[Nasional-m] HIV/AIDS di Papua (3-habis)

Ambon nasional-m@polarhome.com
Thu, 28 Nov 2002 00:10:10 +0100


SUARA PEMBARUAN DAILY
----------------------------------------------------------------------------
----

EKSKLUSIF

HIV/AIDS di Papua (3-habis)

Meningkat Seiring Tumbuhnya Tempat Hiburan Malam

Oleh wartawan "Pembaruan" Nancy Nainggolan


SUDAH lima bulan ini FY (27) merasa terpukul hebat karena mengetahui dirinya
terinfeksi Human Immunodeficiency Virus atau HIV. Anak bungsu dari dua
bersaudara ini merasa hidupnya sudah tidak berarti lagi. Berkat bimbingan
lembaga swadaya masyarakat Jayapura Support Group, FY kembali menemukan
sisa-sisa semangat hidupnya.

Tubuh pria dari suku Biak ini tampak lemah karena kerap terserang berbagai
penyakit, misalnya asam urat, paru-paru, dan mag. Kondisi fisik yang makin
lemah itu membuat putra pensiunan kapten polisi tersebut berhenti bekerja
Juni lalu. Waktunya lebih banyak dihabiskan untuk bolak-balik ke Rumah Sakit
Umum Daerah Abepura.

FY mengaku rasa takut yang hebat menghantui dirinya karena masyarakat
cenderung mengucilkan penderita HIV/AIDS. Dia sekarang mengaku pasrah kepada
Tuhan, padahal sebelumnya hampir melupakan gereja.

Dengan terus terang FY menuturkan telah mengenal hubungan seks sejak umur 12
tahun. Pengalaman seksnya berawal dengan sesama jenis. Waktu itu, seorang
laki-laki tetangganya mengajaknya mandi bersama. Ketika mandi, tetangganya
mulai memegang-megang tubuhnya sehingga dia terangsang dan mereka kemudian
berhubungan seks. Sejak itu, FY menjadi ketagihan.

Pada perkembangan selanjutnya, FY mengaku mulai berhubungan seks dengan
waria. Ia kemudian juga berhubungan seks dengan pelacur wanita.

"Saya juga suka minum. Sejak kecil saya sudah nakal, minum minuman keras,
main judi, dan berkelahi," tutur pria lulusan SMA itu mengenang.

Kenakalannya itu merupakan bentuk protes terhadap ayahnya yang kurang
memperhatikan dirinya dan ibunya. Ibunya adalah istri kedua dari empat istri
ayahnya. Kehidupan keluarga yang kurang harmonis, membuat FY dan kakak
perempuannya diasuh oleh nenek mereka dari ibu.

FY sempat terinfeksi herpes karena berhubungan seks dengan gonta-ganti
pasangan. Kehidupan rumah tangganya kacau dan berakhir dengan perceraian.

Menurut FY, dia tahu pelacur sangat berpotensi menularkan penyakit HIV/AIDS.
Tetapi, teman-temannya memberi pengertian yang salah tentang HIV/AIDS pada
dirinya. Menurut teman-temannya, berhubungan seks tanpa kondom tidak akan
membuatnya terinfeksi HIV. Dengan pemahaman seperti itu, FY tetap
berganti-ganti pasangan sampai ia kemudian tertular penyakit mematikan
tersebut.


Tanjung Elmo

Di kota-kota Provinsi Papua, seperti halnya kota-kota lain di Indonesia,
hampir selalu terdapat tempat pelacuran. Di Kabupaten Mimika ada Kilometer
10, di Merauke ada Belrusak dan Yobar, di Jayapura ada Tanjung Elmo. Tempat
pelacuran Tanjung Elmo, berada di tepi Danau Sentani yang indah. Di situ
terdapat 24 rumah yang berkedok tempat berkaraoke. Jumlah pelacur yang
beroperasi di situ berkisar 250 orang, sebagian besar dari Jawa Timur.

Tempat berkaraoke itu relatif bagus dan bersih. Di lokasi itu juga terdapat
Wisma Kesehatan Terpadu Cendrawasih yang dikelola Perkumpulan Keluarga
Berencana Indonesia dan Aksi Stop AIDS. Klinik tersebut berdiri sejak tahun
1999 dan sehari-hari melayani urusan kesehatan warga Tanjung Elmo.

Menurut suster Siti yang bertugas di kinik tersebut, tempat pelacuran
Tanjung Elmo sudah berdiri sejak tahun 80-an. Masyarakat setempat
menyebutnya sebagai Turki, singkatan dari turunan kiri.



Ada juga yang menyebut Sentani kiri. Tempat-tempat berkaraoke di situ diberi
nama depan wisma. Misalnya Wisma Kenanga, Wisma Payung, dan Wisma Sido
Rukun.

Para pengunjung biasanya mula-mula berkaraoke dengan tarif satu lagu Rp
1.000 hingga Rp 1.500. Kemudian mereka "berkaraoke" dengan para pelacur di
belakang ruang karaoke itu. Di situ tersedia kamar-kamar dan pelacur yang
siap melayani keinginan pelanggan. Tarif mereka paling murah Rp 50.000.

Pada tempat karaoke tertentu yang fasilitasnya bagus, pelanggan dikenai uang
kunci Rp 50.000. Para pelacur di situ harus menyetor uang ke germo mereka.
Pelacur yang dibayar Rp 100.000 sekali kencan misalnya, dia harus menyetor
Rp 80.000. Bagiannya hanya Rp 20.000. Para pelacur itu menjadi sapi perahan
para germo.

Selain itu, para pelacur tersebut juga menjadi incaran para mantri
kesehatan. Mereka sering ditawari berbagai suntikan untuk mencegah penyakit
kelamin dan kehamilan. Biaya sekali suntik Rp 25.000. Para mantri juga
menawarkan antibiotik seharga Rp 2.500 per butir.

Setiap bulan seorang pelacur mendapat jatah delapan kali berkunjung ke
klinik tanpa dikenai biaya. Tingkat infeksi penyakit kelamin di antara
pelacur di situ berkisar lima persen.

Sebelumnya sampai 20 persen. "Sekarang kondom sudah menjadi kebutuhan
mereka," ungkap Siti. Pemakaian kondom diyakini dapat mencegah penularan
penyakit kelamin dan HIV/ AIDS.

Sejumlah lembaga swadaya masyarakat menuding pemerintah belum menangani
secara serius kasus HIV/ AIDS di Papua. Pasien HIV/ AIDS ditangani apa
adanya di rumah sakit-rumah sakit milik pemerintah. Sebagaimana dipaparkan
Raflus Doranggi dan Christine Ansanay dari Yayasan Pengembangan Kesehatan
Masyarakat, Pemerintah Provinsi Papua hanya mengalokasikan dana Rp 500 juta
bagi Komisi Penanggulangan AIDS Daerah Jayapura. Jumlah itu dirasakan masih
terpaut jauh dari dana yang diperlukan.

Di Kabupaten Merauke, pemerintah setempat juga mengalokasikan dana Rp 500
juta untuk Komisi serupa. Sedangkan di Kabupaten Mimika, pemerintah setempat
belum mengalokasikan dana untuk itu.

Sementara dana yang dikucurkan sangat minim, Pemerintah di sisi lain
membiarkan berkembangnya bisnis hiburan malam. Bar dan tempat berkaraoke
tumbuh subur bak cendawan. Diperkirakan sedikitnya 1.000 pelacur beroperasi
di Jayapura. Mereka kebanyakan dari Jawa dan Sulawesi Utara.

Kasus HIV/AIDS di Papua sekarang sudah memasuki dekade kedua dan semakin
banyak orang yang mati karenanya. Di Merauke, Mimika dan Jayapura, belum
digunakan obat antiretroviral yang bisa mengurangi jumlah virus HIV.

Penggunakan obat itu baru direncanakan tahun 2003 dengan alokasi dana Rp 375
juta. Selain itu, ada bantuan obat yang sama dari Presiden. Bantuan itu
hanya untuk pengobatan selama setahun. Agara penderita HIV/AIDS tidak putus
obat, Kepala Dinas Kesehatan Papua dr Willy Kalalo berpendapat, perlu
dialokasikan dana setiap tahun untuk pengadaan antiretroviral.

Selain itu, perlu ditingkatkan pendidikan seks di sekolah-sekolah. Para
remaja perlu memahami fungsi alat reproduksi dan risiko perilaku seks yang
tidak aman.

HIV/AIDS merupakan penyakit mematikan. Belum ada vaksinasi untuk
menangkalnya dan belum ada obat untuk menyembuhkan si sakit.



----------------------------------------------------------------------------
----
Last modified: 27/11/2002