[Nasional-m] Tirani Makro Buta Kesulitan ”Wong Cilik

Ambon nasional-m@polarhome.com
Mon Jan 27 23:36:12 2003


Sinar Harapan
27/1/2003

Tirani Makro Buta Kesulitan ”Wong Cilik”
Oleh D.A. Simarmata

Kenaikan serentak tiga tarif dan harga BBM telah membangkitkan kemarahan
masyarakat, yang disuarakan mahasiswa dan buruh. Berbagai pendapat muncul,
baik dari pakar, praktisi dan tentunya para ekonom. Salah satu argumen
ekonom yang membela kebijakan pemerintah dikaitkan pada dampak inflasinya
yang dikatakan tidak terlalu besar. Andaikan bahwa inflasi hanya sekitar
tiga per sepuluh persen, tepatkah pendapat itu dilihat dari sudut pandang
wong cilik?
Secara konstitusional, tugas pemerintahan mencakup legislatif, eksekutif dan
judikatif ialah meningkatkan kemakmuran orang banyak. Secara filosofis, John
Rawls mengatakan tugas pemerintah meningkatkan kesejahteraan masyarakat
termiskin setinggi mungkin atau mengusahakan perbaikan terbesar kehidupan
ekonomi-sosial anggota masyarakat lapis bawah.
Tetapi sayangnya berbagai indikator ekonomi makro tidak menunjukkan kelompok
masyarakat itu secara khusus. Indeks ekonomi makro hanya memuat angka
rata-rata, yang dapat berasal dari harga individu yang sangat berbeda satu
sama lain.
Angka inflasi adalah rata-rata timbang kenaikan harga-harga lebih dari dua
ratus barang dan jasa. Antara satu komoditas dengan yang lain dapat terjadi
proses saling mengurangi, atau malah saling menetralisasi. Seandainya ada
dua barang yang mempunyai bobot sama dalam perhitungan angka inflasi, dimana
harga satu barang naik 10 persen, sedangkan barang lain turun 10 persen,
maka dampak gabungan kedua barang itu adalah nol.
Tetapi, kelompok masyarakat yang mengonsumsi barang pertama akan mengalami
pengurangan atau pemburukan tingkat kesejahteraan, sedangkan masyarakat
kedua justru mengalami yang sebaliknya, peningkatan kesejahteraan relatif.
Para ekonom mengabaikan fakta bahwa keranjang konsumsi masyarakat wong cilik
sangat jauh berbeda dari komposisi barang dan jasa pembentuk indeks inflasi.
Memang benar bahwa BBM lebih banyak dikonsumsi orang berpenghasilan tinggi.
Tetapi dalam situasi saat ini, peningkatan harga BBM, secara relatif jauh
lebih menguras kantong orang dari masyarakat bawah dibanding kelas atas.
Kita masih asing pada instrumen ekonomi kesejahteraan, dan bilapun ada,
pengalaman pelaksanaan JPS (jaring pengaman sosial) pada krisis 1998,
program itu penuh KKN, sehingga rakyat hanya menjadi mata dagangan elite
politik dan birokrat. Kebanyakan dana itu dikorup.
Lebih jauh lagi, mereka yang mengonsumsi barang pertama dapat terdiri dari
banyak tingkat penghasilan. Untuk orang yang berpendapatan tinggi, nilai
rupiah belanja barang bersangkutan dapat hanya merupakan persentase kecil
dari penghasilan atau keseluruhan belanja barang, sedangkan untuk masyarakat
miskin, kenaikan itu dapat mempunyai porsi tinggi. Dampak bersifat
inegaliter kembali muncul. Bukankah telah menyimpang dari tujuan mengangkat
kesejahteraan orang banyak ala UUD-45 dan bertentangan dengan keadilan
Rawlsian? Konstitusionalisme ekonomi memang diabaikan di Indonesia.
Dalam konteks sejarah pemikiran ekonomi, masalah ketenagakerjaan, employment
selalu menjadi pusat perhatian utama. Ekonomi klasik dan neoklasik
beranggapan bahwa sistem ekonomi pasar melalui the invisible hands akan
selalu mencapai keseimbangan ekonomi dan menggunakan semua faktor produksi.
Faktanya tidak. Karenanya ekonom besar J. M. Keynes menyatakan perlunya
tindakan pemerintah untuk menjaga full employment, seperti pada masa
depresi. Tentunya situasi ekonomi Indonesia setelah krisis 1997 adalah
depresif, dan negeri ini belum pulih dari penyakit malaise hingga sekarang.
Jangankan pulih secara keseluruhan, berbagai sektor masyarakat justru masih
mengalami degradasi, seperti PHK baru.
Banyak ekonom internasional kelas atas melihat pentingnya resep ekonomi
Keynes, misalnya Joseph Stiglitz (Nobel ekonomi 2001), Paul Krugman, James
Tobin (Nobel), dan masih sederet nama tangguh lain. Dari jajaran lembaga
yang seharusnya hanya mengurusi kehidupan di akhirat, petinggi kepausan
telah menerbitkan sederet ensiklik dimulai dengan Rerum Novarum pada tahun
1891, dengan titik perhatian kemelaratan kehidupan buruh ketika itu.
Ensiklik menuntut peran aktif pemerintah dalam ekonomi, bertentangan dengan
paradigma dominan ketika itu, yaitu pasar tanpa intervensi pemerintah dengan
the invisible hands. Visi paus demikian adalah revolusioner saat itu.

Hendaknya Ekonom Tidak Mekanistis
Jawaban pemerintah yang hanya berbicara dari sudut pandang inflasi kecil
sungguh terlihat melakukan pengkerdilan arti ilmu ekonomi dalam menegakkan
kesejahteraan umum berdasarkan keadilan sosial. Tidak tepat bila ekonom
mencoba menarik diri kebalik tirai angka-angka hasil model kuantitatif,
karena dengan demikian menjadikan ilmu ekonomi bersifat menara gading,
anti-sosial.
Padahal banyak dari model yang digunakan masih mempunyai banyak kelemahan
intrinsink. Katakan saja model yang pernah dikemukakan salah seorang ekonom
muda pada tahun 1998, kini staf ahli ekonomi. Sang ekonom melakukan kajian
dampak penurunan nilai tukar berupa peningkatan jumlah rupiah per dolar
hingga 150 persen.
Model yang digunakan sebenarnya membatasi bahwa model itu hanya cocok pada
gangguan kecil, small disturbance. Tetapi dengan bangganya sang pemodel
menyatakan berbagai hasil simulasinya.
Dan ketika didebat penulis tentang ketidakberlakuan asumsi itu, jawaban
enteng dikemukakan bahwa model itu digunakan sebagai academic exercise,
tetapi dikemukakan dengan bangganya dihadapan khalayak ramai yang awam model
ekonomi. Tindakan ini tidak lain dari pembodohan publik! Apakah para ekonom
telah terlibat secara sistematis pada pembodohan publik?

 Sungguh merisaukan bahwa berbagai model yang dibangun di atas perilaku
masyarakat Barat yang secara umum lebih rasional dari masyarakat Indonesia
digunakan begitu saja, tanpa penyesuaian mendasar, baik perilaku maupun
kelembagaan terkait. Sehingga tidak ayal lagi akan menghasilkan kesimpulan
yang bias.
Di sini kita perlu mengangkat masalah kedewasaan ilmiah para ekonom yang
merupakan subdisiplin ilmu sosial. Model kuantitatif dalam bidang fisika dan
keinsinyuran dapat dengan segera diaktualisasi, karena percobaan
laboratorium dapat terlaksana setiap saat. Ilmu sosial dan ekonomi khususnya
tidak mempunyai laboratorium seperti fisika dan enjinering, tetapi langsung
dalam masyarakatnya, full scale. Oleh karena itu pemahaman hukum-hukum
ekonomi serta hasil model kuantitatif perlu waktu cukup mendalaminya,
membutuhkan kematangan. Tetapi observasi itu haruslah yang aktif, bukan
pasif.
Sangat disayangkan bahwa pengambilan keputusan para ekonom mengabaikan
faktor vital ilmu ekonomi mutakhir yaitu informasi. Pengangguran yang telah
tinggi dan kalau tidak dapat dikatakan masih terus mengalami peningkatan di
sektor formal, kelihatannya berada di luar pertimbangan mereka. Sesekali
kita mendengar perlunya investasi baru agar dapat menciptakan lapangan
kerja. Tetapi dengan mencermati berbagai instrumen yang ada, kita memperoleh
kesimpulan bahwa isu itu hanya berada pada posisi pinggiran.
Aspek keadilan kelihatannya ditempatkan nun jauh di sana dalam rak arsip
politik, dan masalah teknis ekonomi dan finansil yang mendukung pembayaran
hutang at any cost adalah prioritas nomor satu. Publikasi Bank Indonesia
tentang indeks kepercayaan konsumen menunjukkan fakta bahwa masyarakat
pesimis. Tentu tidak sulit mencari akar pesimisme tersebut karena baik
berita maupun pengalaman banyak orang yang terkena PHK pasti menjadi
informasi vital dalam pembentukan kepercayaan konsumen. Tetapi mengapa para
pengambil keputusan ekonomi mengabaikan informasi vital tersebut?
Tanpa bosan-bosannya mengulangi isu yang telah mendekati basi, tetapi
mempunyai arti selangit, penyelesaian BLBI serta berbagai persoalan
turunannya akan sangat membantu bagi usaha menenangkan masyarakat, termasuk
harta Soeharto dan kroninya. Beban bunga obligasi rekap dan sebagainya telah
menjadi pertanda butanya pemerintah pada masalah keadilan sosial.
Padahal para konglomerat bermasalah masih menyimpan segudang aset di luar
negeri, termasuk di pusat-pusat keuangan seperti Cayman islands. Yang
menjadi masalah ialah mereka datang dari pulau-pulau cacat moral dan etika
itu sebagai investor luar negeri dan membeli aset BUMN yang diprivatisasi
atau perusahaannya dengan harga sangat rendah di bawah naungan BPPN. Ini
sungguh merobek-robek rasa keadilan masyarakat, dan isu ini menjadi sangat
mudah dieksploitir oleh mereka yang tergusur dari kekuasaan Orde Baru dan
masih kaya-raya.
Sekelompok orang yang telah dituduh mendanai para demonstran adalah mereka
yang diberi peluang oleh kebijakan pemerintah yang salah kaprah. Bukankah
Tommy Soeharto menyatakan dalam sidang pengadilannya bahwa dia justru
berkoordinasi dengan mereka yang berada di lembaga resmi untuk menjatuhkan
Gus Dur? Sama seperti kebangkitan komunis yang dituduh pengganggu stabilitas
pada masa Soeharto, para petualang politik tidak akan memperoleh peluang
bila berbagai pintu untuk itu tidak dibuka oleh kebijakan pemerintah yang
salah. Masalah harga-harga telah menjatuhkan beberapa presiden, baik Sukarno
maupun Soeharto. Dengan demikian, perumusan kebijakan ekonomi yang tepat
harus selalu menjadi acuan pemerintah dalam menjaga stabilitas sosial dan
politik. Jangan selalu menyalahkan orang lain.

Penulis adalah Dosen FEUI, pengarang
beberapa buku dan pengamat ekonomi.