[Nasional-m] Tak anggap Mega saingan berat

Ambon nasional-m@polarhome.com
Wed Feb 12 00:48:05 2003


http://www.surya.co.id/11022003/12c.phtml
Surya

  Tak anggap Mega saingan berat

Pengantar: Prof Dr M Dimyati Hartono SH, mantan Ketua DPP PDIP dan Ketua
Fraksi PDIP DPR, sekarang menjabat Ketua Umum DPP Partai Indonesia Tanah Air
Kita (PITA). Partai baru ini akan mencalonkan pria usia 71 tahun itu sebagai
calon presiden (capres) dalam Pemilu 2004. Dia diwawancarai wartawan Surya,
Junianto Setyadi, di Kantor DPP PITA, Jl Erlangga I No 19, Jakarta. Berikut
petikannya:


----------------------------------------------------------------------------
----

Bagaimana persiapan Anda sebagai capres?

Tentu persiapan pertama persiapan mental. Saya dan keluarga sudah siap. Saya
juga menyadari masa depan itu berat, karena beban yang diwariskan masa
lampau dan sekarang juga berat.

Strategi yang Anda siapkan?

Bangsa ini terjangkit tiga penyakit mental -national mental disease. Yaitu
kehilangan harga diri sebagai bangsa merdeka dan berdaulat, sehingga tak
malu disebut bangsa miskin, padahal kita negara kaya. Kita juga tidak malu
dicap negara nomor satu korupsinya di dunia. Di dalam negeri, para pemimpin
tak malu lakukan pelanggaran hukum, penyalahgunaan kekuasaan, lakukan
penyelundupan.

Penyakit kedua, kita sudah kehilangan kepercayaan diri sebagai bangsa
merdeka dan berdaulat. Tak ada self confidence. Ini terbukti dalam membuat
kebijaksanaan -baik di bidang politik, ekonomi, keamanan- itu
minggrang-minggring (ragu-ragu). Contoh yang jelas, masalah Aceh, Papua,
Maluku.

Di Aceh itu jelas gerakan separatis -mengangkat senjata, melawan
pemerintahan sah- klasifikasinya pemberontak, dan hukumnya ditumpas! Kita
mengajak mereka berunding, kan berarti kita mengakui adanya seperatis dan
menempatkannya sederajat dengan negara berdaulat. Itu karena kita takut
dianggap melanggar HAM, dianggap tidak demokratis. Padahal bangsa merdeka
dan berdaulat itu punya hak mengatur negaranya sendiri.

Penyakit ketiga, para pemimpin sudah tak punya kepercayaan terhadap bangsa
sendiri. Contohnya, begitu persoalan ekonomi akan diselesaikan, pikiran
pertama adalah cari utang, loan, bantuan. Sehingga ke sana-sini kita
terkenal sebagai pengemis. Kita kan negara kaya. Kalau kita urus dengan
baik, rakyat diberi peran ikut dalam pembangunan, maka bangsa lain akan
hormat.

Sebagai politisi bergelar guru besar, Anda juga bermaksud merekrut pemilih
kalangan intelektual?

Saya tidak membuat segmen-segmen pendukung. Rakyat -dalam berbagai lapisan-
itulah yang saya harapkan mendukung saya.

Siapa saingan berat Anda dalam Pemilu 2004?

Saya tak menganggap ada yang berat. Karena saya mendengar aspirasi rakyat.
Latar belakang mengapa PITA mengambil keputusan saat ini, karena aspirasi
rakyat yang disampaikan kepada partai bahwa rakyat sudah jenuh dengan
keadaan sekarang.

Rakyat sudah tak punya kepercayaan kepada para pemimpin berkuasa. Rakyat
membutuhkan tokoh baru yang dipercaya, yang menurut mereka harus memiliki
kriteria bersih, jujur, dan memiliki kemampuan intelektual andal.
Teman-teman melihat saya bersih karena tak terlibat masalah beban politik
masa lampau, juga tak terlibat korupsi.

Bagaimana dengan Mega?

Tak ada satu pun saya anggap berat. Masing-masing punya kelebihan, tapi juga
banyak kekurangannya.

Apa kendala yang akan menghadang Anda?

Satu, PITA adalah partai baru yang harus memenuhi kriteria dalam UU Parpol
dan UU Pemilu. Tetapi kendala terberat waktu pemilu dan pemilihan presiden
adalah money politics. Kita mendapat informasi, saat ini partai-partai besar
yang berkuasa, sedang berusaha mengumpulkan dan agar menang pemilu dan tetap
pegang kekuasaan, dan jago-jagonya dapat diangkat sebagai RI-1 atau RI-2.
Untuk itu mereka siapkan uang banyak.

Tetapi saya punya keyakinan, rakyat sudah belajar dari pengalaman puluhan
tahun bahwa duit memang enak, tapi kalau diterima dengan cara mengorbankan
suara, masa depan mereka dan anaknya, generasinya akan hancur. Karena itu,
saya yakin, walau disediakan uang berapa triliun pun -untuk membeli suara-
mungkin duitnya diterima tapi suaranya mungkin tak diberikan kepada yang
memberikan duit.

Ada semacam rahasia umum bahwa untuk menjadi presiden harus memperoleh
dukungan militer, dukungan internasional dan dukungan kelompok Islam.
Tanggapan Anda?

Ada dua hal saya yakini. Satu, saya akan bisa jadi presiden apabila Tuhan
menghendaki. Kedua, dapat dukungan rakyat. Dan yang saya dapat melalui PITA
saat ini, itulah wujud dari dukungan rakyat yang pada waktunya harus
diperbesar.

Apa yang akan Anda 'jual' supaya terpilih?

Tentu program, visi dan misi partai. Yang secara idiil kita ingin mejadikan
Indonesia sebuah negara maritim besar. Kesalahan pembangunan selama ini,
karena selalu berorientasi ke darat. Sedang kita bukan benua daratan tapi
negara kepulauan. Ini harus diubah, dari orientasi ke darat menjadi negara
kepulauan di mana laut mendapat perhatian, sehingga tidak terjadi
kesenjangan antara kawasan Indonesia Timur dan Indonesia Barat.

Siapa saja tokoh-tokoh terkenal di PITA?

Tidak ada. Karena dari dulu dibangun tanpa nama terkenal. Alasannya,
orang-orang terkenal di bidang politik, ekonomi, kebanyakan dibesarkan pada
zaman Orde Baru, dan itu banyak celanya.

Hanya dengan 12 pengurus

Prof Dr M Dimyati Hartono SH pernah menjadi salah satu orang dekat Megawati
dan kuasa hukum Mega. Ia pernah punya jabatan penting: Ketua DPP PDIP juga
Ketua Fraksi PDIP DPR. Namun menjelang Kongres PDIP di Semarang, Maret 2000,
ia mulai dianggap bermusuhan. Penyebabnya, Dimyati tampil sebagai calon
Ketua Umum PDIP, bersaing dengan Mega. Setelah itu, Dimyati tampak tak enjoy
lagi di PDIP. Pria kelahiran Malang, Jatim, 3 Maret 1932 ini kemudian
mendirikan dan menjadi Ketua Umum Partai Indonesia Tanah Air Kita (PITA).
"PDIP bukan tempat saya lagi," katanya, ketika mendeklarasikan PITA, 7 April
2002 lalu. Dimyati kini banyak menggunakan waktu untuk PITA. Dalam
kepengurusan harian PITA, kata dia, hanya ada 12 orang -itupun tak ada nama
terkenal. Berapa kantor PITA di daerah? "Kita sudah ada di 24 provinsi,
dengan DPC masing-masing di atas 50 persen," katanya kepada Surya, menolak
mengungkap berapa banyak massa riil PITA. (junianto setyadi)

Apakah rakyat tahu kiprah PITA?

Ketua DPP PDIP Imam Mundjiat tergerak mengomentari pencalonan Dimyati
Hartono sebagai capres. Berikut penuturan penasihat Fraksi PDIP DPR ini
kepada Surya, Minggu (9/2) malam:

Pak Dimyati dicalonkan sebagai presiden, sah saja. Karena beliau profesor,
doktor, perjalanannya panjang. Dedikasi dan tekadnya tak diragukan di
tingkat regional maupun nasional. Dan dia ketua umum partai. Dari segi
pengalaman kemasyarakatan juga sudah tinggi.

Tapi dari segi praktis -selain segi ideal itu kan perlu persyaratan
demokratis- dalam gelanggang demokrasi itu yang dibutuhkan kan suara. Basis
massa yang riil. Pertanyaannya, -saya bukan melecehkan- apakah partai Pak
Dim itu, yang baru muncul, apakah rakyat begitu cepat mengerti peran,
kualitas atau kiprah partai itu?

Soal Pak Dim yang merasa bersih dari beban Orde Baru, menurut saya, apa yang
disampaikan Pak Dim itu benar. Tapi, kenyataan di lapangan, proses penegakan
hukum kita kan masih tertatih-tatih. Artinya, meski ada tokoh yang kena
proses masa lalu, nyatanya proses hukumnya kan tertatih-tatih.

Ambil contoh Pak Akbar Tandjung, Pak Ginandjar, dan tokoh lain. Orang tahu
kalau itu ada proses beban Orde Baru. Tapi itu kan baru pemojokan opini,
sedang keputusan hukumnya kan masih susah sekali!

Saat Pak Dimyati di PDIP, saya mengharapkan beliau tabah, berjuang terus
menegakkan yang kita anggap benar. Tapi beliau dengan saya ada perbedaan.
Saya kan (waktu itu) orang dekat beliau. Beliau merasa tak tahan di tubuh
PDIP yang beliau anggap banyak hal janggal, tidak demokratis, tidak beres,
menyalahi komitmen (sehingga keluar dari PDIP).

Tapi di satu sisi, di negara demokrasi, di dalam pemilu diperlukan suatu
kendaraan atau satu rumah -yang kita sebut parpol- yang harus punya basis
massa kuat. Di sinilah perbedaan beliau dengan saya. Saya menganggap, PDIP
bagaimanapun dalam pemilu mendatang masih merupakan partai besar. Kalau kita
keluar dari partai besar itu, proses pembangunan partai baru itu kan perlu
sosialiasi.

Tapi saya juga melihat kelebihan Pak Dim. Satu, komitmennya tinggi. Kedua,
ada keberanian menyatakan yang benar itu benar, salah itu salah, meski penuh
risiko. Ketiga, analisanya sistematik.

Lalu apakah Pak Dim keluar dari PDIP karena kecewa terhadap Mega? Saya kira
(kalau ada) perasaan Pak Dim begitu, itu benar. Merasa dijauhi, merasa jadi
potensi pajangan dan nggak pernah digunakan. Saya bisa memahami dan
membenarkan perasaan itu. Tapi sejarah kan membuktikan, apa itu Gus Dur,
Mega, apa itu Bung Karno, semua mengalami proses. Dan kita ada kewajiban
melakukan pendekatan terus. (junianto setyadi)