[Nasional-a] [Nasional] apa yg tersisa

nasional-a@polarhome.com nasional-a@polarhome.com
Wed Nov 13 21:36:03 2002


http://mail2.factsoft.de/pipermail/national/2002-November/010405.html

Dari Tragedi Legian, Bali

Apa yang Tersisa dari Indonesia ?

Benny Susetyo 


Benny Susetyo 

DUNIA hari-hari terakhir ini berduka menyaksikan wajah kekerasan semakin 
kental di bumi Indonesia. Tragedi Legian Bali semakin memperkuat asumsi 
bahwa kekerasan menjadi satu-satunya jalan untuk memuluskan             
"kepentingan-kepentingan". Nyawa manusia seolah-olah tidak artinya lagi.
Kedamaian telah sirna. Kita menjadi gagap dan galau menyaksikan 
peristiwa yang luar biasa. Teror! Begitu kita berteriak lantang. Dan,
maaf! Demikian pula kita berteriak lebih lantang.

Semua pejabat publik, aparat keamanan dan para politisi lain tersentak, 
seolah tak percaya apa yang terjadi. Bali yang semula dikenal sebagai 
kawasan aman dan damai, dan bahkan dipercaya sebagai standar 
internasional atas kedamaian itu, mendadak luluh lantak. Konon seorang 
turis pernah mengaku bahwa ia tak kenal Indonesia, tetapi kenal Bali - 
daerah wisata damai tanpa kekerasan. Nyatanya pengakuan seorang turis 
itu terkoreksi tajam, ketika suatu malam di jantung Bali terjadi kiamat. 
Pertanyaannya kini: apa yang tersisa dari Indonesia kita? Tampaknya 
jawaban pasti sudah kita temukan, Indonesia tak menyisakan apa-apa lagi 
buat kita!

Di luar itu semua, kita menghadapi kenyataan sosial bahwa kebinasaan 
manusia sudah tak lagi menjadi pilu kita. Sedikit demi sedikit manusia 
Indonesia sudah kehilangan rasa sedih. Mata manusia Indonesia sudah 
kehilangan airnya untuk diteteskan. Tangisan korban seolah-olah tak 
membuat pemegang otoritas bertindak untuk mengatasinya. Di tengah- 
tengah derita kemanusiaan yang sangat mendalam, perdebatan masih tak 
kunjung berakhir.

Memang, sejuta maaf sudah dilayangkan, namun publik tidak membutuhkan 
sekadar kata 'maaf' tanpa makna. Publik membutuhkan ketegasan pemerintah 
dan aparat keamanan untuk menghentikan segala potensi kekerasan, tidak 
saja di Bali tetapi juga di seluruh dunia ini.

Kita tak menyadari bahwa kekerasan yang selama ini terjadi telah 
membunuh jutaan orang. Jutaan lainnya menjadi pengungsi di negeri 
sendiri dengan derita dan dendam yang menyelimut. Sudah terlalu banyak 
korban berjatuhan pada anak negeri ini. Maka, sejak kapan kita menjadi 
bangsa yang membiarkan kekerasan menjadi bagian hidup ini? Benarkah 
sejak Ken Arok memperdayai Tunggul Ametung di Singosari berabad-abad 
lalu?


Payung Hukum

Duka tidak hanya di Bali yang dialami oleh hampir 200 orang meninggal 
dan 400 lebih lainnya luka berat dan ringan. Duka juga menyelimuti wajah 
Indonesia ketika meratapi pertanyaan apa yang tersisa dari Indonesia. 
Janganlah dikatakan bahwa ini merupakan tragedi kemanusiaan terbesar di 
Indonesia, sebab bisa-bisa nanti lahir tragedi yang lebih besar lagi 
manakala respons pemerintah tidak cerdas terhadap setiap pelaku teror. 
Namun untuk para korban Tragedi Legian Bali, kita tidak saja cukup 
berkabung meratapi tragedi itu, tetapi yang lebih penting adalah agar 
aparat keamanan mampu menghentikan pola kekerasan dengan menggunakan 
bom, senjata tajam, serta preman.

Jalan satu-satunya adalah menyetop jaringan kekerasan itu dan menindak 
semuanya di atas payung hukum. Pemegang otoritas hendaknya tidak 
ragu-ragu lagi menjalankan tugas dan berani bertindak atas nama 
kepentingan umum. Dibutuhkan ketegasan dan keberanian aparat keamanan 
seperti dikatakan Gur Dur. Sudah saatnya mereka yang merusak kepentingan 
umum ditindak atas nama hukum.

Hukum tegas dan adil itulah yang mampu memulihkan kembali citra 
Indonesia sebagai bangsa yang beradab. Namun jika sebaliknya yang 
terjadi, hukum dibuat permainan oleh segelintir elite penguasa, maka 
lagi-lagi pertanyaan kita adalah apa yang masih tersisa dari Indonesia 
kita?


Merosot

Semua orang pada 13 Oktober 2002 berteriak "teror". Dan memang benar itu 
perilaku teroris. Siapa pun pelakunya, mereka layak disebut teroris: 
bukan manusia yang berlaku manusiawi melainkan manusia yang 
berkepribadian hewani.

Dr Hafid Abbas (2002:3) menyatakan bahwa terorisme adalah pemakaian 
kekuatan atau kekerasan tidak sah melawan orang atau properti untuk 
mengintimidasi atau menekan suatu pemerintahan, masyarakat sipil, atau 
bagian-bagiannya, untuk memaksakan tujuan sosial dan politik. Maka 
senyata-nyatanya kita bisa menyebut tragedi Legian Bali sebagai bentuk 
terorisme, yang di dalamnya tersimpan tujuan-tujuan sosial politik, 
jangka pendek dan panjang, mengintimidasi warga asing, menekan 
pemerintahan dan seterusnya.

Di sisi lain, akibat perilaku teror itu kita menyaksikan kegalauan 
peradaban Indonesia kita yang semakin hari semakin merosot nilai 
kemanusiaannya. Otoritas pemerintah yang seharusnya berwibawa hancur dan 
akibatnya akan membawa bangsa ini seolah-olah tidak memiliki kemudi 
lagi.


Maka, ketika otoritas kekuasaan tak mampu lagi mengatasi persoalan itu, 
yang terjadi adalah bahwa bangsa ini akan segera oleng dan masuk ke 
dalam jurang kehancuran. Apa yang terjadi? Sudah lama bangsa ini tak 
mampu lagi mengatasi persoalan dirinya sendiri dan hanya dijadikan 
permainan pihak lain.

Harus jujur kita akui itu semua adalah salah kita bersama karena 
ketidakberanian dan ketidaktegasan untuk bertindak atas nama hukum. Kant 
dalam konsep etika kewajiban sejak lampau sudah menyatakan, baik harus 
dilakukan dan yang buruk harus ditinggalkan. Seharusnya dengan rumusan 
itu mereka memiliki otoritas, yang tidak lagi menjadi sosok penakut 
dalam bertindak tegas kepada siapa pun yang melanggar nilai-nilai 
kemanusiaan.

Lingkaran kekerasan harus diputus! Kalau tidak, cepat atau lambat akan 
menghasilan kekerasan baru (ingat siklus kekerasan!). Kekerasan akan 
melahirkan anak dan cucunya, dan penghentiannya hanya bisa dilakukan 
dengan mengembalikan otoritas kekuasaan kepada hakikatnya. Tujuan 
kekuasaan yang utama adalah untuk memberikan pelayanan yang aman dan 
damai kepada semua masyarakat. Sudah saatnya aparat keamanan berani 
mengambil risiko dalam penegakan kembali otoritasnya untuk menegakkan 
displin kehidupan. Sebab sudah terlalu lama otoritas kekuasaan 
kehilangan kewibawaan untuk menindak para pengacau. Maka, tampak ironis 
bila aparat sangat tegas terhadap mahasiswa dalam aksi demo, namun 
sangat "baik hati" pada para pengacau yang jelas-jelas melanggar nilai 
kemanusiaan.

Ingatlah bahwa bila hal itu terjadi terus-menerus akibatnya begitu 
fatal, yakni rusaknya sektor usaha. Sektor usaha yang lumpuh pada 
gilirannya melenyapkan harapan pulihnya ekonomi. Bila hal itu terjadi, 
efek jangka panjang akan meningkat jumlah pengangguran. Jumlah 
pengangguran yang besar akan mengancam stabilitas keamanan, politik, 
budaya, pendidikan.

Maka, efek domino akan terjadi bila pemerintah dan aparatnya tak mampu 
lagi mengatasinya. Kembali mengemuka pertanyaan, apa yang masih tersisa 
dari Indonesia kita?


Audit

Semua orang beriman akan mendukung usaha-usaha menciptakan budaya damai 
dengan melawan tindakan kekerasan. Apa pun bentuknya, kekerasan tak bisa 
lagi dibiarkan terus-menerus. Untuk menyetop kekerasan dibutuhkan sikap 
proaktif melalui gerakan cinta damai.

Damai itu indah bila masing-masing tidak egois dan menang sendiri. Sudah 
saatnya, misalnya, perbedaan di antara masing-masing angkatan bersenjata 
dikubur dan kalau perlu dilupakan.

Sudah saatnya mereka bergandengan tangan untuk memerangi kekerasan 
dengan menggunakan cara beradab, bertindak tegas terhadap siapa pun yang 
melanggar nilai-nilai kemanusiaan.

Dalam kasus Legian Bali, seperti diutarakan Kontras, sudah saatnya 
dilakukan tindakan tegas -termasuk audit- terhadap perusahaan yang 
terlibat dalam penyalahgunaan pemberian izin produksi atas produksi 
bahan peledak. Semua perusahaan tersebut tercatat jelas di kepolisian, 
bahkan mereka senantiasa berhubungan sejak awal perizinan, pengawalan 
hingga pendistribusian. Bila kepolisian dan militer ternyata tidak mampu 
mengontrol peredaran bahan peledak dan terjadi teror peledakan di 
mana-mana, tentu akan mengundang berbagai kecurigaan.

Dan akhirnya, apa yang tersisa dari Indonesia kita? Jawaban atas 
pertanyaan ini kembali lagi pada pemerintah dam aparat kemananan, 
masihkah mereka akan memberikan jawaban yang memuaskan atau tidak.


Penulis adalah budayawan dan rohaniwan, tinggal di Malang.

-------------------------------------------------------------
Info & Arsip Milis Nasional: http://www.munindo.brd.de/milis/
Nasional Subscribers: http://mail2.factsoft.de/mailman/roster/national
Netetiket: http://www.munindo.brd.de/milis/netetiket.html
Nasional-m: http://www.polarhome.com/pipermail/nasional-m/
Nasional-a:  http://www.polarhome.com/pipermail/nasional-a/
Nasional-e:  http://www.polarhome.com/pipermail/nasional-e/
------------------Mailing List Nasional------------------