[Nasional-m] Sekuntum Bunga untuk Presiden Mega

Ambon nasional-m@polarhome.com
Sat Sep 28 00:24:13 2002


Kompas
Sabtu, 28 September 2002

Sekuntum Bunga untuk Presiden Mega
Oleh Rahman Arge

KETIKA Bung Karno memberi nama salah satu putrinya dengan kata Mega, ada
yang terasa berarak di ketinggian. Begitu sang ayah merampungkan Mega dengan
Wati, membumilah sang mega; bahkan tak nyangkut di starata kraton, melainkan
adalah Megawati terkesan kuat sebagai nama wanita Jawa biasa.
Bung Karno mungkin merasa, putrinya yang satu ini kelak akan berarak di
ketinggian, namun hanya Tuhan yang tahu. Kini Megawati Soekarnoputri,
Presiden RI. Maka Bu Mega, Anda itu presiden saya; presidennya bangsa besar
ini. Jadi, ke mana Anda pergi, di dalam atau di luar negeri, lewat rasa
lewat pikir, saya dan Bangsa besar ini mengikutimu. Karena cinta, tentu
saja. Karena Anda tak sekadar "Mega" tapi "Wati", sang Marheini dimana
harapan kami selalu mempertanyakan, apa sajakah yang lewat tangan-tangan
halusmu bisa melahirkan karya-karya untuk bangsa yang sudah lama merindukan
hadirnya pemimpin ini?
Ada yang bilang, Anda itu Spinx yang diam. Kecuali senyuman yang
terpelihara, Anda juga konon memelihara dan menyenangi bunga. Suatu gabungan
kesan (impresi) yang sesungguhnya manis, yaitu diam, senyuman, bunga.
Tidakkah ini tipe wanita ideal yang tak hanya Jawa tetapi Indonesia, yang
Anda miliki?
***
DI suatu tempo, di teras Gedung DPR, suami Ibu, Bung Taufik Kiemas yang
selama lima tahun bersama saya sebagai anggota Komisi I DPR, memperkenalkan
Anda kepada saya. Saat itu, Bung Taufik menobatkan saya sebagai "abangnya".
Karena sebagai sahabat, Bung Taufik tak sembunyi-sembunyi pada saya, betapa
Anda tengah habis-habisan dicegat Presiden Soeharto untuk tidak tampil
memimpin Partai Demokrasi Indonesia (PDI).
Kata lain, saat itu Anda sedang terzalimi! Tetapi yang terkesan bagi saya,
senyuman ideal wanita Indonesia itu, tak hilang-hilang dari bibir Anda.
Hanya dari jarak setengah meter, saya menatap senyuman itu. Saya bayangkan
betapa paripurna wanita ini jika mengenakan kebaya. Dalam imajinasi saya,
inilah wanita khas Jawa yang luka hatinya tak membayang, yang selalu eling
ke dalam dirinya dan ber-tepo-seliro (empati) ke arah luar, pada orang-orang
lain, pada cakrawala yang luas. Anda saat itu lebih muda tujuh atau delapan
tahun, saat keindahan telah terluka. Misteri darimanakah ketegaran itu Anda
peroleh?
Saat Anda menjadi Wakil Presiden (Wapres), Anda menerima kami
(wartawan-wartawan Indonesia) pada Hari Pers Nasional di Istana Wapres.
Senyuman itu tak juga hilang oleh kedudukan. Sehingga setelah bertemu
Abdurrahman Wahid, Presiden RI, sehari sebelumnya di Istana Negara, yang
terkesan bersuasana gerah, berhubung pidato beliau beruap "murka", Andalah
yang menyebar kesejukan di depan kami, dengan pidato yang cukup cerdas dan
sedikit malu-malu.
Saat Anda sudah dalam kualitas Presiden, diberitakan oleh stasiun-stasiun
televisi pada tengah malam, di Johannesburg (Afrika Selatan) saat selesai
pidato di forum KTT Bumi, Anda keluar dari kebiasaan diam. Kepada pers, Anda
sempat menjawab pertanyaan tentang "nasib tragis ratusan ribu TKI yang
terusir dari Malaysia".
Sebagai wartawan, naluri saya mencium bau yang rada "sengit" pertanyaan
wartawan kepada Anda: "Mengapa Ibu di sini, sementara di Tanah Air para TKI
menunggu tepo-seliro Anda?" Kira-kira, begitulah. Tanpa dinyana, Anda
menyebut dua hal kepada pers. Sebagai wanita Jawa yang punya kepekaan "rasa"
paripurna, mestinya Anda tak perlu mengucapkannya. Mungkin sedang lelah,
sehingga terbit kata-kata (yang rasanya) kurang pantas. "TKI itu kan urusan
Pemerintah Daerah?" Ini merupakan ketidakpantasan pertama. Kedua, "Ah, itu
kan di-besar-besarkan oleh pers!"
Seakan lupa, Anda itu Kepala Negara. Dan masalah TKI adalah urusan
antarnegara. Tentang pers, Anda terkesan mencari-cari kambing hitam. Ibu
Mega, saya tak perlu ikut-ikutan mendramatisasi ucapan Anda, namun hati saya
bertanya, "Dimanakah kehalusan yang cerdas, yang kaya empati, yang Mega
tetapi juga Wati, yang dalam dirinya terkombinasi tiga hal itu, diam,
senyum, bunga?
Orang banyak lalu membanding-bandingkan Anda sebagai Presiden RI dengan
Presiden Filipina, Gloria Macapagal-Arroyo yang tak tega meninggalkan negeri
lalu terjun belepotan di tengah perih-pedih tenaga kerja negeri Jose Rizal
itu. Ini logis saja. Ketika sebuah bangsa tak lagi memiliki "daya-banding"
kepemimpinan dalam negeri, lalu melayang-layang keluar wilayah negeri
sendiri, mengendus-endus idola (seperti Ratu Adil) negeri orang lain.
Jika saya ditanya orang, kepada siapakah mestinya membanding-bandingkan
Presiden Megawati? Sukar menjawabnya. Tetapi karena saya punya pengalaman
saat berkenalan di teras gedung DPR-RI saat Anda terzalimi, maka saya punya
jawaban. "Tak usah banding-bandingkan Presiden kita yang satu ini dengan
siapa-siapa! Bandingkan Presiden Mega dengan Bu Mega sendiri, saat ia masih
teraniaya oleh Soeharto. Adakah yang berubah? Artinya, Mega Sang Presiden
berkacalah kepada Mega-historis-teraniaya. Kembalilah kepada posisi
nurani-populis, eling, teposeliro pada penderitaan rakyat, khususnya
pengembara yang tak henti berlari, yaitu TKI."
Sudahlah. Kita justru berusaha jangan sampai kehilangan Bu Mega yang dibawa
terbang ke ketinggian kekuasaan (power-tend-to-corrupt) sebagai Presiden.
Kita harus mencegahnya, karena kita mencintainya. Tetapi sejarah bicara;
Brutus, sahabat yang amat mencintai Julius Caesar, justru atas nama cinta,
menikamkan belati ke rusuk sang penguasa itu, lantaran "kekuasaan" tak lagi
membumi, memanusia! Saya adalah Brutus, dan bangsa besar ini adalah Brutus
yang mencintai pemimpinnya. Namun, kita cukup menjadi menjadi Brurus-Brutus
di level yang mengawasi, yang menggonggong, yang mengingatkan.
***
JIKA saya memberi judul kolom ini dengan Sekuntum Bunga Buat Presiden Mega,
itu tak lain dari metafora yang "mengingatkan!" Apakah bunga itu? Seorang
wanita negro tua (Afro-Amerika), di pinggiran kota New York, hidup miskin
seorang diri, namun pekarangan gubuknya penuh ditumbuhi bunga. Ia berkata:
"Bunga adalah cara Tuhan tertawa." Hidup, dalam keadaan apa pun, jadi ceria.
Dan saya percaya Bu Mega, Anda pasti masih menyenangi bunga.
KTT-Bumi di Johannesburg mengingatkan saya pada buku tua Only One Earth yang
tak lain menjadi salah satu corong untuk berseru: "Ayo, dong, kita kan cuma
punya satu-satunya bumi! Maka rawatlah, bagai merawat satu-satunya kekasih,
yaitu cermin diri sendiri; sang penghuni bumi!" Tetapi bumi toh kian keropos
dari cinta, sehingga di Johannesburg, mestinya Presiden Mega pake gaya-gaul,
naik podium dengan sekuntum bunga, tanpa kata, tanpa pidato. Sebab tidakkah
wanita negro tua yang berkata "bunga adalah cara Tuhan tertawa", saluran
darahnya mengalir dari Afrika? Sebab bunga sebagai cara Tuhan tertawa,
mengandung "makna" bunga adalah bibit awal dari keceriaan Tuhan ketika
menciptakan hutan-hutan, sungai-sungai, gunung-gunung, margasatwa, bagi
kebahagiaan umat manusia.
Dari sisi inilah, saya masih meletakkan harapan. Sekembali Presiden Mega ke
Tanah Air, yang pertama perlu dikerjakan adalah menata kembali "Bumi
Pertiwi" dari pemusnahan oleh tangan-tangan kotor. Sehingga suatu saat
kelak, dengan kepemimpinan-kepemimpinan baru negeri, tak ada lagi penghuni
bumi Indonesia berlarian dari Tanah Air-nya sendiri, menjadi TKI yang
memuja-muja "surga" yang ternyata berujung "neraka" di negeri orang, karena
di negeri sendiri tak ada lagi lahan dan peluang untuk menjadi manusia utuh,
dengan martabat yang terjaga, dan harga diri yang terpelihara.
Bu Mega, Presiden saya, Presiden bangsa besar ini, jangan risau didakwa
sebagai Spinx yang diam. Tetapi jangan pula berpatokan pada pepatah lama,
"diam itu emas." Sebab, bagi saya, pepatah lama ini sudah perlu digugat
"diam itu emas" terkesan "diam" yang emas di dalam dirinya sendiri. Saya
berpendapat, jadilah pribadi "diam" yang menelorkan "emas". Inilah, saya
kira, inti filosofi Jawa tepo seliro alias empati (yang cakrawalanya
mengIndonesia); yaitu kekuasaan yang mengajak; yang mengayomi; yang Mega
sekaligus Wati! Dalam arti: membagi-bagi "Emas" berupa rasa memiliki
(rakyat) terhadap Tanah Air-nya sendiri, lantaran Tanah Air dibuat pantas
oleh pemimpinnya untuk dihuni! Sebagai home yang menebarkan kesejukan, rasa
aman, keadilan, kesejahteraan.
Maka "diam" atau "cerewet"-nya sang pemimpin bukan ukuran, tetapi hasil
kerja apa yang ditelorkan. Seperti kata Deng Xiao Pheng, pembaharu negeri
Cina: "Bukan hitam atau putihnya bulu kucing, tetapi apakah si kucing bisa
menangkap tikus?"
Rahman Arge Wartawan, mantan anggota Komisi I DPR
Search :










Berita Lainnya :
•Tajuk Rencana
•REDAKSI YTH Kompas tidak mengembalikan surat-surat yang diterima.
•Bangsa Setengah Pahlawan
•Pojok
•OOM PASIKOM