[Nasional-m] IPB dalam Perspektif Negara Industri Modern

Ambon nasional-m@polarhome.com
Mon Sep 30 23:48:02 2002


Republika
Senin, 30 September 2002

IPB dalam Perspektif Negara Industri Modern
Oleh : Didin S Damanhuri

Ada sebuah pertanyaan: mengapa sejak kemerdekaan RI para elit pengambil
keputusan di negara ini selalu berpihak pada sektor modern perkotaan dan
industri non-pertanian? Dalam dokumen perencanaan pembangunan masa lalu
dapat terlihat bahwa sektor pertanian memang tak tersentuh para elit, bahkan
hingga di penghujung Orde Lama.

Sementara itu pada jaman Orde Baru -- meskipun di dalam dokumen
Repelita-Repelita selalu menyebut pentingnya pembangunan sektor pertanian --
tapi dalam tingkat kongkritasinya, sektor pertanian hanyalah sebagai
penyangga dari proses industrialisasi yang ternyata justru berdampak pada
termarjinalkannya sektor pertanian tersebut.

Kalau ditelaah, ternyata terdapat gejala epistemological trap (jebakan
pemikiran) dari para elite pembangunan kita dari dulu hingga sekarang.
Yakni, selalu mengacu pada kisah sukses Marshall Plan -- pasca perang dunia
II dalam membangun kembali Jepang dan Eropa -- bahwa industrialisasi
diartikan sebagai pembangunan industri manufaktur dan urbanisasi. Dan,
urbanisasi dengan industri padat modal dianggap suatu keberhasilan.

Di mana posisi kemiskinan, pedesaan, pertanian dalam kerangka pemikiran
tersebut? Dalam paradigma lama tersebut, itu semua hanyalah merupakan tujuan
tak langsung (indirect policy). Dalam bayangan elite yang dipengaruhi
mainstream economics yang mengacu keberhasilan pembangunan ekonomi pasca PD
II (baca: bagi kaum developmentalist) pertanian, pedesaan, dan kemiskinan
selalu dianggap sebagai tujuan tidak langsung setelah keberhasilan
industrialisasi yang bersifat modern dan perkotaan. Sementara, bahwa
pembangunan ekonomi 1950-an di negeri ini, tidak banyak pembangunan yang
berdampak pada masyarakat.

Sejak Orde Baru pembangunan ekonomi berjalan secara sistematis, berencana,
dan melibatkan pergerakan modal yang bersifat internasional (big push).
Karena itu, dampak strategi industrialisasi Orde Baru tersebut pun sangat
luar biasa. Dan, ini terjadi karena peran para Mafia Barkeley -- yang
menjadi arsitek pembangunan ekonomi Orde Baru -- yang tesisnya merujuk pada
konsep trickle down effect. Yakni, transformasi masyarakat Indonesia
termasuk memecahkan masalah kemiskinan dan sebagian besar penduduk yang
bermatapencaharian di bidang pertanian diasumsikan setelah dilakukan proses
industrialisasi yang berbasis teknologi modern, perkotaan, dan bersifat
manufaktur non-pertanian dengan melibatkan kalangan Multi National
Corporation (MNC) dan negara donor dari Negara Industri Maju.

Bahkan, untuk merealisasikan proses industrialisasi tersebut pemerintah
secara by design memilih pelaku ekonomi nasional berasal dari yang dianggap
mempunyai kesiapan modal, jaringan pemasaran, dan mental enterpreneurship
yang dalam terjemahan konkritnya umumnya adalah yang berasal dari kalangan
non-pribumi.

Strategi ini bisa dikategorikan ke dalam dua priode, yakni periode
industralisasi subtitusi impor (ISI) dan periode Promosi Ekspor (PE). Untuk
kedua periode ini sampai tengah dasawarsa 1990-an Indonesia dianggap
mempunyai keberhasilan yang spektakuler, yakni dengan tingkat pertumbuhan di
atas 7% dan menurunnya angka kemiskinan absolut. Yang menjadi pertanyaan,
kenapa strategi ini berujung pada kegagalan yang sangat fatal berupa krisis
besar sejak Juli 1997?

Disamping karena terpicu krisis moneter sebagai efek domino dari negara Asia
lainnya (Thailand, Filipina, Malaysia), juga karena krisis yang bersifat
multidimensional ini dan berlangsung sangat lama (hingga saat ini belum
terjadi recovery economy) disebabkan oleh dua hal.

Pertama, kapitalisme yang terbentuk di Indonesia dari hasil industrialisasi
tersebut -- mengacu kepada istilah Kunio -- ditopang oleh para pelaku
ekonomi ertzat capitalism. Yakni sebuah perkawinan antara birokrat dan
pemilik modal yang sarat dengan KKN. Sudah umum dipahami bahwa krisis dan
korupsi bangsa kita memang sangatlah parah, mengutip PERC dan transparansi
internasional yang menempatkan Indonesia dalam tiga besar terburuk di Asia d
an dunia Kedua, karena proses industrialisasi meninggalkan sukma bangsa
yakni Indonesia sebagai negara yang kaya sumberdaya alam, khususnya
pertanian.

Selanjutnya yang perlu ditekankan bahwa krisis ekonomi di Indonesia salah
satu yang terpenting adalah karena industrialisasi yang berjalan dari sejak
dimulai hingga akhir tahun 1990-an tidak pernah terjadi perubahan signifikan
bahwa industrialisasi tersebut sangat berbasiskan kandungan impor yang
tinggi. Hal itu disebabkan karena baik dalam periode ISI maupun IPE keduanya
tetap mengacu kepada keberhasilan Jepang, yakni mengutamakan industri
manufaktur non pertanian yang notabene Jepang yang miskin sumberdaya alam.
Kalaupun terdapat prioritas pembangunan, namun sektor pertanian hanyalah
dimaksudkan sebagai penyangga suksesnya pembangunan industri manufaktur.

Tadinya banyak pihak berharap bahwa setelah Indonesia masuk era reformasi
akan terjadi pula paradigm shift dari strategi industrialisasi yang
berbasiskan impor kepada industrialisasi yang bersifat resources based dan
people driven di mana proses industrialisasi lebih terkait baik ke hulu
maupun ke hilir umumnya kepada pertanian dalam arti luas dan berbasiskan
ekonomi rakyat. Namun ternyata reformasi hanyalah menyentuh reformasi
politik dengan strategi pembangunan dengan business as usual. Yakni, tetap
bertumpu pada modal asing dan impor.

Jika Indonesia ingin seperti negara-negara yang berpenduduk besar dengan
sumberdaya alam yang kaya serta proses politiknya semakin demokratis yang
mengiringi proses pembangunan ekonomi seyogyanya mengacu kepada success
story negara-negara seperti Amerika, Perancis, dan Australia serta bahkan
Thailand. Yakni, awal dari sukses proses industrialisasinya bertumpu pada
resources based, khususnya pertanian dalam arti luas sekaligus melibatkan
pelaku ekonomi yang berbasiskan penduduk yang sebagian besar berada di
sektor pertanian. Dengan demikian logika pembangunan ekonomi dan demokrasi
tidak bersifat kontradiktif.

Sukses dengan proses industrialisasi yang melibatkan dan terkait langsung
dengan kemajuan sebagian besar penduduk yang berada di sektor pertanian
dalam arti luas akan menciptakan proses pemberdayaan yang bersifat inheren
dengan meningkatnya hak-hak politik rakyat karena kemajuan ekonomi yang
dicapai mereka. Karena itu, diperlukan suatu gerakan gelombang kedua dari
reformasi Indonesia yang mendesak agar proses pembangunan ekonomi jangan
bersifat kontradiktif dengan pembangunan politik. Yakni, bersamaan dengan
tercapainya proses reformasi ekonomi politik seyogyanya diikuti dengan
reformasi ekonomi dengan mengembalikan hajat hidup orang banyak yang berada
di sektor pertanian dalam arti luas. Yakni, mereka menjadi "Tuan di
negerinya sendiri".

Peranan IPB
IPB yang kini tengah mencari Pemimpin yang bersifat pembaharu -- seperti
yang tercantum dalam iklan-iklan di media massa -- setidaknya mengandung
tiga pengertian. Yakni, pembaharu yang bersifat teknikalitas, manajerial,
dan intelektual.

Pertama, perlunya seorang pembaharu yang mampu mengawinkan IPB dengan dunia
industri. Artinya, segala prestasi di masa lalu, kini, dan akan selalu
ditingkatkan di masa datang dalam produksinya baik dalam menghasilkan para
sarjana (pendidikan), hasil-hasil riset, dan produk pengabdiannya pada
masyarakat haruslah relevan dengan pasar yang tercipta akibat dari proses
industrialisasi.

Dengan demikian, kepemimpinan IPB dalam arti teknis hendaknya setajam
mungkin selalu mampu menghasilkan produk pendidikan, riset, dan pengabdian
yang terpakai oleh kebutuhan pembangunan industri. Jika saat Orde Baru
banyak terjadi produk IPB dipakai oleh industri yang mengabdi pada modal
asing dan impor, di masa datang hendaknya IPB mampu menerobos dan
menciptakan pasar yang membawa Indonesia menjadi negara industri modern yang
berbasiskan kepada pertanian dalam arti luas.

Kedua, perlunya pembaharu yang bersifat manajerial atau administrator baik
internal maupun eksternal. Artinya, IPB sebagai institusi pendidikan tinggi
di Indonesia harus mampu mengemban peranan untuk melakukan reformasi
terhadap segala bentuk ketidakefisienan, budaya KKN, berorientasi status
(tidak inovatif), sebagaimana kepeloporan perguruan tinggi di masa lalu yang
selalu menjadi pendobrak kebuntuan baik di kalangan masyarakat luas maupun
di dalam tubuhnya sendiri.

Tentu saja sebelum memerankan diri keluar, momentum IPB melaksanakan
otonominya dalam bentuk BHMN hendaknya mampu membuktikan sebagai lembaga
pendidikan tinggi kelas dunia yang berjalan secara efisien, terbebas dari
KKN, dan menjadi pionir dalam berbagai bentuk pemikiran maupun aksi konkrit.
Bersamaan dengan itu IPB bersama perguruan tinggi lainnya hendaknya mampu
berperan di era reformasi ini untuk bisa tetap menjadi inovator dan
pendobrak kebuntuan dari berbagai problem pasca Orde Baru.

Ketiga, pembaharu secara intelektual baik dalam arti akademis maupun
kemasyarakatan dimana seperti dalam uraian di atas hendaknya mampu menjadi
pelopor untuk menggeser paradigma pembangunan yang berbasiskan impor yang
menghasilkan krisis besar kepada paradigma pembangunan yang resources based
dan people driven.

Juga, yang tidak kurang pentingnya, IPB yang dikenal kampusnya sebagai
kampus rakyat hendaknya selalu dekat dan memperjuangkan terus menerus
bangkitnya ekonomi rakyat di dalam konteks Indonesia sebagai negara industri
modern. Semoga.

Penulis, Guru Besar IPB