[Nusantara] Kaisar-kaisar Berselimut Asap

Gigih Nusantara gigihnusantaraid@yahoo.com
Tue Nov 19 08:48:54 2002


Kaisar-kaisar Berselimut Asap 

Indra J Piliang 

Kalau kita rajin mengingat atau merenungkan aktivitas
pejabat di masa reformasi ini, akan ditemukan
perubahan yang unik dan menarik. Coba bayangkan,
seorang gubernur lebih mudah ditemukan di hotel-hotel
di Jakarta, ketimbang di provinsinya. Begitu pula
sejumlah pimpinan atau ketua organisasi kebupatian,
kewalikotaan, ke-DPRD tingkat I-an, dan ke-DPRD
tingkat II-an yang sibuk melanglang buana ke daerah
lain, atau melobi pihak pemerintahan pusat di Jakarta.


Juga sudah menjadi berita rutin tentang begitu
getolnya kalangan eksekutif dan legislatif di daerah
melakukan kunjungan kerja, rapat dinas, atau studi
perbandingan ke daerah lain dan luar negeri. Dengan
alasan menarik investor atau investasi, berbagai forum
seminar digelar di berbagai kota, sekaligus ajang
pameran, baik di Indonesia atau dunia. Setiap
menjelang penentuan Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana
Alokasi Khusus (DAK) di Jakarta, forum lobi intensif
lagi-lagi digelar di Jakarta. 

Apalagi kalau memperjuangkan pemekaran wilayah,
semakin penuhlah halaman Departemen Dalam Negeri dan
Senayan oleh kaum demonstran. Kejadian-kejadian ini
hanya berlangsung di Jakarta. Datangi juga daerah,
terutama daerah-daerah kaya. Jalanan dan kantor-kantor
instansi pemerintahan dan parlemen lokal dipenuhi
mobil mewah. 

Di satu daerah, terdapat semacam "hari krida" untuk
antre dan bertemu dengan kepala daerah yang murah hati
yang siap memamerkan rencana-rencananya membangun
negeri sambil menyodorkan penganan. Berbagai
perusahaan di daerah tumbuh, baik untuk berkompetisi
dengan perusahaan nasional dan trans nasional, atau
mengantisipasi lepasnya aset-aset nasional ke tangan
daerah. Bahkan, tak jarang kita temukan
pegawai-pegawai berkostum baru, berikut kantor-kantor
bekas gelanggang olahraga yang disulap menjadi kantor
dinas teknis, gedung DPRD atau kantor mendadak kepala
daerah di wilayah pemekaran, sembari kantor-kantor
baru sedang dibangun. 

Sementara, perhatikan pasar-pasar, sarana fasilitas
umum dan fasilitas sosial, sampai rumah-rumah
penduduk, sebagian besar semrawut. Hutan-hutan yang
gundul dan terbakar, sungai yang airnya makin kuning
dan menghitam, jalanan yang berlubang, sampai
taksi-taksi yang seenaknya saja mematok harga ketika
ada "pendatang" yang belum kenal daerah itu.
Model-model bangunan di Jakarta, baik mall, lift,
taman remaja, atau amusement center-nya, dengan cepat
menyebar ke berbagai kota. Ketika desentralisasi
menawarkan keberagaman, dengan stok pimpinan
pemerintahan yang berpola pikir sama, yang terjadi
hanyalah penyeragaman atau replikasi apa yang
dilakukan Jakarta. 

Kekhasan, nuansa kedaerahan, atau unsur budaya lokal,
menjadi sesuatu yang jarang untuk dinikmati. Negeri
Kaya Asap Datanglah ke satu kota di Kalimantan,
sebutlah Kota Samarinda, Kalimantan Timur. Kalau anda
terbiasa melihat bintang-bintang di langit, matahari
pagi, atau cerahnya puncak gunung, warga Kota
Samarinda sudah berbulan-bulan tak menikmatinya.
Kerajaan asap sedang berkuasa. 

Kemarau panjang dan kebakaran hutan, menyumbangkan
devisa asap yang dengan bantuan angin dengan gampang
diekspor ke negara-negara tetangga atau daerah lain.
Air Sungai Mahakam tetap berwarna kuning, dengan
kayu-kayu balok dan kapal-kapal yang bersiliweran.
Jalan-jalan yang tertata, gedung baru yang tumbuh,
kubah-kubah kaca istana-istana raksasa, sampai
berbagai pertunjukan artis-artis ibukota, ikut menjadi
dayang-dayang kemelimpahan dana. Sungguh, kekhasan
sebuah kota di tengah-tengah belantara hutan tropika,
dengan bau dedaunan segar dan bunga-bunga yang sedang
mekar, serta kicauan burung-burung dan
binatang-binatang hutan yang saling bersahutan, hilang
entah ke mana. Sepanjang mata memandang, hanya asap,
dan bukit-bukit yang gundul. 

Dalam benak saya, yang terbayang adalah lipatan
berjuta-juta tahun. Padang pasir di Timur Tengah yang
kini mulai menghijau nanti akan menjadi hutan tropika,
dan kawasan khatulistiwa akan menjadi gurun pasir.
Anda bisa berharap kepada siapa? Sebuah genggaman
kekuasaan yang didapatkan lewat euforia, dan bukan
perjuangan berdasarkan kerja nyata dan berpikir keras,
apalagi namanya kalau bukan fatamorgana? Kosong,
hampa, tapi membius. 

Saya sedang tidak berpikir hanya soal satu kota,
Samarinda, melainkan kota-kota lain dalam bentangan
Nusantara. Apa yang bisa anda saksikan, dari atas
udara, selain kegersangan? Telusurilah sepanjang
pesisir pantai utara Jawa, mana daerah yang ada hutan
bakaunya? Lalu, mulailah masuk ke sebuah muara sungai,
ikuti arusnya ke hulu, di mana akan berakhir, kalau
bukan pada sebuah kegersangan, air yang menghitam
penuh limbah. Paling-paling, kalaupun ada yang namanya
kebeningan tetesan, Anda akan mentok di puncak sebuah
gunung, sekalipun tidak semua gunung mengalirkan
sungai. 

"Kalian ingin mencintai Indonesia? Keberagaman
kebudayaannya? Keramahan penduduknya? Kekhasan
adat-istiadatnya? Rajin-rajinlah bertualang. Maka,
anda akan menjadi seorang nasionalis," demikian
kira-kira, kata seorang founding fathers. Tapi,
benarkah masih ada keberbedaan itu, kemajemukan itu,
sekarang? 

Globalisasi telah menjadi sebuah produk kebudayaan
massal, dengan kemasan tunggal, entah bernama merek
terkenal, pianis piawai, musisi energik, atau bintang
film sampai bintang makan hot dog. Globalisasi
meluluhlantakkan kekhasan, sekalipun ada adagium
tentang global paradox: Globalisme sekaligus
mengandung dan beranak lokalisme. 

Tetapi, berbagai musium rekor, catatan waktu tercepat,
tinggi tertinggi, lebar terlebar, lalu The Guinness
Book of World Records, telah memasalkan ukuran-ukuran
capaian sebuah prestasi. World Cup, Asia Cup atau
Indonesia Cup, telah memakan apa yang dulu dikenal
sebagai dunia eksotis, perahu-perahu berukir,
tarian-tarian naga, upacara-upacara sakral, sampai
mainan anak-anak yang dibuat sendiri oleh anak-anak. 

Sebaliknya, semakin dekat dunia kapitalisme ke dalam
ruangan kita, semakin terbawa unsur-unsur eksotik yang
mungkin sebagian besar sudah tak ada: cowboys, perigi,
kuda liar, serigala, gadis Indian, atau segala cerita
yang hanya ada di buku-buku sejarah. Sementara,
sesuatu yang eksotik yang tampaknya masih tersisa di
Indonesia, dengan mudah dirampas oleh arus modal.
Malaysia malah menjadi The True Asia dalam iklan di
CNN. Sedang batik adalah contohnya. 

Dulu ia bisa dibuat oleh siapa saja, kini diharuskan
melihat dulu seluruh motif yang telah punya hak paten,
mungkin di sebuah butik di Paris, atau di Tokyo.
Kaisar, Bukan Hanya Raja Juga, datanglah ke
gedung-gedung pejabat pemerintahan, tak perlu daerah
itu kaya atau miskin. Hamparan permadani terpasang
rapi, lengkap dengan ornamen terbaru produk import,
juga berbagai bejana, dan model bangunan. Lalu
kunjungi pameran-pameran properti, atau lokasi-lokasi
permukiman, banyak sekali patung ala nefertiti,
pilar-pilar Yunani, juga nama-nama jalan kota-kota
Amerika dan Eropa. 

Orang Indonesia kadang merasa anti Amerika, tetapi
tinggal di rumah-rumah yang menjanjikan mimpi Amerika.
Nyalakanlah layar televisi, apa yang anda lihat, mulai
dari iklan-iklan yang hampir sama bunyinya: "Nomor
Satu di Amerika!", atau musik, dansa, dan hampir
semuanya. Di daerah, Anda akan bertemu dengan banyak
kaisar. Orang sering menyebutnya sebagai raja-raja
kecil. 

Menurut saya, raja di atas raja, benar-benar kaisar.
Ada banyak bupati yang lebih berkuasa dari
gubernurnya. Ada banyak Peraturan Daerah (Perda) yang
lebih ditaati ketimbang undang-undang. Ada seorang
bupati yang memandang sebelah mata kursi lowong
gubernur, dan lebih bercita-cita menjadi seorang
menteri. Mungkin, para gubernur sekarang lebih
bercita-cita menjadi seorang bupati, ketimbang yang
lain. Kita percaya, ada banyak teori yang bisa
dicangkokkan ke dalam keadaan Indonesia kini. 

ntah itu belajar dari pengalaman Eropa, Amerika,
Afrika atau Asia. Katakanlah transisi menuju
demokrasi, supremasi militer ke supremasi sipil, state
centris ke society centris, traditional values ke
global values, atau apapunlah. Tapi, tanpa kekhasan,
bukankah kita hanya akan bunuh diri pelan-pelan,
karena mencabut seluruh akar budaya dan alam pikiran
yang pernah hidup dalam diri kita? Pembentukan
kekaisaran di jazirah Indonesia adalah bentuk dari
bunuh diri itu. 

Sebuah kekaisaran akan menyedot banyak sekali gizi
masyarakat, sehingga masyarakat kekurangan gizi.
Kekayaan alam akan terkuras. Seorang Kaisar Nero tak
segan-segan membakar kotanya, begitu juga Julius
Caesar tak canggung meninggalkan ibukotanya demi
seorang Cleopatra yang hidungnya paling bangir itu.
Alexander The Great, berapa bangunan kota ia rubuhkan?
Si Kaisar padang pasir Mongolia, Gengis Khan, telah
menaklukkan lebih dari 40 suku/kerajaan. Pada
akhirnya, mereka pun memilih jalan pulang, kembali ke
asal, back to motherland. 

Sebelum terlambat, Indonesia bisa kembali mengubah
arah keseluruhan visinya. Kembalilah ke asal. Tak
layak seorang anggota DPR/D sampai seorang presiden,
jauh lebih lama mengagumi negeri-negeri asing,
ketimbang mengerjakan sesuatu di Indonesia, katakanlah
menganyam seutas pandan menjadi tikar, menyapu sebilah
kuas menjadi lukisan, atau menanam sebuah pohon
menjadi hutan. Sungguh, kita kehilangan visi
kecil-kecil itu. Kita ikut perang melawan terorisme,
tetapi melupakan korban berbagai tindakan teror di
jalanan yang menciutkan nyali anak-anak untuk sekolah.


Kita ikut perjanjian internasional dan multi-nasional
untuk perdamaian, tetapi membiarkan para laskar atau
satgas partai menggelar ribuan spanduk dengan isi
"Kami siap mati untuk daerah anu atau si anu!".
Indonesia bagaikan kapal besar dan kecil. Kalau
terlalu sering dan lama berlayar, seekor tuna besar
pun akan busuk, karena terlalu lama disimpan. Ketika
bangsa ini kehilangan asa, menuju binasa, tugas
pemerintahan hanya sederhana: mulailah menjulurkan
tangan memberi sentuhan, sembari melemparkan tali-tali
penyelamat untuk memancing gagasan. 

"Bangsa-bangsa tidak memiliki tanggal kelahiran yang
bisa diidentifikasi dengan pasti, dan
kematian-kematian mereka pun, andai pernah terjadi,
tak pernah alamiah..." tulis Ben Anderson. Sebuah
bangsa hanya bisa dikenal, melalui ingatan. Sebuah
ingatan tentang sebuah bangsa, akan banyak membantu
keruwetan-keruwetan akibat berbagai persoalan. Jangan
sampai ingatan-ingatan itu tertutupi oleh selimut
asap. 

Seorang kaisar paling perkasa pun, apabila diselimuti
asap, akan kehilangan visi akan dunia, kalau bukan
mati lemas. Sebulan asap, wahai, berapa banyak
gagasan-gagasan gosong dan meranggas? 

Penulis adalah peneliti politik dan perubahan sosial
CSIS, Jakarta. 


=====
Milis bermoderasi, berthema 'mencoba bicara konstruktif soal Indonesia' dapat diikuti di http://www.polarhome.com/pipermail/nusantara/
Tulisan Anda juga ditunggu di http://www.mediakrasi.com (jadilah editor untuk koran online ini)
Juga mampirlah untuk ketawa ala Suroboyoan di
http://matpithi.freewebsitehosting.com

__________________________________________________
Do you Yahoo!?
Yahoo! Web Hosting - Let the expert host your site
http://webhosting.yahoo.com