[Nasional-m] Protestantisme di Persimpangan Jalan (1)

Ambon nasional-m@polarhome.com
Sat Feb 15 01:37:42 2003


SUARA PEMBARUAN DAILY
Eksklusif

Protestantisme di Persimpangan Jalan (1)
Teologi Jadi Kambing Hitam
Oleh Wartawan "Pembaruan" Cyprianus Aoer


BERAGAM kesan muncul ketika mengikuti lokakarya bertajuk "Protestantisme di
Simpang Jalan" yang diselenggarakan Kelompok Kerja Gereja dan Masyarakat
(KKGM) di Kaliurang, Yogyakarta, 31 Januari sampai 3 Februari. Kegiatan ini
diikuti sekitar 40 peserta dari seluruh Indonesia yang tiap hari bergelut
dengan masalah agama dan kemasyarakatan.

Lokakarya itu diprakarsai Direktur Lembaga Dialog Antar-Iman
(Dian/Interfidei) Th Sumartana, yang keburu meninggal, 24 Januari lalu.
Rencananya, ia bertindak sebagai penceramah utama. Untuk mengenangnya, di
pembukaan lokakarya, setiap peserta membeberkan kesan pribadi tentang
almarhum. Kesan umum menunjukkan bahwa Th Sumartana merupakan pahlawan dalam
memperjuangkan pentingnya kesadaran kemajemukan melalui dialog antariman dan
agama.

Melalui lokakarya itu, Sumartana ingin terus menghidupkan wacana
kemajemukan. Para peserta ada yang penganut Kristen, Islam, dan Katolik.
Suasana keberagaman dalam kebersamaan sangat terasa dalam acara ini. Para
peserta berdiskusi dengan penuh semangat. Mereka beradu argumentasi mencari
jalan keluar dari ragam persoalan yang ditemukan dalam praktik kehidupan
beragama sehari-hari. Terkesan di situ bahwa ternyata tidak hanya agama
Protestan yang ada di persimpangan jalan, tetapi agama-agama lain pun
demikian.

Perbincangan pada hari pertama berpijak pada isu warisan teologi dalam
institusi gereja, PGI sebagai jejaring oikomene dan lembaga pendidikan
teologi. Para peserta mengkritisi "cara berteologi" warisan masa lalu yang
sekarang masih hidup.

Masalah lain yang cukup alot dibicarakan adalah sikap dan pilihan politik.
Isu-isu daerah di Papua, Poso, Maluku, Kalimantan, dan Siantar, juga
mengemuka. Dalam diskusi muncul kecemasan terhadap eksistensi kaum
minoritas. Pemecahannya. apakah merangkul pihak militer sebagai pembela
negara kesatuan atau menolak Islam sebagai kelompok mayoritas. Untuk
merangkul militer masih terkendala adanya kecurigaan terhadap sepak terjang
mereka di masa lalu.

Masalah politis itu dibicarakan terkait dengan isu penerapan syariat Islam
yang dijalankan sebagian politisi Islam. Isu itu seakan menjadi hantu yang
harus dicari pemecahannya. Pembicaraan kemudian merembet ke soal pilihan
politik tanpa panggung (politik kultural) atau politik dengan panggung
(politik struktural lewat parpol).

Persoalan itu dimunculkan para peserta yang antara lain para teolog/pendeta:
Judo Poerwowidagdo (Jakarta), Zakaria J Ngelow (Makassar), A Yewangoe
(Jakarta), Benny Giay (Jayapura), Nelson Siregar (Medan), Martin Lukito
Sinaga (Jakarta), Darius Dubut (Kalimantan), Jacky Manuputty (Ambon), Elga
Sarapung (Yogya), Sylvana Ranti (Jakarta) dan Jaspers Slobe (Belanda). Juga
hadir di sana, Ulil Abshar A dari Lembaga Kajian Islam Liberal. Ulil hanya
muncul pada malam pembukaan. Minggu (2/2) pagi ia mendadak berangkat ke
Jakarta karena anaknya sakit. Ia digantikan Salim juga dari Kajian Islam
Liberal. Peserta lainnya ialah Darmanto Jatman (Semarang), Asmara Nababan
(Jakarta), Bert Adriaan Supit (Manado), dan Trisno Sutanto (Jakarta).

Pada pembahasan "Protestantisme di Persimpangan Jalan," pembahas
mendekatinya melalui perspektif teologis (Martin Lukito Sinaga), sosial
politik (Asmara Nababan), oikomene (A Yewangoe).



Beberapa penanggap mengaku, ada kesalahan pendekatan gereja di masa lalu.
Selain itu, dilontarkan kritik keras kepada institusi gereja.

"Kalau kita bicara mengenai teologi di Indonesia, maka teologi kita belum
berubah dari teologi puji yang menganggap kita sebagai umat pilihan, umat
terpilih dan idiom-idiom seperti itu," kata Zakaria Ngelow berkomentar.
Akibatnya, menurut dia, orientasi keselamatan atau menyelamatkan orang lain
menjadi sangat penting dalam gereja-gereja. Karena itu, harus ada pembalikan
teologi, ujarnya sengit.

Zakaria berpendapat, bahasa mitos harus ditinggalkan dan mulai membumikan
arti Injil. Baginya, teologi pembebasan lebih layak untuk Indonesia. Ia
mengingatkan, teologi puji harus direvisi dan status keterpilihan bukan
untuk mengkristenkan orang. "Gereja-gereja dimusuhi umat lain karena gereja
tidak bermanfaat bagi masyarakat," tandasnya.

Sementara itu, Darius Dubut memberikan tanggapannya bahwa bicara kekristenan
tak bisa dilepaskan dari sejarah Kristen di Indonesia, yang diwarnai
kekerasan, penindasan. Ia mencontohkan penindasan terhadap orang Dayak,
bagaimana mereka dipaksa dikristenkan.

"Ciri yang muncul adalah warna kekuasaan dan kekerasan dalam kekristenan
kita. Budaya lokal dan masyarakat lokal tidak bisa memberi pencerahan karena
tidak pernah ada dialog. Justru terjadi 'pembantaian' terhadap Tuhan dan
budaya masyarakat lokal. Itu sebabnya mengapa gereja lokal ada pada semacam
kebuntuan teologis, tidak berdaya sampai pada titik kebangkrutan karena kita
tidak mampu memberi warna," kata Darius.

Keadaan itu ditambah lagi dengan sistem di lembaga pendidikan. Dosen-dosen
hanya menjadi alat transmisi tanpa memberikan kemampuan bagaimana harus
berteologi. "Mengajarkan tentang teologi itu penting, tetapi yang lebih
peting bagaimana kita mampu berteologi," Darius mengingatkan.

Terlepas dari analisis kontekstual para peserta, disadari bahwa teologi
dijadikan kambing hitam alasan kebangkrutan iman. Artinya, para teolog gagal
menangkap dinamika dan tanda-tanda zaman yang hidup di tengah jemaat.
Pengalaman tersebut semakin sulit dicerna, karena dalam situasi yang sama,
terjadi kerusuhan antarsuku dan penganut agama di beberapa tempat. Hal itu
membuat orang kehilangan kesadaran penghargaan terhadap martabat manusia.

Kesadaran dan kepedulian terhadap suasana sekitar itu, membuat peserta
tersentak. Tidak sempat dipersoalkan, apakah situasi-situasi itu bersifat
eksistensial kronis sehingga tidak dapat diatasi, atau hanya bersifat
psikologis temporer? Namun, sebetulnya untuk mencari tahu alasan tunggal
persoalannya terasa sesak dan terjadi benang kusut. Telah terjadi
keterikatan dan keterkaitan antara agama, kebudayaan, dan politik selama
puluhan tahun. Memang, diskusi itu hendak mencari titik awal dan menemukan
tujuan gerak untuk mengurangi dampak negatif dari kemelut hubungan itu.
Jawabannya terletak pada usulan penyelesaian seperti reinterpretasi
ritus-ritus agama melalui pencerahan teologi dan memberi visi baru kepada
Kristen kultural, atau kerja sama dengan tentara dan partai. Ada pula yang
menawarkan teologi pembebasan.*

Last modified: 13/2/2003