[Nasional-m] Apakah Agama Perlu Disekulerkan?

Ambon nasional-m@polarhome.com
Fri Sep 20 01:24:06 2002


Suara Merdeka
 Jumat, 20 September 2002 Karangan Khas

Apakah Agama Perlu Disekulerkan?
(Catatan untuk John Titaley)
Oleh: Ibnu Djarir

SAYA sangat tertarik dengan catatan Prof Dr John Titaley terhadap artikel
saya mengenai "Apakah Agama Perlu Disekulerkan". Hal tersebut sebenarnya
saya tujukan kepada rekan Dr H Abdul Munir Mulkan (SM, 30/8-2002). Di
antaranya karena antara saya dan Rektor UKSW Salatiga itu rupa-rupanya
terdapat titik temu atau kesamaan pandangan dalam beberapa hal.
Pertama, saya dan John Titaley mungkin termasuk orang-orang yang dalam study
of comparative religion sering disebut sebagai being religious, dan bukan
sekadar having religion.
Orang-orang dalam klasifikasi pertama, bagaimanapun akan selalu menjunjung
tinggi firman Tuhan, atau lebih konkretnya nilai-nilai ajaran agama. John
Titaley mengatakan, Tuhan dan agama tetap mendapat tempat dalam
kehidupannya. Istilah "agama perlu disekulerkan" itu pun bukan dari dia.
Selama empat tahun saya bergaul dengan orang-orang Nasrani di Maluku
(1960-1964), saya melihat orang-orang Nasrani berbondong-bondong dan dengan
khidmat mengikuti kebaktian di gereja-gereja dan orang-orang muslim di
masjid-masjid.
Meski antara kedua umat itu terdapat perbedaan keyakinan, mereka dapat
bergaul dalam kehidupan sehari-hari dengan baik. Hanya sejak 19 Januari 1999
kedua umat itu bentrok yang pada awalnya disebabkan oleh faktor-faktor
non-Agama.
Dari fenomena sosial itu dapat dipahami, meski ada perbedaan dogmatis, yang
di dalamnya terdapat truth claim dari masing-masing umat, dalam pergaulan
sosial hal itu tidak menjadi masalah, asalkan tidak dipaksakan kepada umat
pemeluk agama lain.
Kalau dipaksakan bisa bentrok, misalnya umat Nasrani dipaksakan supaya
mengakui kenabian Muhammad dan umat Islam supaya mengakui ketuhanan Yesus
atau Isa Al Masih.
Jadi, pada dasarnya, truth claim itu bukan sebab utama yang memicu kerusuhan
sosial.
Tampaknya John Titaley sependapat dengan saya, bagian dogmatis dari ajaran
agama perlu dipegang teguh oleh setiap pemeluk agama, dan tak perlu ditawar
lagi. Misalnya umat Islam mempercayai Alquran itu firman Allah yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW secara utuh termasuk redaksinya.
Sedangkan umat Nasrani mempercayai Yesus itu sendiri firman Tuhan. Maka apa
yang disabdakan oleh Yesus adalah kehendak Tuhan.
Mengenai hal-hal yang dogmatis ini, jika ada saling pengertian dan saling
menghormati antarumat, maka tidak akan mengganggu kerukunan hidup
bermasyarakat.
Pendekatan Sosio-Historis
Kedua, kita hidup pada zaman modern atau boleh juga disebut post modern.
Taraf pendidikan umat manusia pada umumnya makin meningkat dan hubungan
antarbangsa makin dekat. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah
menyebar ke berbagai bangsa di dunia ini.
Iklim pemikiran ilmiah sudah mendunia. Para ilmuwan mencari metodologi yang
tepat untuk mengungkap kebenaran segala sesuatu, termasuk kebenaran sejarah,
kebenaran ajaran-ajaran yang dipegangi oleh masyarakat, dan juga kebenaran
ajaran agama yang bersumber dari kitab-kitab suci.
Sebagai seorang ilmuwan, John Titaley mungkin saja selalu haus untuk mencari
kebenaran. Pernyataan atau peristiwa yang diberitakan oleh Kitab Taurat
(Perjanjian Lama) dan Kitab Injil (Perjanjian Baru) tidak diterima begitu
saja, tetapi dicoba untuk ditelusuri akar sosial dan sejarahnya agar dapat
dihayati secara kritis.
Nah, pola pikir demikian itulah yang oleh Prof Dr HA Mukti Ali disebut
sebagai pendekatan sosio-historis dalam mempelajari agama Islam.
Dalam Islam dikenal adanya kajian asbabun nuzul, yaitu mengkaji sebab-sebab
turunnya ayat-ayat Alquran dikaitkan dengan lingkungannya, baik lingkungan
alami maupun lingkungan hayati, dan asbabul wurud, yaitu sebab-sebab
turunnya Hadis.
Kajian itu termasuk materi pembahasan ilmu ushul al-fiqh. Jadi antara saya
dengan John Titaley tidak ada masalah dalam hal pendekatan sosio-historis,
sebab hal itu sudah berjalan dalam tradisi ilmu keislaman. Hanya bagi saya
kajian demikian tidak perlu menggunakan istilah sekularisasi agama.
Sebuah contoh pendekatan sosio-historis misalnya ketika para ulama menggali
implikasi dari sabda Nabi Muhammad SAW yang menyatakan: "Tidak akan bahagia
suatu kaum yang menyerahkan urusannya kepada perempuan". Sabda Nabi itu
secara harfiah dijadikan dasar hukum oleh sebagian ulama Islam tentang
ketidakbolehan perempuan menjadi kepala negara. Tetapi jika diteliti kontek
sosio-historisnya, sabda Nabi itu tidak bersifat umum, melainkan berkaitan
dengan kepala negara Kerajaan Persia, yang diramalkan oleh Nabi akan segera
jatuh. Timbul pendapat di kalangan ulama Islam, perempuan boleh-boleh saja
menjadi kepala negara.
Pendekatan sosio-historis adalah merupakan bagian dari metode ilmiah
(scientific). Sekalipun menggunakan metode-metode ilmiah yang bersifat
objektif, setiap orang muslim dalam pemikiran dan gerak langkahnya selalu
dijiwai oleh keimanan kepada Allah. Maka setiap muslim dalam mengkaji
ajaran-ajaran Islam agar tidak terlepas dari sumber transendental, dia tidak
bertindak sebagai pure scientist, melainkan sebagai religious scientist.
Prof Dr HA Mukti Ali memperkenalkan istilah religious scientific method
dalam mempelajari agama-agama. Tentunya ini berbeda dengan secular
scientific method.
Pemikiran Sekuler
Ketiga, saya juga memiliki pengalaman yang sama dengan John Titaley dalam
hal melihat kenyataan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang
lompatannya sangat jauh akhir abad yang lalu, terutama dengan teknologi
kloningnya. Dengan kemajuan iptek itu timbul pemikiran bagaimana
memperlakukan produk budaya manusia itu agar membawa manfaat bagi kemajuan
agama dan kemanusiaan.
Dia telah bergumul lama dengan pemikiran seperti itu, namun tidak berarti
dia menjadi sekuler, dalam arti tidak lagi memberi tempat bagi Tuhan dan
agama dalam kehidupannya.
Kemajuan iptek memang perlu dimanfaatkan oleh umat manusia demi kemajuan
agama dan kemanusiaan. Tetapi apakah dengan jalan sekularisasi agama? Dalam
artikel saya lalu (30/8-2002) saya mempertanyakan, apakah tepat penggunaan
istilah sekularisasi agama, khususnya agama Islam yang saya peluk? Sebab,
dalam telaah saya atas beberapa literatur, sekuler itu hanya mementingkan
atau memfokuskan pada keduniawian dan mengabadikan agama.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan: Sekularisme adalah paham atau
pandangan filsafat yang berpendirian, bahwa moralitas tidak perlu didasarkan
pada ajaran agama. Sekularisasi adalah hal yang membawa ke arah kecintaan
kehidupan duniawi sehingga norma-norma tidak perlu didasarkan pada ajaran
agama. Sekuler adalah bersifat duniawi atau kebendaan, bukan bersifat
keagamaan atau kerohanian.
Para pemimpin bangsa kita menyatakan bahwa negara RI bukan negara sekuler
dan juga bukan negara agama, melainkan negara Pancasila. Mereka tidak
menerima negara sekuler karena akibatnya agama akan tersingkir. Jadi, mereka
memahami pengertian sekuler juga seperti yang tercantum dalam kamus
tersebut. (18)
- Drs H Ibnu Djarir, Ketua Komisi Pendidikan dan Pemberdayaan Perempuan MUI
Provinsi Jawa Tengah.