[Nasional-m] Membongkar Mitos Pembangunan

Ambon nasional-m@polarhome.com
Sun Feb 2 23:36:04 2003


http://www.sinarharapan.co.id/berita/0301/31/opi02.html

Membongkar Mitos Pembangunan
Oleh Fransiskus Borgias M.

Judul tulisan ini adalah Membongkar Mitos Pembangunan. Ada yang mengartikan
mitos sebagai dongeng. Konotasi dongeng ialah fiksi, rekaan, bahkan bualan.
Maka judul tadi dapat diubah menjadi ”Membongkar Dongeng Pembangunan.”
Pertanyaannya ialah, benarkah pembangunan itu hanya sebuah mitos, dongeng,
atau ideologi belaka? Tentu ini sebuah pertanyaan besar yang sulit dijawab
dalam artikel pendek seperti ini. Tetapi tulisan ini bermaksud menunjukkan
sedikit hakekat pembangunan itu, yang ternyata tidak selalu merupakan
euanggelion, khabar baik, bagi manusia. Tidak jarang ia menjadi khabar atau
mimpi buruk yang mengerikan (terrifying nightmare) bagi sebagian besar
manusia.

Pembangunan yang Keliru
Seperti dalam ilmu kesehatan ada istilah malnutrisi dan dalam dunia praktik
kedokteran ada istilah malpraktik. Demikian juga dalam pembangunan ada
istilah maldevelopment, yakni: pembangunan yang keliru (seperti tampak dalam
judul bagian ini). Ternyata pembangunan tidak selalu menjanjikan jalan lurus
dan datar bagi manusia, subjek pembangunan. Istilah pembangunan yang keliru
(maldevelopment) ini mengacu kepada gagalnya ikhtiar sekelompok orang dalam
mengembangkan sistem politik dan ekonomi yang mampu memenuhi kebutuhan
manusiawi yang paling esensial dan memberikan suasana lingkungan politis
yang relatif stabil dan aman kepada masyarakat. Maka di sini kita pun sadar
bahwa pembangunan itu selalu ditandai oleh ambiguitas.
Paling tidak ada delapan gejala yang menunjukkan maldevelopment itu.
Semuanya menunjukkan bahwa banyak kebijakan ekonomi yang berorientasi pada
pertumbuhan (fisik) belaka, yang ditetapkan pemimpin politik-ekonomi pada
era pascaperang dunia II, justru tidak menciptakan masyarakat yang stabil,
efisien dan adil di sebagian besar negara-negara berkembang. Pertama, gejala
kesenjangan pendapatan yang amat besar antara bangsa kaya dan miskin, antara
orang kaya dan orang miskin, antara Dunia Pertama dan Dunia Ketiga, antara
Utara dan Selatan. Dengan sangat mudah kita dapat melihat dan merasakan
bahwa Belanda kaya dan Indonesia miskin; Perancis kaya dan Vietnam, Laos,
Kamboja, serta Aljazair miskin, dan seterusnya. Kita pun amat mudah
merasakan bahwa ada perbedaan besar antara daerah kumuh pinggiran rel kereta
api Jatinegara dan Green Garden atau Kelapa Gading atau Bumi Serpong Damai.
Atau antara kampung nelayan miskin Muara Angke dan kawasan mewah-elite,
Pantai Kapuk Indah. Atau antara kawasan padat (kumuh) Cicadas-Kosambi dan
Batu Nunggal maupun Bumi Baru Parahyangan di Bandung.
Kedua, gejala pengangguran. Banyak orang miskin, yang umumnya berdiam di
pedesaan, tidak mampu terlibat dalam lingkaran proses produksi di sana.
Entah karena mereka miskin, atau terutama karena mereka hanya berstatus
petani penggarap yang lemah, yang tidak memiliki banyak bahkan tidak
memiliki apa-apa, selain tenaga jasmani dan alat kerja seadanya. Maka
akibatnya mereka pun berurbanisasi sehingga menimbulkan masalah pengangguran
di kota. Jika pengangguran meningkat, muncul soal-soal baru seperti
kerawanan sosial, keguncangan pola hubungan keluarga tradisional dan pola
aktualisasi sosio-kultural lembaga otoritas tradisional. Tentu pada
gilirannya hal-hal ini membawa masalah baru juga.
Ketiga, maldevelopment membawa ancaman serius bagi lingkungan hidup. Alam
tercemar, terkontaminasi. Akibatnya semakin sulit rasanya menyediakan air
dan makanan sehat dan bersih bagi manusia dan hewan. Dalam situasi seperti
ini, apa yang paling berbahaya bukan lagi malnutrisi (sebagaimana dicemaskan
banyak orang), melainkan keracunan yang berlangsung perlahan-lahan tetapi
pasti. Keempat, gejala kesenjangan dalam pelayanan kesehatan. Banyak orang
yang butuh layanan kesehatan, justru sulit atau bahkan tidak mendapat
layanan kesehatan. Seakan-akan di antara kebutuhan mereka akan kesehatan dan
teknologi layanan dan jasa kesehatan itu ada jurang besar yang tidak
terjembatani. Kelima, gejala rendahnya perhatian terhadap pendidikan.
Ternyata perhatian terhadap pendidikan di bagian dunia yang termiskin
amatlah rendah. Mudah dipahami bahwa dalam konteks kemiskinan, pendidikan
pun menjadi barang kebutuhan mewah. Tragis, apa yang seharusnya menjadi hak,
akhirnya terasing dari orang yang berhak atas pendidikan itu. Dalam
kemiskinan urusan pokok ialah perut dan bukan pendidikan yang menyangkut
otak (budi). Dengan mengatakan demikian, tidak berarti bahwa kemiskinan
identik dengan kebodohan. Sama sekali tidak. Tidak jarang kepintaran itu
merupakan sesuatu yang muncul ”by nature and not always by nurture.”
Keenam, gejala ketimpangan dalam pola produksi dan investasi. Tidak dapat
disangkal bahwa pola ini lebih memantulkan evolusi-historis sistem ekonomi
internasional. Dalam sistem itu, Dunia Ketiga dianggap sebagai pensuplai
bahan mentah, sumber tenaga kerja murah, dan pasar surplus hasil industri.
Dunia Ketiga pun menjadi tempat investasi bagi pemilik modal dan lembaga
dana internasional demi kelancaran sirkulasi modal mereka. Konon ada
kira-kira 38 negara-bangsa di Selatan yang mendasarkan kehidupan ekonominya
pada perdagangan ekspor satu-dua komoditas. Tetapi barang ekspor mereka
sangat rendah harganya, padahal harga hasil industri (dari negara industri)
amat tinggi.
Ada kesenjangan besar dalam perdagangan sehingga pendapatan pun menjadi
sangat timpang. Tragisnya lagi, negara-negara itu mencoba mengatasi masalah
ini dengan menaikkan jumlah pinjaman dari jaringan ekonomi internasional.


Lebih lanjut hal itu berarti lilitan utang yang semakin kuat dan panjang.
Penjadwalan ulang pencicilan utang tidak dapat banyak menolong memutuskan
lilitan yang menyesakkan napas itu.
Itulah yang dialami Indonesia saat ini dalam relasi dan ”kerjasama”-nya
dengan badan-badan dunia seperti IMF, CGI, Paris Club, dan London Club, dan
lain-lainnya. Tragisnya situasi Indonesia ini semakin diperparah lagi oleh
datangnya era pasar bebas yang kini terasa semakin memusingkan.
Ketujuh, gejala kemiskinan-kultural yakni kondisi malaise yang mempengaruhi
cara orang miskin berpikir, merasa dan berinteraksi dengan dunia. Kiranya
inilah bidang paling mendasar (karena menyentuh mental dan kultur), dimana
gejala maldevelopment itu tampak paling nyata. Memang indikator
maldevelopment itu paling jelas menggerogoti sistem nilai, kebiasaan,
hubungan keluarga, adat, dan praktek keagamaan. Tidak dapat disangkal bahwa
ide pembangunan merupakan proses historis yang memantulkan nilai Barat.
Tujuan pembangunan memantulkan kepentingan dan pandangan mereka mengenai
berhasilnya suatu proses sosial.
Agar bisa memahami maldevelopment orang harus mencakupkan kesadaran
bagaimana insensitivitas kultural dan strategi pembangunan yang tidak tepat
menyebabkan banyak negara menjadi tidak mampu untuk memulai proses
pembangunan. Banyak negara ”penyumbang” mengabaikan dua persoalan. Yaitu,
masalah rintangan kultural, dan kenyataan bahwa banyak negara sebenarnya
belum siap menyerap teknologi baru, arus penanaman modal dan dampaknya, dan
segi-segi lain dari modernisasi Barat. Ketidaksiapan ini disebabkan oleh
tingkat perkembangan ekonomis, politis, dan sosial mereka.
Kedelapan, gejala kekerasan sipil dan struktural-internasional. Model
kekerasan ganda ini selalu mengancam dunia, baik pada kurun perang dingin
maupun sesudahnya. Berkaitan dengan hal ini, ada suatu kenyataan pahit:
ternyata anggaran militer dunia jauh lebih besar ketimbang anggaran untuk
pangan dan pendidikan. Bayangkan saja, berapa banyak uang yang dialokasikan
Amerika untuk anggaran militernya saat ini dalam rangka menyerang Irak.
Sementara itu ada banyak anak yang mati karena kekurangan gizi, baik di Irak
(karena embargo minyak) maupun di Afrika, dan tidak lupa juga di Indonesia
ini.
Selain itu, negara-negara selatan yang miskin ada banyak orang mati akibat
kekerasan sipil dan karena kekerasan struktural-internasional. Kekerasan
ganda ini dipertajam lagi oleh konflik etnik internal akibat pertikaitan
ideologis, agama, dan persaingan geopolitis Amerika-Rusia demi merebut
hegemoni wilayah strategis pada era perang dingin. Saat ini hal itu semakin
dipertajam lagi oleh pertarungan kepentingan antara adidaya Amerika Serikat
(yang seringkali dicap sebagai ”polisi” dunia) dan penguasa politis yang
sangat menentangnya (seperti kasus Irak dan Korea Utara saat ini).

Catatan Penutup
Dalam konteks delapan gejala maldevelopment di atas tadi, tidak terlalu
meleset jika dikatakan bahwa masyarakat yang rusak akibat kekerasan,
kemiskinan, kemelaratan, ketidakadilan, kesenjangan, akan sulit sekali
menggapai kemakmuran dan stabilitas ekonomi. Pada gilirannya hal ini akan
berdampak pada bidang politis, yaitu kesulitan dalam membangun dan menjamin
stabilitas politis serta kesulitan dalam proses membangun dan menjamin
budaya pemerintahan yang demokratis.
Jika demikian adanya, maka dalam jangka panjang, bisa jadi semuanya akan
bermuara kembali pada militerisme otoritarian; sebuah prospek yang sangat
muram bagi kemanusiaan dan bagi terbentuknya cita-cita masyarakat madani.
Mitos pembangunan pun ternyata tidak lebih dari sekadar sebuah mimpi buruk.
Cita-cita lepas landas—yang menjadi idealisme dalam mitos pembangunan—hanya
menghasilkan suatu realitas tanpa landasan. Hal ini seperti membangun rumah
di atas pasir. Sungguh berbahaya!

Penulis alumnus adalah Katholieke Universiteit Nijmegen, Belanda; Dosen
Fakultas Filsafat Universitas Parahyangan, Bandung.
.