater, tinggal di Malang.