[Nasional-m] Mengembalikan Kesadaran Kemanusiaan

Ambon nasional-m@polarhome.com
Thu Sep 26 21:48:02 2002


Sinar Harapan
26/9/2002

 Catatan untuk Ayub Sani Ibrahim dan Reza Indragiri Amriel
Mengembalikan Kesadaran Kemanusiaan
Oleh Imam Cahyono

Polemik antara Ayub Sani Ibrahim (”Agresi, Fenomena Masyarakat Atas dan
Bawah”, SH, 12/9) dan Reza Indragiri Amriel (”Memanusiakan Manusia,
Keharusan Masyarakat Atas dan Bawah”, SH, 18/9) menarik untuk didiskusikan.
Hanya saja, polemik tersebut menjadi sangat elitis karena cenderung menarik
gejala sosial pada wilayah teoretis ilmiah. Sangat disayangkan juga, kedua
penulis tidak mengajukan alternatif solusi yang memadai.
Agresi sebagaimana dipaparkan kedua penulis diatas tak lain dari bentuk
krisis kemanusiaan yang sangat akut, kronis. Kita melihat dengan jelas,
kesadaran kemanusiaan mengalami penurunan drastis, degradasi
hancur-hancuran.
Kekerasan, kebrutalan, kekasaran, dan sadisme terus terjadi. Masyarakat
seolah terlena melakukan ”ritual” tersendiri dengan melakukan tindakan
kekerasan yang merugikan sesamanya. Apabila hal ini terus dibiarkan, bukan
tidak mungkin akan menjadi ritual penghancuran kemanusiaan.
Fenomena agresi yang melanda kehidupan masyarakat tak lagi sebatas pada
wilayah individual (individual fact) melainkan sudah melebar pada tataran
sosial (social fact) yang berarti menimbulkan dampak kolektif. Dengan
demikian, solusi untuk mengatasinya juga harus kolektif pula.
Tulisan ini akan difokuskan menelisik agresi dalam perspektif sosiologis.
Dalam konteks ini, agresi tidak dikotak-kotakkan pada masyarakat atas maupun
bawah akan tetapi dilihat sama.
Selain disebabkan gejala psikologis, agresi juga sangat dipengaruhi oleh
faktor sosiologis. Apabila dikaji mendalam, fenomena agresi ini sebenarnya
sangatlah wajar dan logis. Agresi dapat dipahami sebagai cermin masyarakat
yang sakit.
Masyarakat seperti kehilangan pegangan akan jati dirinya karena menghadapi
kenyataan yang tumpang tindih, menjenuhkan dan membosankan. Masyarakat yang
sedang mengidap penyakit schizofrenia, berkepribadian mendua, tak mampu
keluar dari kemelut yang dihadapinya.
Mereka menderita frustasi karena berbagai persoalan hidup yang
melingkupinya. Ketidak adilan ekonomi, dislokasi sosial (perubahan
masyarakat) seperti pemutusan hubungan kerja (PHK), mengakibatkan tingginya
angka pengangguran serta meningkatnya beban hidup.
Masyarakat jenuh terhadap hukum yang hanya menjadi slogan tanpa penerapan
yang konsisten dan adil. Pembusukan di sektor peradilan menjadikan mereka
tak percaya lagi pada aparat penegak hukum.
Dalam situasi yang serba sulit, masyarakat merefleksikan sikapnya dalam
berbagai bentuk mulai dari kontemplasi, mendekatkan diri pada agama, bunuh
diri sampai pada bentuk tindakan agresif lainnya. Ironisnya, tindakan
agresif itu lebih dominan sehingga muncul hampir pada segenap lapisan
masyarakat.
Menurut sosiolog Emile Durkheim (1964), gejala sosial itu riil dan
mempengaruhi kesadaran individu serta perilakunya yang berbeda dengan
karakteristik psikologis, biologis atau karakteristik individu lainnya.
Durkheim mengemukakan tiga karakteristik yang berbeda tersebut.
Pertama, gejala sosial bersifat eksternal terhadap individu. Dalam konteks
ini, cara bertindak, berfikir dan berperasaan yang dilakukan seseorang
dilihat sebagai sesuatu yang berada diluar kesadaran individu.
Kedua, bahwa fakta itu memaksa individu. Seseorang dipaksa, dibimbing,
diyakinkan, didorong atau dengan cara tertentu, dipengaruhi oleh pelbagai
fakta sosial dalam lingkungan sosialnya.
Jadi, tindakan individu sangat dipengaruhi oleh realitas sosial di
sekitarnya, atau lebih gamblangnya, individu dibentuk oleh masyarakatnya.
Adagium ”Jika ingin menjadi pintar maka bertemanlah dengan orang pintar,
jika ingin menjadi jahat maka bertemanlah dengan penjahat” berlaku dan
terbukti disini.
Ketiga, fakta itu bersifat umum atau tersebar secara meluas dalam
masyarakat. Dengan kata lain, fakta sosial itu merupakan milik bersama,
bukan sifat individu perorangan. Fakta sosial benar-benar bersifat kolektif
sehingga pengaruhnya tehadap individu merupakan hasil dari sifat kolektif
ini.
Lebih mudahnya, metodologi dasar yang ditawarkan Durkheim, bahwa fakta
sosial harus dijelaskan dalam hubungannya dengan fakta sosial lainnya. Fakta
sosial harus dicari kaitannya diantara fakta sosial lainnya yang
mendahuluinya dan bukan diantara kesadaran-kesadaran individu.
Mozaik kehidupan berbangsa dan bernegara yang sarat dengan intrik, konflik,
memberikan andil yang sangat besar dalam pola dan perilaku masyarakat. Di
negeri ini, etika dan moralitas yang santun sangat sulit ditemui.
Sebaliknya, kebangkrutan moral, korupsi, manipulasi, politisasi, merasuk
(intitutionalized) sampai pada sendi-sendi kehidupan masyarakat yang
terkecil yaitu keluarga. Masyarakat pun banyak belajar dari apa yang mereka
lihat, belajar dari apa yang dijumpai dalam keseharian.
Masyarakat belajar dari kehampaan hidup berbangsa. Mereka belajar dari
kemiskinan budaya yang melanda, kesemuan realitas yang mengurung,
kebangkrutan moral yang menimpa, kedangkalan spiritual

yang fatal, berbagai virus sosial yang menjangkiti dan berbagai patologi
budaya yang terus menggerus.
Mereka belajar dari negeri yang sangat menyeramkan. Wajah bangsa yang
dipenuhi borok krisis ekonomi, kekacauan politik, kerusuhan sosial,
kehancuran budaya dan kerusakan lingkungan yang amat menakutkan. Masyarakat
belajar dari bangsa yang penuh kemuraman, dengan hati penuh kekacauan dan
dengan jiwa yang penuh ketakutan.
Kemana pun mereka memandang, yang mereka saksikan hanyalah kekerasan,
kebrutalan, kesadisan, teror, intimidasi, provokasi. Kemanapun mereka
menoleh, yang ada hanyalah kepalsuan, kebohongan dan kepura-puraan.
Kerakusan, ketamakan, kehausan kuasa dan kejahatan mendominasi keseharian
kita.
Masyarakat belajar dari Indonesia, sebuah dunia yang di dalamnya kejujuran
itu dianggap sebagai kedunguan, kesederhanaan itu dianggap sebagai
keterbelakangan, kesalehan dianggap sebagai kebodohan, kerakusan dianggap
sebagai kemajuan, kelicikan dianggap sebagai satu kemenangan dan kebrutalan
dianggap sebagai tindak kepahlawanan. Sebuah negeri yang penguasanya adalah
para penjarah, politikusnya adalah penipu, pahlawannya adalah perampok.
Monster-monster politik yang haus kekuasaan tak henti-hentinya bermain
menggunakan berbagai cara, intrik, tipu daya demi mempertahankan
kekuasaannya. Di bidang hukum, bertebaran mafia-mafia kepalsuan,
topeng-topeng kesemuan dan agen-agen kebohongan.
Di bidang ekonomi, hadir sistem ekonomi dengan paradigma kerakusan dengan
manajemen tipu daya. Berbagai kondisi inilah yang menyebabkan kebangkrutan
moral.
Matrik moral yang mengatur hubungan antar manusia terkikis sedikit demi
sedikit pada permukaan maupun kedalaman sehingga masyarakat hidup dalam
kehampaan moral. Aturan-aturan perilaku terapung-apung tidak terarah, konsep
baik buruk makin tak pasti, semuanya kabur.
Untuk mengatasi persoalan ini, dapat dilakukan melalui dua cara. Pertama,
rehabilitasi sosial (aspek lahiriah). Tentu saja sektor-sektor yang
menyangkut hajat hidup dan perikehidupan masyarakat harus segera dipenuhi
misalnya perbaikan di sektor ekonomi, penegakan di bidang hukum, kesantunan
berpolitik, kebudayaan dan lainnya.
Kedua, dimensi internal. Dalam konteks ini, yang mutlak harus dibenahi
adalah aspek kedalaman kemanusiaan, aspek batin, mental. Salah satu cara
yaitu dapat dilakukan melalui agama dengan tujuan meningkatkan keimanan,
ketakwaan, kesabaran serta kesadaran akan kemanusiaan dan mempelajari
dimensi kedalaman manusia.
Untuk meneguhkan kembali kemanusiaan manusia, diperlukan kesadaran moral
kemanusiaan yaitu dapat mengidentifikasi, mengetahui dan membedakan mana
yang baik dan mana yang buruk. Hal ini dapat dicapai dengan mempertegas
nilai-nilai moral seperti keadilan, tanggung jawab, kerukunan, persamaan dan
lainnya.
Dengan cara itulah, kita mencoba mengembalikan kesadaran kemanusiaan. Terus
berupaya mencerahkan manusia agar senantiasa sadar akan kemanusiaannya.
Menggugah manusia agar secara sadar mengetahui apa yang dilakukannya. Bahwa
manusia harus menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaannya. Dan menjalani
hidup sesuai dengan kodratnya.

Penulis adalah editor jurnal sosiologi ”Interaksi” Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik (FISIP) Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto.