[Nasional-m] UMP dan Kesejahteraan Buruh

Ambon nasional-m@polarhome.com
Thu, 12 Dec 2002 23:29:33 +0100


Sriwijaya Post
 Kamis,  12 Desember 2002

UMP dan Kesejahteraan Buruh
(Problematika antara Kenaikan Upah dan Kesejahteraan)
Herman Sunu Endrayanto
Alumnus Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta


RENCANA kenaikan UMP (Upah Minimum Propinsi) Sumatera Selatan per 1 Januari
2003 bisa menjadi kabar melegakan para buruh di berbagai sektor industri di
penghujung tahun 2002. Rencananya, UMP akan dinaikan dari Rp 331.500 (2002)
menjadi Rp 403.500 per bulan (Sripo, 14 November 2002).
Secara umum, para buruh terjebak dalam pola hidup subsisten dan berujung
pada kemiskinan akut sebagai konsekuensi dari rendahnya upah yang diterima.
Hal ini terlihat dari terms of trade (nilai tukar) buruh yang terus-menerus
mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Terms of trade yang menurun
ditunjukkan dengan perbandingan upah dan harga barang yang semakin mengecil.
Benarkah kenaikan UMP Sumsel akan meningkatkan kesejahteraan para buruh?
Pendekatan ekonomi akan digunakan untuk menganalisis kebijakan kenaikan upah
berkaitan dengan tingkat kesejahteran para buruh. Di samping itu, penulis
berupaya memberikan solusi bagaimana cara meningkatkan kesejahteraan para
buruh.
Kesejahteraan Buruh
Kita terbiasa mengukur kesejahteraan dengan menggunakan pendapatan yang
diterima oleh pelaku-pelaku ekonomi. Dalam teori ekonomi, pendapatan pelaku
ekonomi (measured income) yang terbagi menjadi pendapatan permanen atau
tetap (permanent income) dan pendapatan tidak tetap (transitory income,
unplanned income, atau unanticipated income). Dalam kontek buruh, upah buruh
merupakan komponen pendapatan permanen. Upah selalu berkaitan dengan istilah
upah riil dan upah nominal. Upah yang diterima buruh disebut dengan upah
nominal (nominal wage). Upah riil (real wage) adalah upah yang telah
diperhitungkan dengan daya beli dari upah yang diterima atau upah nominal.
Harga barang dan jasa akan mempengaruhi daya beli dari upah buruh ini. Bisa
saja upah nominal buruh mengalami kenaikan dibandingkan tahun sebelumnya,
tetapi karena biaya hidup naik maka daya beli dari upah buruh bisa lebih
rendah dari tahun sebelumnya. Meskipun ada kenaikan, tingkat kenaikan upah
riil tidak seberapa dibandingkan dengan upah riil tahun sebelumnya.
Upah buruh sebesar Rp 403.500 tahun 2003 dari Rp 331.500 pada tahun 2002
adalah upah nominal buruh, maka upah riil buruh bisa dicari dengan
perhitungan sederhana dan berbagai asumsi yang menyertainya. Caranya dengan
membandingkannya dengan indeks harga konsumen (IHK). Sedangkan indeks harga
konsumen bisa diketahui dengan melihat tingkat inflasi per tahunnya. Asumsi
perhitungannya, bahwa angka indenks harga konsemen dipatok dengan
menggunakan indeks harga tahun dasar yang selalu bernilai 100. Jika angkanya
di atas 100 maka kelebihannya merupakan tingkat inflasi pada tahun tersebut.
Sedangkan angka di bawah 100 berarti terjadi penurunan harga barang
(deflasi).
Formula matematis dari upah riil adalah upah nominal dibagi dengan indeks
harga konsumen dikalikan dengan 100. Bagaimana dengan upah riil buruh?
Mari kita menghitung.
Dalam publikasi ADB (2002) yang berjudul Asia Economic Monitor diperkirakan
tingkat inflasi tahun 2002 mencapai 12 persen. Asumsinya, jika tingkat
inflasi sebesar 12 persen ini dipakai dalam perhitungan tersebut maka bisa
diketahui upah riil buruh. Dari formula matematis tersebut, upah riil buruh
pada tahun 2002 adalah Rp 331.500/112x100 = Rp 295.982. Dalam APBN 2003,
pemerintah memprediksikan tingkat inflasi mencapai 9 persen. Pada tahun 2003
upah riil buruh adalah Rp 403.500/109x100 = Rp 370.183.
Dari tingkat inflasi tersebut, kita pun bisa memperkirakan terms of trade
buruh. Jika tingkat inflasi tahun 2002 adalah 12 persen tahun 2003
diperkirakan 9 persen, maka selama dua tahun diperkirakan akumulasi inflasi
mencapai 21 persen. Bila terms of trade buruh tahun 2002 dianggap sama
dengan 1, maka tahun 2003 terms of trade menurun menjadi 0,82. Angka ini
diperoleh dari hasil bagi antara upah (yang konstan=1) dengan harga-harga
barang dan jasa (menjadi 1,21). Dengan kata lain, terms of trade sebesar
0,82 merupakan indikasi bahwa selama dua tahun saja (2002 dan 2003), para
buruh mengalami penurunan kesejahteraan sebesar 18 persen.
Tentu saja perhitungan ini masih bersifat kasar dan menggunakan asumsi yang
serba sangat sederhana. Tetapi dari perhitungan tersebut, kita bisa
mengetahui dan memprediksi upah riil yang diterima dan terms of trade para
buruh. Upah riil dan terms of trade dari penghitungan tersebut bisa
mengalami kenaikan atau justru turun tergantung tingkat inflasi yang terjadi
di daerah dan nasional.
Dari perkembangan kontemporer ekonomi Indonesia, tingkat inflasi akan
cendrung mengalami kenaikan. Rencana pemerintah untuk menaikkan harga BBM
secara otomatis akan memicu tingkat inflasi Indonesia pada tahun 2003.
Imbasnya pada biaya produksi (cost) dunia usaha yang akan mengalami
kenaikan. Jika kenaikan tingkat inflasi mencapai di atas 12 persen dan 9m
persen, seperti prediksi di atas, maka upah riil dan terms of trade akan
mengalami penurunan secara signifikan.
Mencari Solusi
Dari fenomena semacam ini, kebijakan untuk mensejahterakan hidup warga
ekonomi survival seperti para buruh seolah-olah menabrak tembok tebal
bernama pola hidup subsistem dan kemiskinan. Artinya, kebijakan menaikkan
upah buruh seolah-olah merupakan kebijakan yang sia-sia. Bukan lantas
bersikap sinis terhadap kemauan baik pemerintah untuk menaikkan upah buruh,
melainkan perlu mencari solusi yang tepat di tengah ketidakpastian ekonomi
yang serba tak jelas ke mana arahnya.
Hanya sekadar menaikkan upah buruh sebenarnya belum menyelesaikan secara
tuntas persoalan ekonomi para buruh. Sebab kenaikan upah ini juga diiringi
dengan tugas berat mengendalikan harga-harga sebagai dampak berantai rencana
menaikkan harga BBM. Apakah artinya menaikan upah buruh jika kenaikannya
diikuti atau (bahkan) didahului dengan kenaikan harga-harga barang dan jasa.
Bagaimana cara meningkatkan kesejahteraan para buruh? Ada beberapa cara.
Pertama, mengefektifkan serikat pekerja sebagai tempat memperjuangkan
peningkatan kesejahteraan para buruh. Tuntutan kenaikan upah bukanlah
pertama dan utama. Cara meningkatkan kesejahteraan buruh selain menaikkan
upah juga harus diikuti dengan tuntutan pemberian jaminan dan tunjangan para
buruh seperti misalnya Jamsostek, kesehatan, pelatihan, dan sebagainya.
Jaminan dan tunjangan ini sering luput dari perhatian serikat pekerja.
Bahkan perusahaan sering melalaikan kewajibannya untuk memberikan jaminan
dan tunjangan bagi para buruhnya.
Kedua memberikan insentif kepada para buruh atas pencapaian kinerja
(performance) mereka. Insentif ini bisa memberikan dampak positif sekaligus.
Bagi perusahaan, pemberian insentif akan memacu tingkat efisiensi dan
efektifitas aktivitas produksi perusahaan, sehingga tercapai apa yang
disebut skala ekonomi (economic of scale) .
Bagi para buruh, pemberian insentif ini akan memacu semangat berkompetisi
secara sehat untuk berprestasi. Secara otomatis, pemberian insentif kepada
para buruh juga semakin mendorong produktivitas kerja para buruh di
perusahaan.
Di sisi lain, pemberian insentif ini akan mengerem laju inflasi di daerah.
Secara psikologis pemberian insentif tidak akan dipublikasikan oleh media
massa di daerah secara besar-besaran. Publikasi media massa tentang
pengumuman kenaikan UMP secara besar-besaraan secara psikologis sering
memicu tindakan-tindakan ekonomi tertentu dari masyarakat. Tindakan ekonomi
masyarakat dengan menaikkan harga barang dan jasa adalah contoh klasik dari
publikasi media massa tentang kenaikan upah.
Kebijakan terakhir ini bisa mengurangi kesibukan pemerintah daerah dalam
mengendalikan perekonomian daerah terutama pengendalian harga-harga barang
dan jasa di pasar. Dengan kata lain, kebijakan ini akan mampu meredam laju
inflasi dadakan yang sering ditimbulkan oleh kenaikan upah maupun gaji.