[Nasional-m] Tentang Bunga dan Riba

Ambon nasional-m@polarhome.com
Sat Jan 25 01:12:01 2003


http://www.sinarharapan.co.id/berita/0301/24/opi02.html

Tentang Bunga dan Riba
Oleh Fred Thomas

Sudah merupakan suatu ”hukum alam moral’, bahwa suatu godaan menimbulkan
berbagai konsekuensi negatif yang dapat menghantui hidup orang. Demikian pun
ada satu ”penggoda” dan dua ”hantu” yang sangat mempengaruhi masyarakat
kita, yaitu ”kredit”, ”bunga”, dan ”hutang”.
Yang pertama disebut ”penggoda” karena sangat menarik bagi kebanyakan orang
yang tidak mempunyai uang cash yang cukup untuk membeli rumah, kendaraan
dan/atau berbagai keperluan lainnya, baik yang penting maupun yang tidak
penting; atau sebagai m odal untuk usaha kecil-kecilan.
Tetapi si ”penggoda” itu mempunyai ”anak” yang bernama ”bunga”. ”Ibu” dan ”
anak” itu menjebak orang ke dalam suatu ”pusaran” yang mencekam, yaitu ”
hutang”.
Bukan hanya warga bangsa ini terjebak di dalam pusaran itu, melainkan
seluruh Republik kita tercinta dewasa ini ”berpusing-pusing” (kata orang
Medan) di dalamnya. Betapa tidak, bangsa kita dari dahulu kala sudah
terbiasa dengan berhutang, mulai dari ”sistem ijon” di desa sampai ”sistem
IMF”.
Hal berhutang dengan membeli barang secara kredit atau meminjam uang dengan
membayar bunga, sebenarnya merupakan perkara yang wajar dan dilakukan di
seluruh dunia. Tetapi yang menjadi pertanyaan di sini adalah, sampai sejauh
mana bunga atas pinjaman atau cicilan itu menimbulkan masalah. Itulah yang
akan menjadi sorotan dalam pembahasan ini.
Orang-orang yang masih peduli terhadap kaidah-kaidah moral, mempertanyakan
apakah membungakan uang dapat dibenarkan. Para bankir dan pegawai bank
bertanya apakah mereka tidak ”berdosa”.
Penulis tidak akan membahas kaidah-kaidah dan ketentuan yang berlaku bagi
agama-agama lain, tetapi sebagai seorang Kristiani, penulis akan mencoba
membahas dalam terang Alkitab. Namun terlebih dahulu perlu kita luruskan
beberapa pengertian tentang istilah.
Yang kita sebut ”bunga”, dalam bahasa Inggris disebut ”interest”, sedangkan
dalam bahasa Belanda ”rente” yang juga berarti ”sewa” (Inggris : ”rent’).
Ada lagi kata ”riba”, yang dalam bahasa Inggris sering disebut ”usury”
atau ”increase”, dalam bahasa Belanda ”woeker” atau ”woekerrente”.
Jadi, bunga, interest, dan rente sebenarnya bersifat netral, yang umumnya
berkonotasi positif, sedangkan riba, increase dan woekeri berkonotasi
negatif. Yang dimaksud dengan ”riba” ialah menarik bunga di luar batas-batas
kewajaran untuk mendapat keuntungan sebesar-besarnya, sehingga
menyengsarakan si peminjam.
Di Indonesia ada banyak orang, yang karena meminjamkan uang dengan menarik
bunga (seperti yang berkeliaran di pasar-pasar), disebut ”rentenir”, dari
bahasa Belanda ”rentenier”.
Tetapi istilah itu kurang tepat, sebab yang sebenarnya dimaksud dengan ”
rentenier” dalam bahasa Belanda ialah: 1) orang yang hidup dari bunga
(rente) deposito/tabungan, 2) pensiunan dan 3) orang yang mandiri, yang
tidak menggantungkan hidupnya lagi pada orang lain ataupun pekerjaan.
Orang yang meminjamkan uang dengan bunga tinggi (woekerrente), dalam bahasa
Belanda disebut ”woekeraar”, yang karena mencari ”kesempatan dalam
kesempitan”, disebut ”lintah darat”...! Sebab itu, lebih tepat kalau mereka
yang terkenal meminjamkan uang dengan bunga tinggi, disebut ”tukang riba”
atau ”periba” dan bukan ”rentenir”.

Kaidah Alkitabiah
Perdebatan tentang boleh-tidaknya membungakan uang, terjadi karena orang
sering menggunakan ayat-ayat Alkitab terlepas dari konteksnya, dan
menjadikannya suatu ”hukum tetap” yang berlaku sepanjang masa.
Alkitab memang menyajikan berbagai Hukum Allah yang tetap, tetapi di samping
itu ada pula perintah-perintah dan ketentuan-ketentuan yang lebih bersifat
insidentil dan kontekstual, sesuai dengan kondisi dan peristiwa waktu itu.
Demikian pula halnya tentang ”bunga” dan ”riba” dalam Perjanjian Lama.
Perlu diperhatikan bahwa di zaman Perjanjian Lama, hal membungakan uang
secara komersial seperti sekarang, belum dikenal. Di zaman itu orang
meminjam uang karena ia miskin. Kesempatan dalam kesempitan yang demikian
dipakai oleh para tukang riba di masa itu.
Oleh karena itulah, para nabi seperti Musa, Yehezkiel dan Nehemia perlu
melarang menarik bunga atau riba dari orang miskin dan ”saudara-saudara
sebangsa”, sebab di zaman mereka para tukang riba itu merajalela sedemikian
rupa sehingga menyengsarakan bangsa (baca: Keluaran 22:25, Imamat 25:35-37,
Ulangan 23:19-20, Nehemia 5:7).
Dengan demikian, hal menarik bunga dari uang pinjaman merupakan suatu
kebiasaan, yang pada dasarnya tidak dilarang. Hanya dikatakan: ”Jika engkau
meminjamkan uang kepada salah seorang dari umat-Ku, orang yang miskin di
antaramu, maka janganlah engkau berlaku sebagai seorang yang menagih hutang
terhadap dia: janganlah kamu bebankan bunga uang kepadanya” (Kel. 22:25).
Dan dalam Imamat 25:35-37 dikatakan: ”Apabila saudaramu jatuh miskin,
sehingga tidak sanggup bertahan di antaramu, maka engkau harus menyokong dia
sebagai orang asing dan pendatang, supaya ia dapat hidup di antaramu. Jangan
engkau ambil bunga atau riba dari padanya, melainkan engkau harus takut akan
Allahmu, supaya saudaramu dapat hidup di antaramu. Janganlah engkau memberi
uangmu kepadanya dengan meminta bunga, juga makananmu jangalah kauberikan
dengan meminta riba.” Itulah pembatasan yang diberikan oleh Perjanjian Lama.

Tetapi di zaman Yesus (Perjanjian Baru), hal ”menjalankan uang” dengan bunga
sudah merupakan ”bisnis” dan tidak dilarang, malah dianjurkan, seperti dapat
kita baca dalam Matius 25:27 dan Lukas 19:23.
Istilah Yunani yang dipakai dalam Perjanjian Baru untuk bunga ialah ”tokos”,
yang berarti ”pancaran”, ”buah” atau ”hasil”. Di zaman Yesus ada banyak
orang yang menjalankan uang dan dianggap sebagai sesuatu yang biasa, seperti
nyata dalam dua perumpamaan Yesus bercerita tentang seorang yang
mempercayakan hartanya kepada tiga orang hamba.
Yang satu diberi lima talenta (suatu kesatuan uang waktu itu yang sangat
tinggi nilainya), yang kedua diberi dua talenta dan yang ketiga diberi satu
talenta, untuk dijalankan. Setelah tuan mereka kembali, hamba yang pertama
dan kedua mengembalikan uang yang dititipkan itu dengan laba 100 persen.
Mereka dipuji dan ”masuk serta turut dalam kebahagiaan tuannya”.
Tetapi hamba yang ketiga, dengan berbagai alasan yang ”konyol”, telah
menyembunyikan satu talenta itu di dalam tanah, sehingga tidak menghasilkan
laba sama sekali (uang mati). Orang yang disebut ”tidak berguna” ini
dihukum. Perhatikanlah bahwa kepada orang ini tuannya berkata,”Sudah
seharusnya uangku itu kauberikan kepada orang yang menjalankan uang, supaya
sekembaliku aku menerimanya serta dengan bunganya” (ayat 27).
Kalau Yesus memberi perumpamaan, ia selalu mengacu pada perkara-perkara yang
lazim terjadi di dalam masyarakat waktu itu. Maka dari perumpamaan ini nyata
jelas bahwa bagi Tuhan, hal memperoleh laba dari uang dan ”menjalankan uang
dengan bunga”, merupakan hal yang wajar dan tidak dikecam oleh-Nya sebagai
sesuatu yang ”haram”, karena memang merupakan suatu ”bidang usaha”, sama
seperti usaha dagang lainnya.
Dengan memperhatikan kaidah-kaidah Alkitabiah tersebut di atas, baiklah kita
sekarang coba mencari jawaban atas pokok permasalahan kita.

Bunga Bank
Kita mulai dengan perbankan. Dapatkah dibenarkan bila kita menerima bunga
dari uang yang kita simpan atau tabung di bank? Perhatikanlah: Bank itu
bukan ”orang miskin”; Bank adalah ”pengusaha” kepada siapa kita menitipkan
uang kita untuk ”dijalankan” atau dikelola. Maka yang disebut ”bunga” di
sini adalah ”tokos”, yaitu laba, hasil atau buah dari uang yang kita ”
tanamkan” di bank.
Sebaliknya, dapatkah dibenarkan bagi bank untuk menarik bunga dari uang
yang ”dipinjamkan”? Di sini dipakai tanda petik, karena sebenarnya bank
tidak ”meminjamkan” uang, melainkan ”menyewakan” uang, sehingga tepatlah
istilah ”rente”, yaitu ”uang sewa” atas uang yang disewa, bukan? Di dalam ”
uang sewa” itu sudah termasuk pula pembayaran ”upah” bagi jasa bank; bila
kita menggunakan jasa seseorang, kita juga membayar upahnya, bukan?
Lagi pula, tidak ada satu bank pun yang akan ”meminjamkan” uang kepada orang
miskin, yaitu orang yang tidak dapat membayar kembali, apa lagi membayar
bunga. Perhitungan rente pun dilakukan sesuai dengan tuntutan ekonomi pasar,
kaidah-kaidah moneter serta peraturan pemerintah, sehingga bank tidak akan
menjadi ”tukang riba”.
Dengan demikian bank itu tidak ”menyengsarakan bangsa” seperti dikecam oleh
para Nabi tersebut di atas. Kalaupun ada yang merasa ”disengsarakan”, itu
semata-mata terjadi karena kesalahan atau kelalaian dan tidak
bertanggungjawabnya si ”penyewa” uang itu sendiri!

Pembeli Barang Kredit
Perhitungan bunga atas pembelian barang dengan pembayaran mencicil, dibuat
dengan berbagai pertimbangan yang tunduk pada ”hukum alam moneter”, antara
lain. barang itu diproduksi atau disediakan dengan kredit bank, dan di
Indonesia umpamanya masalah inflasi turut diperhitungkan.
Di samping itu haruslah kita ingat bahwa penjualan barang dengan pembayaran
mencicil, merupakan suatu jasa perusahaan atau toko bersangkutan, karena
orang yang tidak mampu membayar cash, tertolong olehnya. Maka wajarlah bila
di dalam bunga itu ikut diperhitungkan ”upah” atau ”uang jasa” bagi
perusahaan/toko itu.

Pertimbangan Hati Nurani
Bagaimana dengan pinjaman antar pribadi? Di sinilah hati nurani berbicara
dan tanggung jawab berperan. Yang terutama harus berlaku di sini ialah
kesepakatan antar kedua belah pilhak dalam kasus-kasus seperti di bawah ini:
Bila orang miskin atau yang tidak mampu, datang kepada kita untuk meminjam
uang, pertama kita lihat dulu apakah ia mampu membayar kembali. Bila ia
tidak mampu, kita memberi saja uang yang ia butuhkan. Bila mampu (mungkin
mencicil), baiklah kita pinjamkan, tetapi tanpa bunga, karena ia miskin.
Yang penting ialah ”Berilah kepada orang yang meminta kepadamu dan janganlah
menolak orang yang mau meminjam dari padamu” (Matius 5:24)
Kalau seorang teman, bukan orang miskin minta tolong karena saat itu ia
tidak mempunyai cash untuk membeli/membayar suatu kebutuhan mendesak, maka
hendaklah kita menolong dengan benar dan tidak minta bunga. Di lain pihak si
peminjam harus bertanggung jawab dan mengembalikan pinjaman itu sesuai
perjanjian.
Namun demikian, bila pengembalian pinjaman itu agak memakan wakt lama,
sedangkan inflasi harus diperhitungkan, dan uang itu harus ditarik dari
deposit atau tabungan kita di bank, maka secara etis dapat dibenarkan bila
kita mengusulkan (dan tidak menuntut) pembayaran bunga. Apabila si peminjam
sepakat secara tulus dan sukarela, maka hendaknya bunga itu paling tinggi
sama dengan bunga deposito/tabungan, namun sedapat mungkin kurang dari itu.
Bila si peminjam menawarkan membayar bunga, kita dapat memilih antara : a)
menolak menerima bunga, b) menghitung bunga sekecil mungkin, c) menghitung
bunga sama dengan bank. Dalam hal ini kita harus menghormati harga diri si
peminjam, yang sadar akan tanggung-jawabnya dan tidak ingin merugikan kita.
Jelaslah bahwa hal meminjamkan uang kepada orang, hendaknya dimotivasikan
oleh keinginan untuk menolong semata-mata!

Menjalankan Uang
Hal menjalankan/memutarkan uang sebagai bisnis merupakan suatu profesi yang
terhormat, sama seperti bankir. Kehormatan itulah yang harus dijunjung.
Dengan hati nurani yang bersih, seorang pemutar uang hendaknya sadar bahwa
ia adalah seorang pengusaha, seorang penjual jasa dengan menyewakan uang,
sama seperti bank.
Jangan ia meminjamkan uang kepada orang miskin, karena nanti ia akan
terjebak menjadi lintah darat yang menyengsarakan si peminjam. Hendaklah ia
menjunjung tinggi segala kaidah etika yang berlaku dalam perbankan.
Tetapi jika motivasi dan praktiknya adalah untuk mencari keuntungan
sebesar-besarnya dengan ”menggunakan kesempatan dalam kesempitan”, seperti
dilakukan oleh kebanyakan orang yang disebut ”rentenir” itu, maka ”profesi”
yang terhormat itu akan berubah menjadi ”tukang riba” dan ”lintah darat”
....!
Kita harap kiranya dengan hati nurani yang diterangi oleh Firman Allah,
para ”tukang riba” (rentenir) yang berkeliaran di masyarakat dan...di dalam
Gereja..., akan menjadi lebih manusiawi.
Semoga!

Penulis adalah seorang rohaniawan.
.

 Copyright © Sinar Harapan 2002