[Nusantara] Sejarah dan Modus Operandi Mafia Peradilan di Indonesia (2-Habis)

Gigih Nusantara gigihnusantaraid@yahoo.com
Wed Aug 28 08:00:57 2002


"Ambon" <sea@swipnet.se>
27 Aug 2002 19:23:46 +0200 
Sejarah dan Modus Operandi Mafia Peradilan di
Indonesia (2-Habis) 

Sejarah dan Modus Operandi Mafia Peradilan di
Indonesia (2-Habis)
Oleh Frans H. Winarta, SH, MH

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa mafia
peradilan merupakan
korupsi yang sistematik yang melibatkan mulai dari
polisi, panitera,
advokat, jaksa, hakim, petugas di lembaga
pemasyarakatan sampai petugas
parkir di pengdilan pun tidak ketinggalan. Demikian
pula dengan peran 
pers
yang ikut berperan dalam praktek para mafia peradilan.
Para pelaku 
korupsi
di pengadilan, khususnya para advokat, ada yang
mempunyai ”hubungan 
baik”
dengan para jurnalis agar namanya selalu dimuat dalam
kolom berita di 
koran
tersebut sehingga masyarakat hanya tahu nama-nama
mereka saja.
Hal ini pun dilakukan dengan tujuan untuk mempengaruhi
putusan hakim 
yang
belum mempunyai kekuatan hukum tetap dan membuat
putusan hakim yang
mengandung judicial corruption tersebut memperoleh
legitimasi melalui
liputan media-media massa besar.
Selanjutnya, mari kita lihat modus operandi yang
dilakukan oleh mafia
peradilan dalam peradilan pidana yang melibatkan
antara lain mulai dari
polisi, panitera, advokat, jaksa dan hakim serta
petugas di lembaga
pemasyarakatan.
Dalam perkara pidana umum misalnya, praktek korupsi
yang dilakukan oleh
mafia peradilan di tingkat penyelidikan akan mencegah
suatu kasus 
meningkat
statusnya menjadi penyidikan (kepolisian). Uang
”damai” yang diberikan 
oleh
seorang tersangka kepada penyidik (polisi) akan
membuat kasusnya tidak
sampai pada tingkat penuntutan (kejaksaan).
Demikian pula jaksa akan memperpanjang proses
penyidikan sambil 
menunggu
uang ”pelicin” yang harus diberikan oleh tersangka,
atau dengan cara 
lain
jaksa juga dapat menawarkan tuntutan yang lebih ringan
apabila 
tersangka
memberikan sejumlah uang. Dalam modus operandi seperti
ini tidak hanya
melibatkan jaksa dan tersangka saja, tapi juga advokat
yang 
mendampinginya
selama pemeriksaan.
Sedangkan dalam kasus-kasus tindak pidana korupsi
misalnya, jaksa yang
memiliki wewenang untuk mengubah status saksi menjadi
tersangka, dapat
merubah status untuk meringankan tersangka, misalnya
menjadi saksi 
saja,
terdakwa saja atau terdakwa yang berstatus tahanan
kota, tahanan rumah 
atau
tidak ditahan sama sekali. Salah satu modus yang juga
paling banyak
digunakan adalah melepaskan tersangka dengan cara
menghentikan 
penyidikan.
Ketika akhirnya tersangka sampai juga diajukan ke meja
hijau, maka 
tersangka
akan dihadapkan dengan masalah adanya uang ”proses” di
bagian 
administrasi
pengadilan dan masalah pemilihan majelis hakim yang
dalam hal ini dapat 
”
diatur” oleh pengacara yang sudah memiliki hubungan
baik dengan 
kalangan
hakim.
Lalu, ketika perkara sudah sampai pada putusan maka
tidak tertutup
kemungkinan untuk berkolusi dengan hakim. Negosiasi
dilakukan untuk
menentukan jumlah uang yang harus disediakan oleh
pengacara atau 
terdakwa.
Modus yang dilakukan sangat beragam, bisa melalui
jaksa, panitera atau
langsung dengan hakimnya sendiri.
Selain itu, jalannya sidang juga dapat diselenggarakan
pada pukul 08.00 
pagi
saat pengadilan masih sepi, tapi kemudian vonis sudah
dijatuhkan dan 
berita
acara langsung ditandatangani oleh hakim, jaksa,
panitera dan 
pengacara.
Lain lagi di dalam lembaga pemasyarakatan dimana
ternyata ada biaya 
”tidak
resmi” yang seolah-oleh terstandarisasi, misalnya
untuk 1 kali 
kunjungan
pihak lembaga pemasyarakatan akan memasang tarif mulai
dari Rp 10.000 
sampai
Rp 50.000. Para sipir penjara pun turut
memperdagangkan kewenangannya,
misalnya dengan memberikan sejumlah uang secara rutin
kepada sipir 
penjara,
seorang napi dapat keluar untuk mengunjungi istrinya
atau dapat 
memperoleh
fasilitas istimewa di dalam penjara.
Demikian juga dalam peradilan perdata, pola korupsi
yang dilakukan oleh 
para
mafia peradilan pun tidak jauh berbeda, misalnya, saat
mendaftarkan 
perkara,
pihak panitera tidak memberikan rincian seluruh biaya
yang harus 
dibayar
oleh para pihak. Untuk mendapatkan majelis hakim yang
”favorable”, para
pengacara harus berlomba menghubungi Ketua Pengadilan
Negeri yang 
mempunyai
wewenang untuk menentukan komposisi majelis hakim,
atau, biasanya pihak 
yang
bersengketa lebih memilih pengacara yang umumnya telah
memiliki 
hubungan
baik dengan kalangan hakim.
Selain itu, modus lainnya adalah dalam menentukan
diterima atau 
tidaknya
suatu alat bukti tergantung kepada jumlah uang yang
diberikan oleh para
pihak. Putusan juga tidak lagi dijatuhkan atas dasar
hukum dan rasa
keadilan, tetapi lebih berdasarkan kepada ”kedekatan”
(lobby) dan uang.
Dengan imbalan sejumlah uang, maka hakim tidak lagi
ragu untuk 
menjatuhkan
putusan yang menguntungkan pihak yang memberikan uang
yang lebih besar
daripada pihak lainnya.
Pola lainnya yang digunakan untuk membayar hakim
adalah dengan 
mengundang
hakim yang bersangkutan sebagai pembicara dalam sebuah
seminar hukum.
Menurut ICW, ada hakim di Jakarta yang menerima honor
sebagai pembicara
sebuah seminar Rp 300 juta.
Dengan demikian, seminar hukum hanya digunakan sebagai
kedok dan 
biasanya
seminar tersebut pun diselenggarakan oleh firma hukum
atau LSM yang 
dimiliki
oleh pengacara yang bersangkutan.
Teknik lainnya untuk membayar hakim sebagai imbalan
karena memenangkan
perkaranya adalah berupa ”sumbangan” untuk perkawinan
anak hakim. 
Kemudian,
agar putusan yang dijatuhkan tidak menimbulkan
kecurigaan, maka 
beberapa
pengacara menjalin hubungan yang erat dengan kalangan
jurnalis dengan
memberikan suatu imbalan tertentu.

Malahan, baru-baru ini Komisi Pengawas Persaingan
Usaha (KPPU) 
mengeluhkan
hal tersebut bahwa putusannya yang dianulir oleh
pengadilan negeri, 
yang
sudah diketahui putusannya sehari sebelum putusan
tersebut dijatuhkan, 
tidak
dapat membantah iklan pengumuman yang memuat putusan
pengadilan negeri
tersebut karena selain tidak mempunyai dana untuk itu,
juga karena 
semua
media massa ”dibungkam” untuk tidak memuat bantahan
KPPU atas iklan
pengumuman putusan pengadilan negeri yang belum
mempunyai kekuatan 
hukum
tetap (in kracht van gewijsde) tersebut dengan
cara-cara kooptasi dan
kekuatan ekonomi, antara lain dengan tidak memuat
press release dan 
press
conference KPPU yang membantah iklan pengumuman
tersebut.
Selanjutnya, proses banding, kasasi dan peninjauan
kembali hingga suatu
putusan memiliki kekuatan hukum tetap, masih sering
dimanfaatkan untuk
berkolusi oleh Ketua Pengadilan Negeri, juru sita dan
pengacara. Dalam 
hal
dilakukan sita pun, maka juru sita akan ”memainkan”
obyek sitaan atau
melakukan bermacam manipulasi.

Kesimpulan
Timbulnya judicial corruption dan tidak adanya sikap
judicial 
discretion
yang kemudian menimbulkan praktek mafia peradilan pada
lembaga hukum 
kita
adalah tidak terlepas dari sejarah dan budaya sistem
hukum negara kita
selama ini.
Sebagaimana kita ketahui bahwa sistem hukum kita
selama ini lebih 
banyak
diintervensi oleh kepentingan politik dan ekonomi
sehingga keadilan 
tidak
lebih dari sekadar barang komoditas yang
diperjualbelikan. Lembaga
pengadilan sebagai instrumen utama penegakan hukum
telah dijadikan 
”pasar”
untuk memperjualbelikan keadilan dan menjadi sumber
korupsi, kolusi dan
nepotisme (KKN).
Demikian pula nilai-nilai keadilan telah
dicampuradukkan dengan 
berbagai
bentuk intervensi kekuasaan maupun intervensi
komersial. Ukuran
menguntungkan atau tidak menguntungkan suatu perkara
dipandang hanya 
dari
kacamata politis dan ekonomis.
Dan terlebih lagi, yang membuat keadaan sistem hukum
kita semakin parah
adalah bahwa praktek-praktek curang dan koruptif
tersebut di atas 
dilakukan
secara sistematis oleh para aparat penegak hukum itu
sendiri dengan
sebutan ”mafia peradilan”. Praktek-praktek koruptif
yang sering mereka
lakukan dapat dikategorikan sebagai ”judicial
corruption” sesuai dengan
deklarasi IBA tersebut di atas.
Tidak dapat dipungkiri bahwa advokat pun secara
langsung maupun tidak
langsung turut menciptakan terjadinya mafia peradilan
dan judicial
corruption. Padahal, posisi advokat dalam sistem hukum
kita mempunyai 
peran
yang sangat vital dan krusial, hanya advokatlah yang
memiliki akses 
menuju
keadilan dan penghubung antara masyarakat dengan
negara melalui 
institusi
hukumnya.
Namun yang terjadi adalah sekarang profesi advokat
lebih dikenal 
sebagai ”
broker” perkara yang berdiri tepat di antara kliennya
dan aparat 
penegak
hukum (hakim, jaksa dan polisi) sebagai pembeli dan
penjual keadilan.
Peran advokat yang seharusnya memberikan jasa hukum
dan mewakili 
kliennya
perlahan diganti dengan peran ”mendekati” aparat
penegak hukum agar 
perkara
yang ditanganinya dapat dimenangkan dengan cara apa
pun. Advokat yang
seharusnya berperan secara konsisten menjembatani
kepentingan 
masyarakat
dalam sistem peradilan, justru turut terlibat dan
menjadi bagian dari 
mafia
peradilan dan judicial corruption.
Keadaan tersebut didukung pula oleh iklim budaya hukum
masyarakat 
Indonesia
dimana mereka lebih menghendaki agar perkaranya dapat
dimenangkan 
dengan
cara apa pun tanpa mempedulikan nilai keadilan dan
kebenaran yang 
terkandung
di dalamnya serta etika dan moral. Celakanya, budaya
ini telah tertanam
dalam kehidupan masyarakat Indonesia berpuluh-puluh
tahun lamanya.
Demikian pula halnya dengan pers (wartawan) dan media
massa yang secara
tidak langsung turut berperan bagi terciptanya keadaan
tersebut di 
atas.
Wartawan lebih cenderung untuk memuat berita-berita
yang menonjolkan 
para
advokat yang terlibat dalam mafia peradilan dan
judicial corruption 
sehingga
akibatnya masyarakat lebih mengenal para advokat yang
melakukan
praktek-praktek curang dan koruptif tersebut ketimbang
para advokat 
yang
tetap konsisten mempertahankan nilai-nilai keadilan
dan kebenaran.
Melihat gambaran tersebut di atas memang sudah saatnya
kita sadar bahwa
negara kita harus melakukan reformasi total, terutama
di bidang hukum,
walaupun hal ini sudah bukan merupakan hal yang baru
lagi bagi kita
sekarang. Untuk memperbaiki keadaan tersebut di atas
memang bukanlah
pekerjaan mudah. Upaya melakukan reformasi hukum perlu
dukungan dari 
semua
pihak yang terkait, terutama political will dari
pemerintah mengingat
pemerintahlah yang memiliki kekuatan memaksa untuk
memberantas KKN dan
praktek-praktek ”curang” lainnya di lembaga peradilan
kita.
Menurut hemat saya dapat dikatakan di sini bahwa ada
beberapa hal yang 
dapat
dilakukan untuk memberantas praktek-praktek judicial
corruption yang
dilakukan oleh mafia peradilan, yaitu antara lain:
Perbaikan institusi hukum (polisi, jaksa, hakim dan
advokat) dalam hal
sistem rekrutmen, mengadakan program pelatihan atau
program Continuing 
Legal
Education (CLE) secara konsisten, pembekalan etika
profesi hukum,
profesionalisme, dan lain sebagainya terutama dalam
lembaga Mahkamah 
Agung
sebagai sentra penegakan hukum.
Perlu dukungan dan peran serta masyarakat luas (public
support) 
terhadap
pemberantasan praktek-praktek korupsi tersebut di
atas. Oleh karena itu
diperlukan diseminasi program Gerakan Nasional
Anti-Korupsi kepada
masyarakat umum dan mendidik masyarakat agar tahu dan
mewaspadai bahaya
korupsi dengan berani melawan, mengadu, melaporkan
praktek-praktek 
korupsi
yang dilakukan oleh para aparat penegak huukm serta
menolak atau jangan
larut terlibat dalam suap, pungli dan sebagainya.
Mendidik masyarakat agar menyadari bahwa korupsi
merupakan perbuatan 
yang
merendahkan harkat dan martabat manusia (human
dignity) Indonesia serta
menciptakan bad governance, sehingga bangsa Indonesia
tidak bisa 
berdiri
sejajar dengan bangsa-bangsa lain, bangsa Indonesia
menjadi bangsa yang
tidak mandiri, manajemen pemerintah menjadi tidak
efisien dan tidak 
efektif,
menjadi bangsa yang tidak produktif, kehidupan
masyarakat menjadi tidak
tentram karena masyarakat harus menanggung pajak yang
tinggi, 
mengakibatkan
defisit APBN yang harus ditutup dengan cara menaikkan
pajak, menaikkan 
harga
BBM, tarif listrik, bea masuk, tol, biaya angkutan,
dan lain-lain (het 
doel
heiligd de middelen).
Demikianlah gambaran secara umum sejarah dan modus
operandi yang sering
dilakukan oleh para mafia peradilan di lembaga
peradilan. Kiranya hal
tersebut di atas dapat dijadikan pelajaran bagi kita
semua untuk 
mengetahui
dan memberantas segala trik-trik dan modus operandi
yang sering 
dilakukan
oleh para mafia peradilan.
Kelak, kalau anda berpraktek sebagai penegak hukum
atau advokat, saya
harapkan anda, sebagai generasi muda harapan bangsa,
tidak ikut 
terlibat
dalam praktek-praktek koruptif sebagaimana diuraikan
tersebut di atas, 
namun
memiliki moralitas dan integritas yang tinggi,
profesional, mempunyai
komitmen untuk membela kebenaran dan keadilan tanpa
rasa takut, 
memiliki
pendirian yang teguh berpihak kepada keadilan dan
kebenaran dan tidak 
selalu
hanya memikirkan keuntungan bagi diri sendiri.

Penulis adalah advokat dan anggota Komisi Hukum
Nasional 


=====
Milis bermoderasi, berthema 'Mencoba Bicara Konstruktif Soal Indonesia', rangkuman posting terpilih untuk ikut berpartisipasi membangun Indonesia Baru, Damai, dan Sejahtera. http://nusantara2000.freewebsitehosting.com/index.html
Juga mampirlah untuk ketawa ala Suroboyoan di
http://matpithi.freewebsitehosting.com

__________________________________________________
Do You Yahoo!?
Yahoo! Finance - Get real-time stock quotes
http://finance.yahoo.com