[Nasional-m] Membangkitkan Kekuatan Ekonomi Nelayan

Ambon nasional-m@polarhome.com
Thu, 12 Dec 2002 23:12:52 +0100


Suara Merdeka
Jumat, 13 Desember 2002  Karangan Khas

Membangkitkan Kekuatan Ekonomi Nelayan
Oleh: Ihwan Sudrajat

NELAYAN mempunyai peran yang sangat substantial dalam memodernisasi
kehidupan manusia. Mereka termasuk agent of development yang paling reaktif
terhadap perubahan lingkungan. Sifatnya yang lebih terbuka dibanding
kelompok masyarakat yang hidup di pedalaman, menjadi stimulator untuk
menerima perkembangan peradaban yang lebih modern.

Dalam konteks yang demikian timbul sebuah stereotif yang positif tentang
identitas nelayan khususnya dan masyarakat pesisir pada umumnya. Mereka
dinilai lebih berpendidikan, wawasannya tentang kehidupan jauh lebih luas,
lebih tahan terhadap cobaan hidup dan toleran terhadap perbedaan.

Ombak besar dan terpaan angin laut yang ganas memberikan pengaruh terhadap
mentalitas mereka. Di masa lalu, ketika teknologi komunikasi belum mencapai
kemajuan seperti sekarang, perubahan-perubahan besar yang terjadi pada
masyarakat pedesaan (daratan) ditentukan oleh intensitas komunikasi yang
berhasil diwujudkan masyarakat pedesaan dengan para nelayan.

Vicious Circle l

Dalam perkembangan, justru masyarakat nelayan belum menunjukkan kemajuan
yang berarti dibandingkan kelompok masyarakat lainnya. Keberadaan mereka
sebagai agen perubahan sosial ternyata tidak ditunjukkan secara positif
dengan kehidupan ekonominya. Persoalan sosial paling dominan yang dihadapi
di wilayah pesisir justru masalah kemiskinan nelayan. Meski data akurat
mengenai jumlah penduduk miskin di wilayah pesisir ini belum tersedia, data
dari hasil-hasil penelitian yang ada menunjukan adanya incidence poverty di
beberapa pesisir.

Hasil studi COREMAP tahun 1997/1998 di 10 provinsi di Indonesia menunjukkan
rata-rata pendapatan rumah tangga nelayan berkisar antara Rp 82.500 per
bulan sampai Rp 225.000 per bulan. Kalau dikonversi ke pendapatan per
kapita, angka tersebut rata-rata setara dengan Rp 20.625 sampai Rp 56.250
per kapita per bulan (Anon, 2002). Angka tersebut masih di bawah upah
minimum regional yang ditetapkan pemerintah pada tahun yang sama. Hal ini
perlu menjadi perhatian mengingat ada keterkaitan erat antara kemiskinan dan
pengelolaan wilayah pesisir.

Tekanan terhadap sumber daya pesisir sering diperberat oleh tingginya angka
kemiskinan di wilayah tersebut. Kemiskinan sering pula menjadi lingkaran
karena penduduk yang miskin sering menjadi sebab rusaknya lingkungan
pesisir, namun penduduk miskin pula yang akan menanggung dampak dari
kerusakan lingkungan. Dengan kondisi tersebut, tidak mengherankan jika
praktik perikanan yang merusak masih sering terjadi di wilayah pesisir.

Pendapatan mereka dari kegiatan pengeboman dan penangkapan ikan karang
dengan cyanide masih jauh lebih besar dari pendapatan mereka sebagai
nelayan. Sebagai contoh, pendapatan dari penjualan ikan karang berkisar
antara Rp 500.000 sampai Rp 700.000 per bulan (Erdman dan Pet, 2000). Dengan
besarnya perbedaan pendapatan tersebut di atas, sulit untuk mengatasi
masalah kerusakan ekosistem pesisir tanpa memecahkan masalah kemiskinan yang
terjadi di wilayah pesisir itu sendiri.

Faktor Penyebab

Masalah kemiskinan kembali mencuat sebagai persoalan serius yang harus
segera ditangani pemerintah ketika krisis ekonomi melanda perekonomian
nasional mulai akhir tahun 1998. Krisis yang hampir membangkrutkan bangsa
dan negara Indonesia telah meningkatkan jumlah penduduk miskin kembali ke
tahun sebelum 1990.

Meningkatnya jumlah tenaga kerja Indonesia ilegal yang mencari pekerjaan di
negara jiran Malaysia adalah bukti konkret akan rendahnya harapan bagi
masyarakat pedesaan, terutama yang kurang berpendidikan untuk menggantungkan
kehidupannya dengan mengadu nasib sebagai masyarakat urban dan suburban di
Indonesia.

Secara garis besar ada dua cara memandang kemiskinan. Sebagian orang
berpendapat, kemiskinan adalah suatu proses, sedangkan sebagian lagi
memandang kemiskinan sebagai suatu akibat atau fenomena dalam masyarakat.
Sebagai suatu proses, kemiskinan mencerminkan kegagalan suatu sistem
masyarakat dalam mengalokasikan sumber daya dan dana secara adil kepada
anggota masyarakat (Pakpahan dan Hermanto, 1992). Dari hasil kajian mereka
di 14 kecamatan daerah pantai yang tersebar di beberapa provinsi diketahui,
nelayan yang miskin umumnya belum banyak tersentuh teknologi modern,
kualitas sumber daya manusia rendah dan tingkat produktivitas hasil
tangkapannya juga sangat rendah.

Faktor utama bukan karena kekuatan modal untuk mengakses teknologi, namun
ternyata lebih banyak disebabkan oleh kurangnya aktivitas penyuluhan atau
teknologi dan rendahnya lembaga penyedia teknologi.

Yang menarik dari hasil penelitian mereka adalah ditemukannya korelasi
positif antara tingkat kemiskinan dengan perkembangan sistem ijon. Para
nelayan miskin umumnya, kehidupan ekonomi mereka sangat tergantung kepada
para pemilik modal, yaitu pemilik perahu atau alat tangkap serta juragan
yang siap menyediakan keperluan perahu untuk berlayar.

Indikator ini memang tidak selalu sama di setiap daerah karena seperti di
Pekalongan, banyak juragan kapal yang mengeluh dengan sikap anak buah kapal
(nelayan) yang cenderung terlalu banyak menuntut sehingga keuntungan juragan
kapal menjadi terbatas. Namun secara umum terbatasnya kemampuan nelayan
dalam mengembangkan kemampuan ekonominya karena nelayan seperti ini telah
terjerat oleh utang yang dipinjam dari para juragan. Mereka biasanya
membayar utang tersebut dengan ikan hasil tangkapannya yang harganya
ditetapkan menurut selera para juragan.

Bisa dibayangkan apa yang akan diterima para nelayan dengan sistem yang
demikian, sehingga sangatlah wajar jika kemiskinan menjadi bagian yang akrab
dalam kehidupan mereka.

Kelebihan

Ada hal yang berbeda ketika kita berbicara tentang ekonomi nelayan dan
ekonomi petani terutama di Jawa Tengah. Di kalangan petani, pemasaran hasil
merupakan second generation problem yang sulit sekali dicarikan
pemecahannnya. Sedangkan di kalangan nelayan Jawa Tengah, pemasaran bukanlah
persoalan serius yang membuat mereka jatuh miskin.

Di Provinsi Jawa Tengah terdapat tempat pelelangan ikan (TPI) yang menjadi
sarana transaksi hasil-hasil ikan laut. Dalam proses transaksi di TPI,
nelayan berhadapan dengan banyak pembeli sehingga nelayan yang menjual hasil
ikannya di TPI umumnya akan mendapat harga yang paling menarik jika
dibandingkan dengan mereka yang menjual di laut lepas atau di luar TPI.

TPI Jawa Tengah yang dikelola oleh Koperasi Unit Desa yang tergabung dalam
Puskud Mina Baruna saat ini terbilang sebagai TPI paling solid dan terbaik
di Indonesia.

Sayangnya, tidak semua proes transaksi dilakukan secara kontan, terkadang di
beberapa TPI banyak nelayan yang harus menunggu pembayaran dua sampai tiga
hari karena tidak semua pembeli membawa uang yang cukup.

Hal inilah yang mendorong para nelayan, yang memerlukan uang kontan segera
dan tidak sabar, menjual hasilnya di luar TPI. Akibatnya harga ikan yang
mereka jual jauh di bawah harga TPI dan seringkali hanya bisa untuk menutup
biaya operasi menangkap ikan di laut lepas.

Kondisi ini seringkali menimpa para nelayan-nelayan kecil yang membutuhkan
dana segar sesegera mungkin untuk menutup biaya kehidupan ekonomi mereka.

Pemerintah tampaknya perlu mendorong sektor perbankan untuk membuka kantor
kasnya di setiap TPI yang bisa mengatasi kesulitan para bakul untuk menutup
tagihannya. Termasuk fungsi perbankan disini adalah menyediakan dana yang
diperlukan nelayan untuk berlayar. Sayangnya dengan kondisi kehidupan
nelayan yang pas-pasan, tampaknya sangat sulit bagi perbankan untuk
menjalankan fungsi tersebut tanpa adanya agunan yang memadai dari para
nelayan.

Di sini bila dimungkinkan pemerintah bisa menyediakan dana khusus sebagai
jaminan kepada perbankan untuk menyalurkan dananya kepada nelayan. Kalaupun
perbankan tidak mampu memenuhi peran tersebut, pemerintah bisa menempatkan
dananya sebagai penyertaan modal kepada KUD-KUD pengelola TPI. Memang, nada
miring tentang KUD seringkali kita dengar sehingga pemerintah pun cenderung
berhati-hati bila ingin memberdayakan KUD. Namun, pendapat ini tidak bisa
digeneralisasi secara membabi buta, karena masih cukup banyak pengurus KUD
yang mempunyai hati nurani seperti KUD-KUD pengelola TPI. Tidak ada
salahnya, mulai sekarang pemerintah mulai mencoba mengalokasikan dana
retribusi dari transaksi di TPI untuk diarahkan kepada penyediaan modal bagi
nelayan. Dengan demikian misalokasi anggaran diharapkan tidak akan banyak
terjadi, karena dengan memberdayakan KUD berarti pula mendorong bangkitnya
kekuatan ekonomi nelayan. (18)

- Ihwan Sudrajatmahasiswa program doktor ekonomi Undip, staf biro
perekonomian daerah Setda Jateng.