[Nasional-A] PEMANDANGAN UMUM FRAKSI PARTAI DEMOKRASI INDONESIA PERJUANGAN 1/2

munindo nasional-a@polarhome.com
Fri Aug 2 23:00:02 2002


PEMANDANGAN UMUM FRAKSI PARTAI DEMOKRASI INDONESIA PERJUANGAN
PADA SIDANG TAHUNAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA TAHUN
2002

Dibacakan oleh
A. Teras Narang, SH.
Nomor Anggota : A - 180

Yth. Saudara Presiden RI dan Wakil Presiden RI,
Yth. Saudara Ketua dan segenap jajaran pimpinan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Republik Indonesia, 
Yth. Saudara-saudara Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia,
Yth. Para Duta Besar Negara Sahabat, serta Saudara-saudara sebangsa dan
setanah air di mana pun berada,

Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Salam sejahtera untuk kita semua.
Merdeka!

Sebagai umat beragama marilah terlebih dahulu kita memanjatkan puji
syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmattNya, kita semua masih
dianugerahi kesehatan dan keselamatan, sehingga kita semua bisa hadir di
sini untuk melanjutkan tugas-tugas konstitusional kita sebagai anggota
Majelis Permusyawaratan Rakyat dari Republik Indonesia yang kita cintai
ini.

Setiap kali kita bertemu dalam Sidang Majelis di ruangan yang mulia ini,
ada satu pesan Sejarah yang tidak mungkin hilang dari ingatan kolektif kita
sebagai bangsa yang merdeka, bersatu dan berdaulat, yaitu sudah sampai di
manakah kita berjalan dalam upaya mewujudkan cita-cita kemerdekaan
kebangsaan kita?

Sidang Tahunan kali ini adalah sebuah momentum yang sangat penting bagi
Majelis karena, sebagaimana diamanatkan oleh Ketetapan MPR No.IX/MPR/2000
juncto Ketetapan MPR No. XI/MPR/2001, pada Sidang Tahunan ini Majelis harus
menyelesaikan tugasnya untuk membahas dan mensahkan perubahan UUD 1945 
yang rancangan perubahannya telah disiapkan oleh Badan Pekerja MPR.
Momentum tidak dapat dilepaskan dari tuntutan reformasi yang tindak
lanjutnya telah diawali oleh MPR sejak tahun 1999 dalam bentuk Perubahan
Pertama UUD 1945.

Bagi fraksi PDI Perjuangan, reformasi tidak dapat diartikan lain kecuali
untuk merealisasikan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945 yang intinya 
adalah amanat penderitaan rakyat. Berangkat dari titik tolak itu, fraksi
kami melihat bahwa di masa yang lalu praktek konstitusi terjadi banyak
distorsi yang telah semakin menjauhkan kita dari amanat penderitaan rakyat
itu, yang akibatnya masih kita rasakan hingga saat ini dan tidak mudah kita
atasi.

Dewasa ini, dirasakan perlu adanya perubahan terhadap UUD 1945, maka tujuan
utamanya tidak lain adalah untuk lebih menjamin tercapainya cita-cita
Proklamasi.

Uraian di atas menunjukkan betapa para founding fathers kita yang secara
bijak dan arif telah merumuskan cita-cita Proklamasi itu dalam Pembukaan 
UUD 1945.

Lebih daripada itu di dalam Pembukaan UUD 1945 dirumuskan pula kekuatan
pendorong yang menjadi motivasi bagi Kemerdekaaan Kebangsaan Indonesia 
itu. Atas dasar pertimbangan itulah Fraksi PDI Perjuangan selama ini cukup 
berhati-hati dalam menyikapi tuntutan akan perlunya perubahan terhadap UUD
1945 tersebut. Sikap hati-hati itu semata-mata untuk menjamin agar
perubahan tersebut tidak mengarah pada pengingkaran cita-cita Proklamasi.
Pemikiran konseptual yang menjadi landasan PDI Perjuangan dalam mengambil
sikap terhadap agenda perubahan UUD 1945 dimulai dari pemikiran bahwa di
dalam UUD 1945 terkandung unsur-unsur :

(1) Ideologi konstitusi dan (2) Instrumen untuk menegakkan ideologi
konstitusi tersebut. Ideologi konstitusi yang terkandung dalam UUD 1945
antara lain:
(1) Dasar negara Pancasila, 
(2) Negara Indonesia adalah negara kesatuan, 
(3) Kedaulatan adalah di tangan rakyat, 
(4) Negara Indonesia adalah negara hukum, 
(5) Negara menjamin dan menghormati hak-hak asasi manusia, dan 
(6) Negara menciptakan kesejahteraan sosial bagi rakyatnya.

Terhadap substansi ideologi konstitusi UUD 1945, PDI Perjuangan mempunyai
sikap yang jelas dan tegas untuk tetap mempertahankannya secara konsekuen,
dan secara tegas menolak setiap upaya yang hendak menggantinya dengan
ideologi yang lain. Karena ideologi konstitusi yang terkandung dalam UUD
1945 adalah sudah bersifat final. Bagi fraksi kami, perubahan terhadap UUD
1945 justru harus meneguhkan ideologi tersebut. Sementara itu, terhadap
unsur-unsur yang terdapat dalam  UUD 1945 yang bersifat instrumental, yaitu
yang berkenaan dengan kelembagaan-kelembagaan negara, fraksi kami
berpendapat dapat dilakukan perubahan terhadapnya, dengan tolok ukur yang
jelas yaitu bahwa  perubahan tersebut justru harus diarahkan agar ideologi
konstitusi dapat diteguhkan, yang  dengan demikian berarti pula cita-cita
Kebangsaan Proklamasi 17 Agustus 1945  tetap menjadi landasan perjuangan
bangsa. Demi tetap mempertahankan Pancasila sebagai ideologi konstitusi,
yaitu sebagai dasar negara, maka di dalam  UUD 1945 perlu ditegaskan bahwa
Pembukaan tidak dapat dijadikan objek perubahan. 

Karena itu, dalam rumusan kaidah tentang perubahan undang-undang dasar
perlu ditegaskan bahwa perubahan hanya dapat dilakukan terhadap ketentuan
yang termuat dalam pasal-pasal UUD 1945. Jadi, tidak termasuk Pembukaannya.
Dasar pemikiran yang sama melandasi pula sikap PDI Perjuangan untuk tetap
mempertahankan bunyi naskah asli dari Pasal 29 UUD 1945.20

Sidang Majelis Yang Terhormat, serta Saudara-saudara sebangsa dan setanah
air......

Khusus tentang Pasal 29 ini perkenankanlah kami memberikan catatan penting,
karena hal ini berkait dengan upaya dan proses pembentukan identitas
kebangsaan kita yang dibangun di atas dasar keanekaragaman. Dalam upaya
mewujudkan cita-cita untuk membentuk satu bangsa dari realitas sosiologis
yang  begitumajemuk, kepada kita telah diwariskan kearifan jiwa dan
semangat persatuan yang begitu tulus oleh para pendiri bangsa ini, ketika
beliau-beliau itu  hendak merumuskan gagasan tentang hubungan negara dengan
agama, yang hasilnya  kemudian kita temukan dalam rumusan Pasal 29
undang-undang dasar kita. Dalam soal  ini, fraksi kami berpendirian bahwa
Pasal 29 itu adalah salah satu pilar utama dari bangunan kebangsaan kita,
yang oleh para pendiri bangsa ini telah dirumuskan dengan begitu
cermat, sehingga ia benar-benar terbukti dan teruji kekuatannya dalam
menjaga dan menyangga bangunan kebangsaan kita. Karena, dengan rumusan yang
ada dalam Pasal 29 itu, aspirasi seluruh komponen bangsa yang berbineka ini
terakomodasikan dengan baik. Oleh sebab itulah, kami sangat yakin akan
pendirian kami bahwa terhadap rumusan Pasal 29 itu tidak diperlukan
perubahan apa pun, baik substantif maupun tekstual. Pendirian dan keyakinan
kami itu juga mendapatkan pembuktian dan pembenarannya di masyarakat ketika
dilakukan sosialisasi maupun uji sahih terhadap rancangan perubahan
Undang-Undang Dasar ini di mana bagian terbesar aspirasi masyarakat
mengenai soal ini menghendaki agar  terhadap Pasal 29 tidak dilakukan
perubahan apa pun. Itulah sebabnya, maka  melalui kesempatan yang baik dan
dari ruang sidang Majelis yang terhormat ini kami menghimbau seluruh
komponen bangsa, khususnya segenap anggota Majelis, untuk merenungkan
masalah ini sedalam-dalamnya, sehingga benar-benar hikmat kebijaksanaanlah
yang memimpin nurani dan rasionalitas kita dalam mengambil keputusan
mengenai soal  ini, yaitu keputusan untuk tetap mempertahankan rumusan
Pasal 29 itu sebagaimana adanya.

Sidang Majelis Yang Terhormat, ....

Tadi kami menyebutkan bahwa salah satu elemen yang termasuk dalam kategori
ideologi konstitusi adalah penegasan bahwa Indonesia adalah negara hukum.
Negara hukum yang didambakan oleh seluruh rakyat Indonesia masih sangat
jauh dari harapan. Maka, untuk memperkokoh ideologi konstitusi tentang
negara hukum inilah fraksi PDI Perjuangan dalam sidang-sidang Panitia Ad
Hoc I Badan Pekerja MPR telah mengusulkan agar dalam perubahan UUD 1945
dimasukkan lembaga Baru yaitu Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial. Kami
bersyukur dan sekaligus berterima kasih bahwa usulan tersebut telah dapat
disetujui oleh fraksi-fraksi lain dan kini sudah menjadi substansi penting
Perubahan Ketiga UUD 1945.

Dengan adanya Mahkamah Konstitusi maka bukan saja berarti terjaminnya
prinsip konstitusionalitas hukum (constitutionality of law) yang merupakan
substansi penting dalam negara hukum, tetapi juga menjamin bahwa penegakan
hukum akan berjalan secara sistemik dan lebih kongkret.

Pelanggaran-pelanggaran terhadap hak-hak konstitusi yang dilakukan oleh
otoritas pembuat undang-undang, akan terbuka jalur hukum penyelesaiannya.
Suatu hal yang di masa lalu justru lebih banyak diselesaikan dengan
cara-cara  non yuridisl. Krisis kepercayaan terhadap lembaga penegak hukum
kita yang tertinggi, yaitu Mahkamah Agung, secara kelembagaan akan dapat
diperbaiki dengan adanya Komisi Yudisial. Dari kehadiran Mahkamah 
Konstitusi dan Komisi Yudisial inilah tercermin kerangka pikir fraksi PDI
Perjuangan dalam melakukan perubahan terhadap UUD 1945, yaitu tetap
mempertahankan ideologi konstitusi, dalam hal ini negara hukum, dan secara
instrumental melakukan perubahan, yaitu dengan membentuk lembaga baru untuk
merealisasikan  ideologikonstitusi tersebut.

Sementara itu, ideologi konstitusi tentang negara kesatuan diperkuat 
dengan tetap mengkaidahkan dalam perubahan UUD 1945, bahwa bentuk negara
adalah tetap, yaitu negara kesatuan yang berbentuk Republik. Ketentuan pada
naskah asli UUD 1945, menurut hemat kami, secara normatif kurang kuat dalam
memberikan jaminan terhadap kelangsungan bentuk negara kesatuan dan
republik, karena tidak bisa menghindar dari kewenangan MPR untuk melakukan
perubahan terhadap bentuk negara kesatuan dan republik dengan menggunakan
mekanisme  perubahan UUD 1945 sebagaimana yang diatur dalam Pasal 37. Oleh
karena itulah, untuk menjaga ideologi konstitusi tentang bentuk negara
kesatuan dan republik itu, fraksi PDI Perjuangan mengusulkan agar MPR tidak
diberi kewenangan untuk mengubah kedua substansi fundamental itu.
Kewenangan untuk melakukan perubahan terhadap bentuk negara adalah
sepenuhnya merupakan hak rakyat sebagai pemegang kedaulatan. Jadi, biarlah
rakyat sendiri yang menentukan kehendaknya mengenai soal itu, dan itu pun
dengan memenuhi persyaratan yang cukup berat. Karena  dalam Rancangan
Perubahan Pasal 37 justru tergambar bahwa akan sangat sulit untuk melakukan
perubahan bentuk negara dibandingkan dengan sebelumnya. Sebab, jika
menggunakan Pasal 37 naskah asli, tidak ada halangan normatif apa pun untuk
mengubah bentuk negara kesatuan itu. Sedangkan, dalam Rancangan  Perubahan
Pasal 37, kewenangan untuk menentukan bentuk negara adalah di tangan rakyat
sesuai dengan penegasan kita bahwa kedaulatan atau kekuasaan tertinggi itu
adalah di tangan rakyat, sehingga kewenangan tersebut harus ditarik dari
tangan MPR.20

Sidang Majelis Yang Mulia,20

Akan halnya elemen ideologi konstitusi tentang kedaulatan di tangan rakyat
atau asas demokrasi, dijabarkan dan dikuatkan dalam Perubahan UUD 1945,
antara lain, dengan melakukan demokratisasi pada lembaga perwakilan yaitu
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, yang keanggotaannya dipilih dalam Pemilihan Umum. Fraksi PDI
Perjuangan tidak berkeberatan jika untuk meningkatkan kualitas kehidupan
demokrasi Presiden dan Wakil Presiden yang dahulu dipilih oleh MPR, pada
ketentuan Perubahan UUD 1945 pemiilihannya dilakukan secara langsung oleh
rakyat dan secara berpasangan. Di samping untuk meningkatkan kualitas
kehidupan demokrasi, pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung
juga harus dipandang dalam konteks sistem pemerintahan presidensiil.

Dalam hubungan ini, penting dicatat bahwa salah satu kesepakatan penting
fraksi-fraksi yang ada di Majelis yang terhormat ini adalah kesepakatan
untuk mempertahankan, dalam pengertian menyempurnakan, pelaksanaan Sistem
Pemerintahan Presidensiil. Kita mengetahui bahwa salah satu ciri dari
sistem pemerintahan presidensiil ini adalah adanya masa jabatan eksekutif
yang bersifat pasti (fixed term). Dari manakah ciri ini diturunkan? Apa
rasionalitas yang  berada di belakangnya?

Praktik di negara-negara yang menganut sistem ini menjelaskan kepada  kita
bahwa munculnya ciri itu adalah karena presiden dipilih langsung oleh 
rakyat. Sehingga, pada dasarnya, dalam sistem presidensiil hanya rakyat
pulalah  yang berhak untuk  memberhentikannya. Oleh karena rakyat tidak
mungkin melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pemerintahan sehari-hari
secara langsung  dan efektif maka kepada sang presiden diberikan suatu
jangka waktu tertentu  untuk menunjukkan kemampuan dan komitmennya dalam
mengemban amanat rakyat yang  telah memilihnya itu. Bila ia dinilai
berhasil maka ia pasti akan dipilih  kembali oleh rakyatnya.

Sebaliknya, bila ia gagal maka sudah pasti pula rakyat tidak akan
memilihnya. Namun, oleh karena adanya kecenderungan umum bahwa jika 
seseorang memegang kekuasaan terlalu lama ia akan terdorong untuk
menyalahgunakan kekuasaan itu, lebih-lebih untuk jabatan presiden yang
dalam sistem presidensiil  kekuasaan demikian besar, maka terhadap masa
jabatan kekuasaan presiden itu pun  diberi pembatasan. Lazimnya, menurut
praktik, adalah paling banyak hanya untuk dua kali masa jabatan. Inilah
yang telah kita tegaskan dalam undang-undang  dasar kita.

Masih dalam kerangka pembicaraan tentang sistem presidensiil, ada 
sementara pihak yang mengatakan bahwa persyaratan yang telah kita putuskan 
mengenai kapan sepasang calon presiden dan wakil presiden dinyatakan
terpilih dan dilantik sebagai presiden dan wakil presiden itu terlalu
berat. Mungkin  benar bahwa persyaratan itu seolah-olah berat. Namun
baiklah pada kesempatan ini  kita jelaskan kembali argumentasi yang ada di
balik persyaratan itu.  Persyaratan perolehan suara lebih dari 50% itu erat
kaitannya efektivitas bekerjanya Roda pemerintahan. Kita paham bahwa tidak
peduli dalam sistem parlementer maupun presidensiil, dukungan parlemen akan
sangat menentukan berhasil-tidaknya realisasi program-program eksekutif.
Dengan perolehan jumlah suara  sebesar itu maka logikanya sebesar itu pula
jumlah dukungan suara parlemen (DPR) yang  dimiliki oleh pasangan presiden
dan wakil presiden itu. Artinya, untuk  program-program atau
kebijakan-kebijakan pemerintah yang mengharuskan adanya persetujuan atau
dukungan parlemen (DPR), pihak pemerintah tidak akan terhambat dalam
merealisasikannya, karena ia telah memiliki dukungan suara yang cukup di
parlemen (DPR). Hal ini kiranya  akan sulit terjadi jika persyaratan untuk
dapatnya sepasang calon presiden dan  wakil presiden dinyatakan sebagai
presiden dan wakil presiden terpilih hanya  ditentukan berdasarkan suara
terbanyak sederhana.

Ada pula yang mempertanyakan mengapa harus disertai persyaratan  persebaran
di setengah jumlah provinsi dengan perolehan suara minimum 20% di setiap
provinsi tadi. Dalam  hubungan ini penting kiranya dijelaskan bahwa soal
itu erat kaitannya dengan realitas bangsa ini. Kita menyadari bahwa bangsa
ini  begitu heterogen, baik dalam hal ras, etnik, agama, dan sebagainya,
serta kediamannya yang tersebar di ribuan pulau, yang terbanyak ada di
Pulau Jawa. Bangsa  yang heterogen seperti itulah yang akan dipimpin oleh
Presiden dan Wakil Presiden negeri ini. Oleh karena itu, dalam rangka
memperkuat ikatan persatuan kebangsaan, adalah sangat penting  untuk
mengakomodasikan semaksimal  mungkin aspirasi rakyat, khususnya untuk
rakyat di daerah-daerah luar Jawa.  Sehingga siapa pun nantinya pasangan
yang terpilih sebagai Presiden dan Wakil Presiden, mereka adalah pasangan
pemimpin yang relatif mencerminkan akomodasinya  akan realitas bangsa yang
heterogen itu, bukan semata-mata atas dasar suara terbanyak.

Uraian tadi dengan jelas menunjukkan bahwa persyaratan yang telah kita
tetapkan untuk mendapatkan pasangan calon presiden dan wakil presiden 
terpilih itu langsung berkaitan dengan upaya untuk memperkokoh persatuan
nasional,  upaya membangun rasa kebangsaan dan karakter bangsa (nation and
character building). Tentu kita sadar bahwa tidak selamanya kondisi ideal
yang  demikian itu bisa dicapai. Oleh karena itulah pentingnya kita
mengambil keputusan pada  sidang ini bahwa jika persyaratan sebagaimana
diuraikan tadi ternyata tidak Tercapai maka jalan keluarnya adalah dengan
mengembalikan kepada rakyat dua pasangan calon presiden dan wakil presiden
yang memperoleh suara terbanyak  pertama dan kedua dalam pemilihan umum.
Selanjutnya, pasangan yang memperoleh suara terbanyak dari rakyat pada
pemilihan putaran kedua itulah yang dinyatakan sebagai pasangan presiden
dan wakil presiden terpilih.

Yang penting untuk digarisbawahi adalah bahwa menurut fraksi PDI 
Perjuangan tidaklah bertentangan dengan ideologi konstitusi, dalam hal ini
ideologi kedaulatan rakyat, sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945
yang  telah dijelaskan tadi. Sebagai konsekuensi dari peningkatan kualitas
demokrasi  dan pengembalian kedaulatan kepada rakyat untuk memutuskan
substansi-substansi yang sangat fundamental, maka memang MPR tidak lagi
melaksanakan sepenuhnya kedaulatan rakyat. Perubahan (bukan penghapusan)
yang terjadi terhadap status MPR ini menyangkut aspek instrumental dan
bukan aspek ideologi dari konstitusi.

Karena justru dengan perubahan ini, sebagaimana sudah kami singgung di 
depan, ideologi kedaulatan rakyat diejawantahkan. Dengan perumusan Pasal 1
Ayat  2 seperti yang sudah disebutkan pada uraian sebelumnya, bukan
berarti  eksistensi MPR menjadi lenyap. MPR masih tetap ada dan
melaksanakan fungsi-fungsi konstitusional yang ditentukan oleh
undang-undang dasar. Ia menjalankan fungsi-fungsinya itu menurut dan
berdasarkan konstitusi. Memang,  perubahan pada status MPR ini kemudian
menyebabkan perubahan pada tatanan hubungan lembaga-lembaga negara dalam
sistem UUD 1945, yaitu bahwa hubungan antar lembaga negara tidak lagi
terstruktur secara hierarkhis melainkan tersusun secara fungsional, di mana
undang-undang dasar memberikan fungsi kepada tiap lembaga negara. Adanya 
kekhawatiran bahwa akan timbul ketegangan antar lembaga negara dalam
melaksanakan fungsi-fungsinya, secara sistemik UUD 1945 setelah perubahan
telah  memberikan jalan keluar, yaitu dibentuknya Mahkamah Konstitusi, yang
salah satu  kewenangannya adalah untuk memutuskan sengketa antar lembaga
negara yang kewenangannya diberikan oleh undang-undang dasar.

Sidang Majelis Yang Terhormat,20

Menyangkut elemen ideologi konstitusi tentang penghormatan terhadap hak
asasi manusia, hal ini sesungguhnya melekat pada ciri negara hukum (rule 
of law). Sebagai bangsa yang percaya kepada keniscayaan sejarah, maka kita
juga percaya bahwa jika hendak menjadi bangsa yang besar, kita harus mampu
menarik pelajaran dari sejarah. Praktik politik di masa yang lalu, nyaris
selalu  diwarnai oleh pelanggaran hak-hak asasi manusia, khususnya hak-hak
sipil dan  politik.

Maka, untuk kepastian masa depan, pencantuman ketentuan tentang hak-hak
asasi manusia dalam UUD 1945 adalah sebuah keharusan. Hal ini bukan saja 
sebagai konsekuensi logis dari penegasan bahwa Indonesia adalah negara
hukum,  akan tetapi jika kita memang  menginginkan kehidupan bernegara yang
di dalamnya ingin dibangun kondisi bahwa setiap orang akan merasa aman dan
tenteram sebagai bagian dari kesejahteraan spiritual, maka adalah sangat
paradoks jika tidak ada jaminan konstitusional bahwa hak-hak asasi mereka
terlindungi. 

Pelanggaran hak asasi manusia dapat bersifat horisontal maupun vertikal.
Terhadap pelanggaran yang bersifat horisontal, maka forum untuk
menyelesaikannya  adalah pengadilan hak asasi manusia. Namun, pelanggaran
hak asasi manusia  sangat potensial untuk terjadi secara vertikal, yaitu
bila dilakukan oleh pemegang fungsi-fungsi kenegaraan yang tertuang dalam
produk-produk hukumnya. 

Kehadiran Mahkamah Konstitusi dalam Perubahan UUD 1945 juga harus dilihat
dalam konteks  ini.Karena Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan untuk
menyatakan suatu undang-undang inkonstitusional atau bertentangan dengan
undang-undang dasar.

Selanjutnya, perkenankan kami menyampaikan kepada Sidang Majelis yang
terhormat ini, harapan kami agar kiranya kita senantiasa mempunyai 
kearifan untuk tidak menutup kemungkinan bagi penyelerasaan, perbaikan,
bahkan penyempurnaan kembali Perubahan UUD 1945, yang rancangan
perubahannya kita harapkan  dapat diselesaikan pada Sidang Tahunan Majelis
Tahun 2002 ini. Dengan demikian, kita dapat lebih memastikan bahwa
perubahan UUD 1945 senantiasa akan taat  asas pada nilai-nilai Proklamasi
17 Agustus 1945 dan penjabarannya dalam Pembukaan UUD 1945.

Sidang Majelis Yang Terhormat,20

Sebagai konsekuensi dari perubahan yang telah kita lakukan terhadap UUD
1945, sudah tentu akan membawa dampak, baik secara struktural maupun 
fungsional terhadap lembaga-lembaga negara yang ada. Oleh karenanya, sejak
saat  perubahan itu dinyatakan berlaku maka semua lembaga negara harus
menyesuaikan fungsi-fungsinya secara langsung maupun bertahap, sesuai
dengan aturan  yang ditentukan dalam ketentuan peralihan. Berangkat dari
pemikiran itu, maka  materi-materi Ketetapan MPR di luar substansi yang
menyangkut materi muatan undang-undang dasar, menurut fraksi PDI Perjuangan
tidak lagi memiliki status dan Kekuatan hukum seperti sebelum dilakukan
perubahan terhadap UUD 1945. Oleh karena itu, kalau pun ada materi-materi
tertentu yang dipandang penting di luar materi undang-undang dasar yang
hendak disampaikan sebagai masukan kepada pemerintah maka hal itu secara
hukum statusnya adalah sebatas rekomendasi. 

Sedangkan hal-hal yang secara substansial sesungguhnya merupakan materi
muatan undang-undang dasar maka hal itu haruslah ditempatkan pembahasannya 
secara integral dengan pembahasan materi rancangan perubahan undang-undang
dasar. Dengan  kerangka pemikiran tadi, maka menurut pandangan fraksi kami
rancangan keputusan  MPR tentang  penyelenggaraan Sidang Tahunan 2003,
tidak lagi relevan. 

Kalaupun dilakukan Sidang Tahunan 2003, tentang penyelenggaraan sidang MPR
ini Merupakan amanat dari pasal (1) Aturan Tambahan yang segera akan
disepakati dan disahkan. Sehubungan dengan Rancangan Ketetapan MPR-RI
tentang  rekomendasi Kebijakan Percepatan Pemulihan Ekonomi Nasional Fraksi
kami berpendapat muatan rekomendasi yang dimaksud sangat penting sebagai
upaya untuk pemulihan ekonomi nasional. Rasanya telah menjadi kesadaran
kita bersama dan kemudian memerlukan suatu komitmen yang lebih kuat dalam
rangka pemulihan ekonomi yang  dimaksud.

Pertumbuhan ekonomi yanag lebih tinggi, terciptanaya kesempatan kerja yang
lebih besar yang pada akhirnya meningkatkan kesejahteraan rakyat adalah
merupakan harapan bagi Fraksi PDI Perjuangan pada khususnya dan
kepentingan  seluruh rakyat pada umumnya, karena begitu pentingnya upaya
pemulihan ekonomi untuk peningkatan kesejahteraan rakyat melalui forum yang
terhormat ini fraksi kami menghimbau seluruh elite politik yang ada untuk
memberikan prioritas yang tertinggi dalam pemulihan ekonomi yang dimaksud
yang sangat ditunggu-tunggu hasilnya oleh rakyat. Rincian lebih lanjut
terhadap materi ini akan kami sampaikan dalam Pandangan Fraksi di awal
Sidang Komisi B. Mengenai Rancangan Ketetapan Pencabutan TAP VI / MPR /
1999 tentang Tatacara Pencalonan dan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden
Republik Indonesia kami siap untuk melakukan pembahasannya dalam komisi
yang ditunjuk. Dalam pembahasan Rancangan Ketetapan ini kami berangkat dari
asas hukum Lex posteriori derogat legi priori, yang menyatakan
undang-undang yang terbaru membatalkan secara otomatis undang-undang
terdahulu dan asas hukum lex superiori derogat lex inferiori, yang
enyatakan undang-undang yang lebih tinggi mengalahkan undang-undang yang
lebih rendah.

Sidang Majelis Yang Terhormat,

Selanjutnya, di bagian akhir pemandangan umum ini, fraksi kami ingin
menyampaikan  pandangan dan tanggapan atas laporan pelaksanaan
Ketetapan-ketetapan MPR yang telah disampaikan oleh Presiden dan pimpinan
lembaga-lembaga  negara lainnya. Secara umum, fraksi kami sangat menghargai
laporan-laporan tersebut, yang telah disampaikan secara lugas, transparan,
dan apa adanya.

Khusus mengenai laporan saudara Presiden, kami sangat menghargai  kebijakan
dan langkah-langkah nyata yang telah diambil pemerintah untuk 
menyelesaikan persoalan-persoalan kemasyarakatan yang terjadi di berbagai
daerah, khususnya daerah-daerah rawan konflik. Mengingat begitu besarnya 
akumulasi dan kompleksitas permasalahan di daerah-daerah tersebut, ditambah
dengan  beratnya beban yang ditanggung rakyat, sehingga pelaksanaan
kebijakan yang diambil pemerintah memerlukan koordinasi dan efektivitas
pelaksanaan yang lebih  tinggi.

Upaya-upaya yang telah dan akan diambil pemerintah di daerah-daerah konflik
yang berupa pemulihan keamanan, penegakan hukum, pemulihan kehidupan sosial
budaya dan ekonomi, tidak cukup hanya dengan komitmen pemerintah tetapi
yang terpenting adalah dukungan tulus dari seluruh komponen bangsa ini.

Untuk hal-hal mendasar yang berhubungan dengan penegakan hukum, kami 
sepakat dengan pernyataan Saudara Presiden yang mengemukakan bahwa
penegakan hukum adalah sebuah proses yang melibatkan bukan hanya 
institusi-institusi yang berada di bawah pemerintah, badan-badan peradilan,
dan kegiatan  yang melibatkan profesi kepengacaraan yang tunduk kepada
undang-undang yang mengaturnya. Karena memang persoalan penegakan hukum
bukan hanya persoalan yang menyangkut aspek legal an sich namun
sesungguhnya lebih banyak merupakan persoalan kultur yang telah terbentuk
dan mengakar sedemikian kuat sehingga menjadi problem patologi sosial yang
sangat kronis. Dan oleh karena itu maka penyelesaiannya tidak cukup hanya
dengan menyelesaikan instrumen  normatifnya, yaitu undang-undang, dan
kerangka atau struktur hukumnya, melainkan masalahnya  justru lebih banyak
terletak pada persoalan kultur itu. Maka pendekatan normatif semata
sangatlah tidak memadai untuk menyelesaikan persoalan itu, lebih-lebih jika
dituntut harus selesai dalam waktu singkat.

Sementara itu, kami sangat mendukung upaya pemerintah untuk memberikan
prioritas kepada upaya pemulihan ekonomi, namun demikian langkah-langkah 
yang telah diambil oleh pemerintah dalam konteks peningkatan kesejahteraan
rakyat belum cukup memenuhi harapan. Langkah-langkah yang telah dan akan
diambil oleh pemerintah ke arah sasaran peningkatan kesejateraan yang
dimaksud memerluka kebijakan ekonomi makro yang cermat, hati-hati, dan
efektif untuk mengurangi beban utang luar negeri, restrukturisasi
perusahaan yang berskala besar maupun menengah dan kecil. Kebijakan fiskal
yang ditempuh pemerintah untuk memperkecil beban subsidi dalam APBN,
khususnya pada harga BBM, tarif  listrik, dan telepon, yang meskipun untuk
jangka panjang memang diperlukan, hendaknya betul-betul dikaji secara
cermat dengan memperhatikan daya beli dan tingkat kemampuan masyarakat
untuk menanggung kenaikan beban dari kebijakan tersebut. 

Dalam hemat fraksi kami bahwa hasil nyata dari upaya pemulihan ekonomi
yang  dimaksud, dilihat dari perspektif kepentingan ekonomi rakyat, adalah
terciptanya kesempatan kerja yang lebih luas, stabilisasi harga yang
terjangkau yang pada akhirnya meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan
memberikan harapan masa depan yang lebih baik.

Dalam konteks peningkatan kesejahteraan masyarakat yang dimaksud, fraksi
PDI Perjuangan memberikan dukungan dan apresiasi yang tinggi terhadap
rencana pemerintah untuk menaikkan penghasilan para guru. Diharapkan,
kebijakan ini dapat disusul oleh kebijakan yang sama untuk mereka yang
bergerak di bidang pelayanan masyarakat, sudah tentu dengan memperhatikan
perkembangan kemampuan keuangan pemerintah. Satu hal yang dalam pengamatan
kami belum disinggung dalam laporan Saudara Presiden adalah pelaksanaan
Ketetapan MPR tentang Pembaharuan Hukum Agraria, di mana kita semua tahu
beberapa Rancangan undang-undang yang berkaitan dengan soal ini
sesungguhnya sudah dipersiapkan oleh pemerintah melalui Badan Pertanahan
Nasional (BPN). Namun kami  percaya bahwa pemerintah sungguh-sungguh
memperhatikan persoalan ini karena menyangkut kehidupan seluruh rakyat.


(bersambung ke bag. 2/2)