[Nasional-m] Jerit Petani dan Harga Dasar Gabah

Ambon nasional-m@polarhome.com
Thu, 9 Jan 2003 21:33:08 +0100


SUARA PEMBARUAN DAILY


AGRIBISNIS

Jerit Petani dan Harga Dasar Gabah
Oleh Wartawan "Pembaruan" Heri Soba

etiap tahun harga gabah mengalami kenaikan untuk meningkatkan penghasilan
petani. Kenaikan harga tersebut biasanya diumumkan ketika Musim Tanam (MT)
dimulai yakni sekitar bulan Oktober setiap tahun. Penetapan harga tersebut
berlaku untuk satu tahun atau untuk dua kali MT.

Setelah tersendat hampir tiga bulan, pada 31 Desember 2002 pemerintah
mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 2002 tentang
Penetapan Kebijakan Perberasan. Inpres tersebut menetapkan Harga Dasar
Pembelian Gabah Kering Giling (selanjutnya disingkat Harga Dasar Gabah,
HDG - Red) petani dalam negeri oleh Badan Urusan Logistik (Bulog) adalah Rp
1.725 per kilogram (kg) di gudang Bulog atau naik dari Rp 1.519 per kg pada
Inpres sebelumnya. Sedangkan Harga Dasar Pembelian Beras petani dalam negeri
oleh Bulog adalah Rp 2.790 per kg di gudang Bulog.

Sejumlah kalangan, termasuk sebagian besar petani di daerah, menilai
kenaikan tersebut sudah terlambat karena untuk MT I sudah terlanjur dimulai.

Pada Maret nanti panen akan dilakukan. Jika benar HDG tersebut terkontrol
maka petani tidak mengalami kerugian akibat biaya yang dikeluarkan membeli
sarana produksi pertanian, seperti benih dan pupuk. Ini bisa terjadi karena
ada juga petani, apalagi petani gurem, berutang untuk membeli sarana
produksi tersebut.

Sekalipun terlambat, kenaikan HDG tersebut dinilai pemerintah sudah cukup
berarti bagi petani. Setidaknya dengan HDG tersebut keuntungan usaha tani
meningkat menjadi Rp 1,98 juta per hektare (ha) dari sebelumnya Rp 1,37 juta
per ha.

Adakah dampak bagi petani sesuai hitungan diatas? Kondisi di lapangan
ternyata tidak menunjukkan hal demikian. Petani sulit menikmati kenaikan HDG
tersebut karena tidak lebih dari 24 jam setelah HDG naik justru BBM, tarif
dasar listrik (TDL) dan telepon juga naik. Belum lagi jumlah petani gurem
(dengan lahan di bawah 0,4 ha) yang sebenarnya lebih banyak dibandingkan
dengan petani berlahan di atas 2 ha. Keuntungan seperti analisis diatas akan
meningkat jika kepemilikan lahan semakin besar.

Secara langsung berdampak pada petani adalah kenaikan BBM. Biaya produksi
pun meningkat sedangkan daya beli tetap sama. Sewa traktor dan penggilingan,
misalnya, meningkat seiring dengan harga solar yang baru.

Belum lagi biaya transportasi dan sarana produksi yang meningkat dan
dibebankan pada petani. Harian ini juga melansir jeritan petani dari
berbagai daerah atas dampak kenaikan tarif-tarif itu. Secara kuantitas
terjadi perubahan tetapi riil pendapatan petani tidak jauh berbeda, kalau
tidak mau dikatakan merugi.

Upaya pemerintah untuk mensubsidi harga gas dalam produksi pupuk sebesar Rp
1,3 triliun dan subsidi benih sebesar Rp 24 miliar, tampaknya juga tidak
berdampak pada petani. Mengapa demikian? Untuk subsidi pupuk, selama pola
distribusi pupuk hingga ke petani tidak dibenahi maka subsidi itu tidak
bermanfaat. Lagi-lagi yang akan menikmati subsidi tersebut adalah pabrik
pupuk dan pedagang yang meraup keuntungan dalam distribusinya.

Faktor lain adalah keberadaan Bulog yang mulai mempersiapkan diri menjadi
Perusahaan Umum (Perum) Bulog. Sejumlah kalangan mengkwatirkan posisi Perum
tersebut karena orientasi bisnis akan selalu diutamakan dibandingkan sosial.

Bisa saja target pembelian GKG petani sebanyak 3,5 juta ton atau setara 2,3
juta ton beras tidak dilakukan Bulog jika tidak menguntungkan. Sekalipun
kekwatiran tidak perlu berlebihan karena dalam Inpres tersebut disebutkan
dengan jelas pembelian GKG dilakukan oleh Bulog.

Dengan demikian sebenarnya HDG tidak bisa dijadikan sebagai langkah untuk
mensejahterakan petani. HDG adalah salah satu mekanisme untuk melindungi
petani dari permainan harga, tetapi bukan langkah mendasar untuk menopang
produktivitas padi nasional.

Sekadar analogi yang aktual adalah ketika BBM, TDL dan tarif telepon naik,
pemerintah pun menyiapkan program kompensasi BBM bagi masyarakat miskin.
Padahal, persoalannya bukan pada dana kompensasi tetapi tidak efisien dalam
produksi minyak dan energi. Di sisi lain subsidi dikurangi untuk membayar
cicilan utang luar negeri. Pengurangan subsidi perlu dilakukan tetapi perlu
ada perbaikan secara mendasar.

Uraian di atas hanya menggambarkan bahwa kebijakan makro pemerintah akan
selalu mengorbankan rakyat kecil. Sudah saatnya, petani dan buruh tani juga
harus mempunyai kekuatan politik agar ketertindasan tidak selalu menghantui
mereka.

Dengan demikian tidak saja kekuatan ekonomi petani yang dibangun karena
ketika posisi tawar secara politik tinggi maka kebijakan ekonomi pun akan
berpihak dalam mensejahterakan petani. Suara wakil rakyat maupun partai
politik nyaris tak terdengar di tengah ketidakfairan dialami petani baik
dari dalam maupun dari luar negeri. Jangan sampai kondisi ini membuat
keputusasaan petani benar-benar terjadi. Ingat! Petanilah yang memberi makan
bagi rakyat di perkotaan.*

Last modified: 9/1/2003