[Nasional-m] Teknologi Pencari Harta Karun

Ambon nasional-m@polarhome.com
Fri Aug 23 01:48:09 2002


Jawa Pos
Jumat, 23 Agt 2002

Teknologi Pencari Harta Karun

Berita pencarian harta karun Padjadjaran di situs Batutulis, Jawa Barat,
yang menyebut-nyebut keterkaitan menteri agama, paranormal, dan sejumlah
ustad mengundang banyak wacana. Selain mempertanyakan -sekaligus "memvonis"
bahwa Menag bertindak jauh di luar kapasitasnya--, ternyata ada pula
masyarakat yang berharap bahwa harta karun tersebut benar-benar ada,
sehingga dapat dipergunakan untuk membayar utang Indonesia.

Karena secara disiplin ilmu penulis tidak berkompeten dengan
sejarah -apalagi jika dihubungkan kepada hal-hal yang irrasional-, tulisan
ini tidak mencari pro kontra lagi, tetapi ditujukan untuk lebih memberikan
kontribusi pemikiran tentang tindak lanjut pencarian harta karun itu (bila
memang ada). Atau, justru bisa dikembangkan untuk eksplorasi tempat-tempat
lain di Indonesia secara ilmiah. Bagaimanapun di Indonesia masih sering
ditemukan banyak situs peninggalan sejarah mulai zaman prasejarah.

Beberapa waktu lalu saya menulis di media lokal tentang penggunaan ground
penetrating radar (GPR) atau dikenal dengan istilah "georadar" -seperti yang
sempat sukses digunakan untuk menemukan bunker Tommy di bawah Cendana- untuk
mencari terowongan-terowongan di Jogja.

Dari asal kata geo & radar itu, geo berarti bumi atau tanah, sedangkan radar
merupakan singkatan dari radio detection and ranging. Jadi, arti harfiahnya
adalah alat pelacak bumi dengan menggunakan gelombang radio. GPR merupakan
metode yang memiliki spesialisasi untuk eksplorasi dangkal (nearsurface
geophysics) dengan ketelitian (resolusi) yang amat tinggi, sehingga mampu
mendeteksi benda sasaran bawah permukaan hingga benda yang berdimensi
beberapa cm sekali pun.

Berbeda dengan metode seismik yang menggunakan sumber gelombang mekanik
(getaran medium) seperti pukulan palu, ledakan mercon, dan bom, GPR
merupakan salah satu metode geofisika yang menggunakan sumber gelombang
elektromagnetik.

Karena itu, GPR tergolong metode geofisika tidak merusak (nondestructive).
Kelebihan lain GPR adalah biaya operasionalnya yang rendah, prosedur
pengerjaan mudah, dan ketelitian sangat tinggi. Kelemahannya, daya tembus
metode ini hanya sampai puluhan meter. Itulah sebabnya, metode ini bisa
dikatakan cocok untuk pencarian situs (atau harta karun), namun dengan
catatan: bilamana tempat tersebut sudah diyakini benar.

GPR bekerja dalam daerah radar, yaitu yang berfrekuensi di atas 10 Hz atau
yang bersesuaian dengan panjang gelombang lebih kecil dari 30 m. Karena
panjang gelombang itu mencerminkan ukuran minimum benda yang dapat
terdeteksi, makin tinggi frekuensi makin kecil panjang gelombang, sehingga
makin kecil ukuran benda yang dapat terdeteksi (makin tinggi pula
ketelitiannya). Hasil pencitraan GPR bisa memunculkan informasi semacam
ketebalan permukaan aspal jalan, jalur pipa bawah tanah untuk mencari
bedrock yang pas guna fondasi bangunan, hingga mencari mayat hilang dan
fosil-fosil arkeologis.

Metode geofisika sendiri sebetulnya cukup banyak dan masing-masing mempunyai
kegunaan sesuai karakteristik material yang dicari. Misalnya, perusahaan
minyak menggunakan metode seismik (getaran) untuk mencari jebakan minyak,
perusahaan tambang emas menggunakan metode kelistrikan (geolistrik) untuk
mencari urat-urat emas, metode kemagnetan bumi (geomagnet) untuk mencari
logam, hingga metode gaya berat (gravity) untuk keperluan eksplorasi pada
daerah luas (regional).

Seperti dijelaskan di awal, radar memancarkan semacam gelombang
elektromagnet yang kemudian ditangkap balik oleh sensor alat. Spektrum
frekuensi yang digunakan disesuaikan kebutuhan pengukurannya. Gelombang yang
dipancarkan adalah gelombang pendek (mikro) agar bisa terpenetrasi ke bawah
permukaan bumi. Respons data yang diterima diolah berdasarkan hukum pantulan
(refleksi) dan pembiasaan (gelombang).

Tentu saja banyak hal yang mempengaruhi penjalaran (propagasi) gelombang,
seperti efek doppler. Penyimpangan-penyimpangan terukur inilah yang justru
akan menjelaskan susunan lapisan di bawah permukaan yang akan dianalisis
dengan menggunakan komputer.

Secara keseluruhan, alat GPR berbobot tidak lebih dari 5 kg, sehingga sangat
leluasa bergerak. Alat ini bekerja dengan dua antena. Yang satu berfungsi
sebagai transmitter, yaitu bertugas memancarkan gelombang radar. Sedangkan
yang lain sebagai receiver, bertugas menerima gelombang radar yang
dipantulkan oleh bahan-bahan di sekelilingnya yang kemudian diolah grafiknya
ke dalam sebuah komputer.

Di sisi teknologi yang lain, kalau situs Majapahit saja bisa difoto satelit
kemudian dipindai dan dicitrakan secara digital untuk ditemukan
aliran-aliran sungai atau jalur bawah tanah di antaranya, mengapa hal yang
sama tidak dilakukan di situs Batutulis itu?

Kalau kemudian muncul alasan klasik dana yang menjadi kendala eksplorasi
GPR, sebetulnya ada metode geofisika lain yang sederhana untuk melacak
struktur bawah permukaan semacam ini, sehingga (bila memang benar ada)
keberadaan situs atau benda-benda bersejarah tidak hilang begitu saja.
Metode sederhana ini cukup dengan menggunakan metode seismik bias
(refraksi). Alatnya pun tak terlalu rumit. Hanya seperangkat prosesor
seismik, sensor penerima (geophone) dan sumber getaran yang biasanya berupa
palu. Jelas peralatan-peralatan ini mudah diperoleh. Metode sederhana ini
pernah digunakan tim geofisika FMIPA UGM untuk mencari candi-candi yang
diduga terpendam di seputaran Candi Prambanan dan terbukti cukup efektif.

Karena itu, sangat disayangkan bila di zaman modern ini pencarian artefak
atau situs semacam tidak dilakukan eksplorasi lebih mendalam yang melibatkan
pihak-pihak kompeten dan teknologi terkait yang dimungkinkan kontribusinya.
Pihak-pihak yang berkompeten pun seharusnya juga sudah langsung memberikan
wacana yang ilmiah sebelum telanjur ada yang terjun menuju lokasi atau malah
berkonsultasi dengan pihak-pihak yang kurang kredibel dan bisa menyesatkan.
KRMT Roy Suryo, ahli teknologi multimedia.