[Nasional-m] Urgensi dan Model Pengawasan Publik

Ambon nasional-m@polarhome.com
Thu Jan 30 04:24:01 2003


http://www.suaramerdeka.com/harian/0301/30/kha1.htm
Kamis, 30 Januari 2003  Karangan Khas

Urgensi dan Model Pengawasan Publik
Oleh: Amirudin

ADA hal menarik terjadi di tengah deklarasi Komite Peduli Pemilihan Gubernur
(KP2G) yang digelar di gedung DPRD belum lama ini . Selama proses launching
yang dipimpin Prof Dr dr Satoto dan Prof Dr Nurdien H Kistanto berlangsung,
serentak mendapat kritikan tajam dari peserta diskusi. Di hari berikutnya
Suara Merdeka pun menurunkan berita, "Belum Dideklarasikan, Sudah
Dicurigai".

Semua kritikan tertuju pada satu titik, kekhawatiran KP2G menjadi kendaraan
bagi salah satu bakal cagub dengan tuduhan bermacam-macam, antara lain
"pelacur intelektual" dan "onani intelektual". Memang terasa keras nada
kritikannya sampai Prof Nurdien meminta, "kalau memang sejak awal sudah
dicurigai, pecat saja saya sebagai ketua."

Kritikan itu terasa telak dan tidak seharusnya sesama kekuatan sipil saling
mengkritik, sebab yang mengkritik pun bisa mendapat tuduhan sama, berusaha
menghalang-halangi langkah kerja KP2G yang baru dideklarasikan atas nama
bakal cagub tertentu.

Tetapi tidak usah diperpanjang, sebab sesungguhnya ada hal yang lebih
esensial yang sama-sama harus kita perhatikan dalam proses pemilihan
gubernur kali ini. Prosesnya kali ini berlangsung dalam sistem demokrasi
perwakilan. Hal itu sangat krusial karena terdapat beberapa kelemahan dari
sistem demokrasi perwakilan.

Pertama, semua keputusan politik yang diproduksi sistem demokrasi
perwakilan, ujung-ujungnya hanya menguntungkan secara ekonomi politik dari
kelompok yang mengambil peran di lembaga perwakilan.

Ada kesan, semua keputusan politik yang dihasilkan orientasinya hanya
memperkuat basis ekonomi (economic capital) dan basis politik (political
capital) jangka pendek saja. Keputusan itu hanya memperbesar anggota dewan
dan partainya dengan mendapat uang untuk bisa menang di pemilu berikutnya.

Orientasi kebudayaan atau keputusan politik yang dibuat dalam kerangka
survival condition of humanities sulit sekali dihasilkan. Semua keputusan
politik, sangat kering-kerontang dari nilai pendidikan politik, atau terjauh
dari dorongan menanam investasi kebudayaan (cultural capital).

Kedua, ada kecenderungan anggota dewan beramai-ramai sengaja memutus mata
rantai komunikasi politik yang seharusnya terbina dengan wajar dalam setiap
proses pengambilan keputusan politik. Komunikasi politik yang dilakukan
dipersepsi justru dapat mengganggu diri dan partainya. Untuk itu, mereka
bersama-sama menolak cara pengambilan keputusan secara transparan, padahal
mekanisme itu sesungguhnya merupakan satu-satunya cara menghubungkan warga
dengan anggota dewan.

Mekanisme itu kandas dibabat dengan aturan-aturan yang sengaja diciptakan
untuk membebaskan keharusan mengambil keputusan secara transpa ran.

Ketiga, terputusnya komunikasi politik dilakukan dalam kerangka memberi
peluang masuknya kekuatan "asing" dalam proses pengambilan keputusan berupa
money politics dan instruksi dari pihak luar terhadap presiden atau siapa
pun yang notabene menjadi ketua umum partai politik tertentu untuk
memuluskan calon tertentu. Inilah bahayanya proses pemilihan gubernur yang
berlangsung dalam sistem demokrasi perwakilan.

Demokrasi Perwakilan

Esensi dari sistem demokrasi perwakilan bahwa anggota dewan sesungguhnya
tidak berdiri mewakili dirinya sendiri melainkan mewakili ribuan rakyat yang
memilihnya. Sekalipun recall sudah dihapus tetapi bukan berarti setiap
anggota dewan bisa bersikap semau gue.

Semua keputusan anggota dewan harus dapat dipertanggungjawabkan kepada
publik yang telah menyerahkan segala harapan dan aspirasi ke wakilnya di
lembaga perwakilan. Sebab yang namanya wakil rakyat adalah individu yang
bertugas mewakili rakyat.

Hal itu berarti, semua pendapatnya bisa perlu dan harus dipengaruhi
pihak-pihak yang diwakilinya. Voting wakil rakyat bukan sekadar cermin dari
pendapat pribadi tetapi refleksi kepentingan dan pendapat dari pihak-pihak
yang diwakilinya.

Proses pengambilan keputusan oleh wakil rakyat berbeda dengan seseorang yang
mengikuti pemilu. Seorang peserta pemilu tidak mewakili pihak mana pun
kecuali mewakili dirinya sendiri, karenanya dia harus dijamin agar suaranya
tidak dipengaruhi pihak mana pun dengan cara dijamin kerahasiaannya. Rakyat
bisa menentukan pilihan secara otonom dan independen.

Di sini terlihat, ketika pemilu, pengambilan suara oleh seorang rakyat
mewakili dirinya sendiri, sementara di lembaga perwakilan, voting seorang
wakil rakyat tidak hanya mewakili dirinya sendiri tetapi mewakili rakyat.
Jadi sewaktu anggota dewan melakukan pemungutan suara, setiap suara mereka
sesungguhnya mewakili puluhan ribu rakyat. Bila pemungutan suara kemudian
dirahasiakan, bagaimana puluhan ribu rakyat bisa mengetahui pilihan
wakilnya?

Anehnya dalam beberapa kasus pemilihan gubernur, banyak ditemukan anggota
dewan di berbagai daerah memahami voting terbuka secara salah. Voting
terbuka dipahami sebagai proses di mana anggota dewan menuliskan pilihannya
dalam selembar kertas lalu memasukkan ke kotak suara sambil disaksikan
masyarakat. Dianggap terbuka karena penghitungan suara disaksikan masyarakat
dan media massa, bukan karena pilihannya diketahui masyarakat.

Kekeliruan yang fatal juga, voting dipersepsi sebagai alat terakhir dalam
pengambilan keputusan. Secara umum sah-sah saja memandang musyawarah lebih
baik dari voting, tetapi musyawarah dan voting perlu dipandang sebagai
saling melengkapi.

Voting dengan demikian bukan sekadar alat untuk mengakhiri perbedaan
pendapat, tetapi yang lebih penting menjadi instrumen pencatatan sikap dan
pendapat wakil rakyat.

Dengan dasar bahwa wakil rakyat tidak mewakili diri sendiri, maka terlihat
segala voting secara tertutup perlu dihilangkan di "Rumah Rakyat" .

Tetapi hal itu sulit ditembus karena beberapa alasan, termasuk mengusung
nilai budaya Jawa sebagai bemper ke arena proses politik, yakni
ewuh-pekewuh.

Itulah sebabnya ada ruang kosong antara dewan dengan warga yang harus kita
isi bersama. Ruang kosong itu harus diisi dengan proses negosiasi secara
terus-menerus dengan dialog yang membebaskan.

Ada kecenderungan anggota dewan menutup diri dengan membuat aturan-aturan
yang menguntungkan secara ekomomi politik, termasuk kebal hukum dan
lain-lain yang membuat proses negosiasi di ruang kosong itu tidak berjalan
normal.

Itulah sebabnya kecenderungan melakukan tindakan-tindakan "nakal" dari
anggota dewan harus kita kendalikan. Salah satu caranya dengan mengisi ruang
kosong itu dengan tindakan-tindakan politik sistematis .

Siapa pun boleh melakukan tindakan politik sesuai konsepsi, keyakinan,
ideologi, tradisi, dan pendekatan masing-masing.

Tetapi tindakan mereka tidak akan membawa efek tanpa bekerja sama:
berkonspirasi. Tindakan politik yang dikembangkan harus saling mengunci,
terutama pers sebagai perekat kekuatan sipil, didukung LSM, komite pemantau
lain, anggota dewan yang idealis, serta badan yudikatif yang ada.

Melalui "model konspirasi" saya yakin memungkinkan pengawasan publik yang
akan kita kembangkan mampu memberi warna, proses pilihan gubernur 2003-2008
menjadi transparan. (18)


- Amirudin, dosen Ilmu Komunikasi FISIP Undip, Sekretaris KP2G Jateng.