[Nasional-m] Makna Proporsionalitas Peran Perempuan

Ambon nasional-m@polarhome.com
Thu, 28 Nov 2002 00:01:25 +0100


Media Indonesia
 Kamis, 28 November 2002

Makna Proporsionalitas Peran Perempuan
Sih Handayani & F Nurdiana, Dosen STIE Trianandra dan UMS di Solo


PEREMPUAN, pada saat ini ternyata masih terus mengalami dikotomi. Yaitu
apakah dirinya menjadi objek ataukah justru menjadi subjek dalam
pembangunan. Bahkan dalam porsi rumah tangga pun ternyata eksistensi kaum
perempuan juga masih sangat terpinggirkan (termasuk aksi kekerasan terhadap
kaum perempuan). Padahal, kemajuan dan eksistensi suatu bangsa banyak
dikaitkan dengan bagaimana peran aktif kaum perempuannya. Jadi, wajar jika
kemudian muncul suatu pertanyaan apakah kaum perempuan di Indonesia sadar
atas tuntutan dan tantangan global yang tidak lain butuh komitmen penuh atas
peran-keterlibatannya? Atau justru sebaliknya, kaum perempuan di Indonesia
masih terbuai mimpi-mimpi perjuangan RA Kartini, yang rutin diperingati
setiap tahun? Bagaimana kaum perempuan menepis semua aksi kekerasan yang
ditujukan kepadanya, baik fisik ataupun nonfisik?

Keyakinan terhadap pertanyaan di atas tidak lain didasarkan pada kenyataan
bahwa saat ini kesadaran kaum perempuan di Indonesia atas hak-haknya masih
sangat rendah. Fakta ini secara eksplisit tentunya sangat ironis, sebab
jumlah penduduk perempuan kita sangat besar. Sehingga mereka seharusnya
memunyai kesempatan yang besar pula untuk memacu bargaining-nya. Fakta
ironisme ini memang menjadi nilai tantangan tersendiri bagi kaum perempuan
untuk bisa mendobraknya, sebab jika tidak maka bukan tidak mungkin
bargaining mereka terus saja terpinggirkan. Artinya, ini akan semakin
menambah daftar aksi kekerasan terhadap perempuan.

Terkait dengan tuntutan dan tantangan tersebut, yang justru harus dipikirkan
adalah nilai perjuangan atas gerakan emansipasi, yang tampaknya terus saja
berkembang dalam sisi kesetaraan gender, meski dalam hal-hal lain belum
begitu dominan. Di satu sisi, bahwa eksistensi atas perjuangan gender ini
sangat bagus terutama dikaitkan dengan nilai 'aktualisasi diri' kaum
perempuan. Meski gerakan ini masih didominasi oleh segelintir wanita karier
dan aktivis perempuan. Di sisi lain, aksi perjuangan ini juga bisa memicu
sentimen negatif, jika realisasinya tak sesuai yang diharapkan publik.
Alasannya, karena gerakan ini masih dikelilingi norma-norma koridor budaya
dan tekanan sosial--kemasyarakatan (dalam konteks paternalistik).

Kenyataan ini tampaknya memang menjadi ciri khas di banyak negara
miskin-berkembang. Oleh karena itu, beralasan jika kasus-kasus kekerasan
terhadap kaum perempuan juga banyak terjadi di negara miskin-berkembang.
Meski di negara industri-maju juga banyak terjadi kasus kekerasan ini.

Kerancuan

Terkait dengan realitas tersebut, maka momentum perjuangan kaum perempuan
saat ini selalu diidentikkan dengan proses pemahaman atas keberhasilan kaum
perempuan dalam upayanya untuk memacu 'aktualisasi' (mengacu teori Maslow
maka ini adalah proses tingkatan yang tertinggi). Selain itu, ada sisi
pemahaman minor yang berkembang bahwa agenda yang terjadi juga tidak bisa
terlepas dari filosofi pembukaan budaya terutama dikaitkan dengan budaya
Timur (adanya nilai pembatasan atas peran perempuan dalam kehidupan
bermasyarakat). Meski terkadang batasan ini samar-kabur (tak konkret), tapi
kita tak bisa dengan mudah mengabaikannya.

Jadi, ini tantangan terselubung yang harus segera dituntaskan, terutama
untuk menepis maraknya kasus kekerasan terhadap kaum perempuan.
Permasalahannya, bahwa batasan ini sangat kuat mencengkeram dalam tata nilai
perikehidupan di masyarakat. Meski diyakini bahwa batasan ini menjadi ciri
utama dalam gerakan emansipasi di mayoritas negara miskin-berkembang, toh
bukan berarti lalu batasan ini tidak bisa dileburkan.

Mengacu pada filosofi tersebut dan juga urgensi terhadap perjuangan
emansipasi, serta menindaklanjuti perjuangan menepis kasus-kasus kekerasan
terhadap kaum perempuan, maka wajarlah jika kemudian seremonial atas prosesi
perjuangan emansipasi dan gender selalu diidentikkan dengan simbol-simbol
nilai keberhasilan dari kaum perempuan dalam mendobrak tradisi-tradisi lama.


Meski demikian, tidak berarti lalu ini bisa dengan mudah diterima. Adanya
berbagai aspek pemahaman yang cenderung berbeda dalam menyikapi perjuangan
emansipasi-gender (untuk meredam kasus kekerasan terhadap perempuan) maka
sangat beralasan kalau banyak pihak berkeinginan untuk mencari filosofi
dasar atas prosesi perjuangan ini. Ini tak lain ditujukan agar dapat lebih
mengaktualisasikan peran perempuan, tidak saja dalam kemasyarakatan, tapi
juga bagi proses pembangunan. Lalu, bagaimana?

Konsekuensi pelaksanaan pembangunan sangat memerlukan dukungan, tidak saja
dalam bentuk akumulasi dana dan investasi dalam jumlah optimal (terutama
untuk mengejar pertumbuhan) tapi juga ketersediaan SDM andal yang pada
dasarnya menjadi 'subjek' pembangunan itu sendiri. Salah satu aspek SDM
andal yang dimaksud adalah keberadaan dan peran perempuan. Keterlibatan dan
kontribusi positif peran perempuan dalam pembangunan sudah tidak diragukan
lagi. Bahkan, pembangunan di negara maju keterlibatan mereka (kaum
perempuan) relatif seimbang dibanding kaum pria.

Ini tentunya menjadi suatu pemikiran bagi proses pembangunan lebih lanjut.
Artinya, bagaimana porsi yang harus diemban bagi perempuan lebih berkiprah
secara profesional dan proaktif. Bukannya justru reaktif yang cenderung
pasif. Oleh karena itu, problem dan isu gender sering muncul (dan atau
sengaja dimunculkan) untuk memberikan perhatian bagi keterlibatan dan peran
perempuan dalam arti makro, bukannya dalam porsi yang sangat sempit.
Meskipun keterlibatan dan peran proaktif perempuan di negara insdutri-maju
sudah sangat realistis, hal ini belum begitu transparan di negara
miskin-berkembang (termasuk juga di Indonesia). Artinya, dalam prosesi
pembangunan yang berdimensi kompleks ternyata peran dan keterlibatan kaum
perempuan masih sangat rendah (kalau tidak mau disebut minoritas).

Fakta di negara miskin-berkembang ini tentunya menjadi suatu paradigma yang
harus segera diminimalisasi. Dengan kata lain sudah saatnya bagi negara
miskin-berkembang untuk lebih memberi porsi keterlibatan peran perempuan
atau paling tidak mendekati proporsionalitas apabila dibanding dengan porsi
pria. Selain itu, konsep gender juga sangat memungkinkan bagi akses-proses
penyetaraan peran secara komprehensif dan aspiratif, bukannya diskriminatif
yang cenderung tidak membangun. Salah satu cara untuk mewujudkannya yaitu
dengan pendekatan politis- legalitas hukum. Oleh karena itu, aspek inilah
yang juga akan dipakai untuk menepis kasus-kasus kekerasan terhadap kaum
perempuan yang kian marak terjadi di Indonesia dalam 10 tahun terakhir.

Konseptual

Problematika dan juga sisi penggambaran tentang keterlibatan perempuan dalam
prosesi pembangunan pada dasarnya masih terus mengacu pada suatu pola yang
terkait dengan kultur yaitu tidak hanya di negara miskin-berkembang tapi
juga negara industri-maju yaitu subordinate pattern. Konsekuensi terhadap
subordinate pattern terfokus pada sejumlah masalah pokok yaitu aspek sosial,
budaya, ekonomi, dan politis. Oleh karena itu, pemahaman dan pengkajian
tentang subordinate pattern harus selalu dikembangkan sehingga pada
gilirannya bisa memberi gambaran komprehensif. Meski demikian, yang tetap
harus diantisipasi adalah bagaimana agar tidak terjadi lonjakan tuntutan
atas peran-keterlibatan kaum perempuan secara berlebihan sehingga
mengabaikan kodrati.

Realitas tersebut secara eksplisit menunjukkan bahwa kajian tentang
pemahaman kodrati alamiah perempuan pada dasarnya lebih mengarah pada sisi
bagaimana para perempuan mengerti dan juga sekaligus memahami keberadaannya
secara menyeluruh. Artinya, peran perempuan harus tetap dituntut
memerhatikan aspek mikro-makro yang melingkupinya. Tidak saja dalam lingkup
masyarakat, tetapi juga lingkup keluarga sebab bagaimana juga lingkup
keluarga merupakan lingkup terkecil yang harus diperhatikan.

Dengan kata lain, keberadaan perempuan tetap menjadi key point bagi
operasionalisasi kerja secara menyeluruh. Tidak saja dalam lingkup keluarga,
rumah tangga, dan lingkup negara-bangsa karena bagaimanapun juga jumlah
perempuan relatif lebih besar. Dalam kaitan ini tentu sangat rasional kalau
jumlah perempuan (secara kuantitas) menjadi salah satu faktor penting untuk
mendukung operasionalisasi pembangunan (tentu tetap harus dikaitkan dengan
kualitas dan atau minimal proporsional antara kuantitas dan kualitasnya).
Jadi, perempuan Indonesia harus bangkit demi pencapaian tujuan gerakan
emansipasi. Salah satunya adalah menepis aksi-aksi kekerasan terhadap
dirinya.***