[Nasional-m] Perlu Segera UU Penyiaran

Ambon nasional-m@polarhome.com
Thu Sep 19 02:12:05 2002


Jawa Pos
Kamis, 19 Sept 2002

Perlu Segera UU Penyiaran

DPR akhirnya menunda pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran.
Masih butuh waktu untuk sosialisasi. Demikian alasannya. Inilah sebuah RUU
di era sekarang yang pembahasannya penuh pro dan kontra. Tarik-menarik
antarberbagai kepentingan begitu keras.

Boleh jadi, banyak RUU yang kontroversial. Namun, kasus RUU Penyiaran ini
menjadi bergaung besar karena menyangkut orang-orang media. Menyangkut
institusi pengganda berita, penyebar informasi, dan pemproduksi opini.
Padahal, pemain alias aktornya tak begitu banyak.

Kita pernah mempunyai pengalaman membahas RUU dengan penuh kontroversi,
yakni RUU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya. Ini terjadi di zaman
pemerintahan Soeharto. Akhirnya, RUU tersebut jadi UU, namun ditunda setahun
karena protes keras dari masyarakat. Ujung-ujungnya, UU tersebut tak efektif
juga.

Apa yang membuat RUU Penyiaran ini begitu kontroversial? Ada banyak
kepentingan bisnis besar di sana. Di satu pihak, ada kepentingan industri
media yang begitu besar. Di pihak lain, ada kepentingan publik yang harus
dilindungi hak-haknya.

Dalam tataran substantif, ada persoalan demokratisasi dalam RUU itu.
Sejumlah pihak khawatir RUU baru tersebut lebih mengekang dunia siaran. Ada
juga unsur perebutan kewenangan dalam pemberian izin siaran, apakah ada di
tangan masyarakat lewat institusi yang dibentuk atau pemerintah.

Terlepas dari pro-kontra itu, kita berharap UU Penyiaran tersebut segera
disahkan. Mengapa? Sebab, kita terlalu lama tidak mempunyai acuan yang pasti
mengenai sektor yang begitu pesat perkembangannya ini. Sebuah jagat yang
telah menjadi sebuah dunia industri yang berkembang dengan dahsyat.

Ironis memang. Penyiaran telah menjadi industri, yang undang-undangnya tidak
lagi mampu mengantisipasi perkembangannya. Undang-undang yang ada menjadi
mandul karena dibikin dalam setting yang tidak demokratis sehingga tak cocok
di alam pascareformasi.

Akibatnya, dunia penyiaran ibarat berada dalam suasana anomali. Tidak ada
kerangka peraturan yang pasti. UU lama menjadi usang karena institusi yang
diatur dalam UU tidak ada. Padahal, UU yang baru belum tersedia. Kasus yang
menimpa sejumlah TV lokal adalah contohnya.

Kita menyadari bahwa tidak ada sesuatu yang sempurna. Sementara itu,
kebutuhan kita terhadap UU Penyiaran sudah sangat mendesak. RUU Penyiaran
ini boleh jadi memang tidak bisa mengakomodasi semua kepentingan yang
berkembang di masyarakat. Namun, pasti tak bisa dipastikan untuk bisa
memuaskan semuanya.

Hanya, yang patut kita garis bawahi dari RUU Penyiaran ini adalah
diakomodasikannya kepentingan-kepentingan daerah dalam dunia penyiaran. Jika
jagat penyiaran dalam UU yang lalu sangat sentralistik, RUU kali ini menjadi
punya semangat desentralisasi. Radio dan TV lokal mendapat pengakuan.
Demikian juga radio dan TV komunitas. Ini berarti, RUU tersebut telah
sejalan dengan semangat otonomi daerah yang telah kita implementasikan sejak
2001 lalu.

Dengan demikian, RUU tersebut memungkinkan muncul dan berkembangnya
potensi-potensi daerah. Ini yang dulu tidak mungkin karena untuk itu harus
melalui pusat terlebih dahulu.

Penundaan RUU Penyiaran telah diputuskan. Namun, kita berharap, penundaan
itu tak mengubah akomodasi RUU Penyiaran yang baru tersebut pada
kepentingan-kepentingan daerah yang menjadi kekayaan Nusantara ini. Jika
sampai semangat itu berubah, ancaman sentralisme sudah pasti ada di depan
kita.