[Nasional-m] Islam dan Relasi Sipil-Militer

Ambon nasional-m@polarhome.com
Fri Sep 6 23:24:03 2002


Media Indonesia
Jumat, 6 September 2002

Islam dan Relasi Sipil-Militer
Mun'im A Sirry Peneliti CSID, Jakarta


SALAH satu persoalan paling rumit dalam masa transisi adalah reposisi
militer menuju supremasi sipil. Terbukti, semua negara yang mengalami
transisi, termasuk Indonesia, harus bersikap ekstra hati-hati dalam
memosisikan militer sebagai tentara profesional. Sulit dibayangkan, kekuatan
militer yang menggurita hampir semua elemen negara, dengan mudah dapat
ditarik untuk kemudian dibatasi kekuasaannya pada hal-hal yang bersifat
pertahanan.
Bagi negara-negara muslim, persoalannya lebih rumit lagi. Sejak berakhirnya
Perang Dunia II, kerap terjadi intervensi militer di banyak negara dunia
ketiga, terutama dunia muslim. Prof Syed Sirajul Islam, guru besar ilmu
politik di Lakehead University, Kanada, menyebutkan bahwa pada 1980-an
separuh dunia muslim secara langsung berada di bawah pemerintahan militer
dan separuhnya lagi di bawah dominasi militer.
Kenyataan ini mendorong sebagian sarjana untuk berspekulasi, bahwa
keseringan kudeta militer di negara-negara muslim berakar dari semangat
Islam. Dr Saleem Qureshi, pengamat militer Islam asal Pakistan yang kini
bermukim di London, menulis: ''Di dunia Islam tidak ada pemisahan sipil
militer, dan karenanya justifikasi pemerintahan sipil-militer di bawah
kepemimpinan tentara tidak mendapat tantangan dari semangat Islam''
(International Political Science Review, 1981). Akibat lebih lanjut, warga
negara dunia muslim begitu mudah menerima pemerintahan militer.
Dalam perspektif Barat, hubungan sipil-militer ditandai dengan kontrol dan
supremasi sipil. Posisi militer bukan saja tunduk, tapi juga dihalangi untuk
mengembangkan ambisi merebut kekuasaan politik. Dengan cara demikian, sistem
politik Barat berhasil mempertahankan level 'kultur sipil (civic culture)'.
Hal itu dimungkinkan karena sistem tersebut didominasi para politikus yang
mencapai kekuasaan melalui perjuangan panjang melewati garis pantai.
Sedangkan anggota-anggota militer tidak pernah diharapkan atau
diorientasikan melakukan intervensi dalam politik pemilihan.
Apakah pemisahan antara otoritas sipil dan militer yang berkembang di Barat
bersumber dari tradisi-tradisi keagamaan? Banyak sarjana Barat menjawab
'ya'. Mereka merujuk pada dogma Kristen yang tidak memberikan ruang bagi
institusi militer. Lebih dari itu, norma-norma sekularisme, yang muncul dari
tradisi Kristen, mengembangkan konsep pemisahan gereja dan negara. Yesus
sendiri mendeklarasikan, ''Berikan kepada Kaisar apa yang menjadi milik
Kaisar, dan berikan kepada Tuhan apa yang menjadi milik Tuhan.'' Disebabkan
berbasis nilai-nilai keagamaan, sekularisme dan konsep pemisahan peran sipil
dan militer mendapat bobot 'universalitas' ke dalam norma dan konsep politik
Barat.
***
Sejarah memang tidak selalu menjadi guru yang baik. Karena itu, kita bisa
mulai dengan pertanyaan, benarkah Islam membolehkan kudeta atau intervensi
militer ke dalam politik? Dalam Islam, bagaimana sebetulnya hubungan antara
otoritas sipil dan militer? Dapatkah militer melawan atau berkonspirasi
terhadap pemerintahan sipil yang sah?
Secara teoretis, Islam memang tidak menekankan pembedaan dan pemisahan
institusi sipil dan militer. Tapi, itu tidak berarti Islam menganggap
keduanya sama atau satu. Dalam Alquran dan hadis, dan juga dalam karya-karya
fukaha terdahulu, ditemukan bahwa hanya pemerintah legitimate yang berhak
memimpin umat. Alquran secara tegas menyebutkan bahwa baghi (pemberontakan
melawan pemerintah sah) adalah haram. Demikian juga kudeta (QS 3:76; 5:1,13;
4:14, dan lainnya).
Hadis-hadis yang punya semangat sama cukup banyak, bahkan kadang dengan
redaksi keras. Misalnya, sabda Nabi: ''Apabila terjadi pembaiatan terhadap
dua khalifah, maka bunuhlah yang kedua'' (HR Muslim). Ibn Umar juga
meriwayatkan hadis yang menyebutkan, apabila telah dibaiat seorang imam,
kemudian muncul orang lain mengklaim dirinya sebagai imam, maka penggal
kepalanya.
Hadis-hadis di atas, dan hadis lain yang jumlahnya banyak, mengindikasikan
bahwa pengambilalihan kekuasaan sipil oleh militer adalah haram. Kata
'bunuh' atau 'penggal' dalam hadis tadi bersifat alegoris, yang menunjukkan
larangan keras. Dan, itu juga berarti tidak dibenarkan melakukan pelengseran
pemimpin yang sah dengan cara-cara yang tidak prosedural. Manakala seorang
pemimpin telah kehilangan kepercayaan rakyat, maka rakyat punya hak
mengganti pemimpin melalui pemilu, bukan kekuatan.
Semangat profetik seperti itu yang dicobakembangkan para fukaha, seperti
al-Mawardi, Ibn Khaldun, dan Ibn Taymiyah. Al-Mawardi misalnya, yang
berpendapat, khalifah hendaknya dipilih oleh umat melalui ahl al-hall wa
al-'aqd atau badan pemilih semacam electoral college. Ia menyebutkan tiga
kualifikasi badan pemilih: berpengetahuan, cerdas, dan adil. Al-Mawardi
lebih jauh menegaskan, perebutan kekuasaan dengan cara kekuatan tidak
diperbolehkan.
Karena itu, kecenderungan intervensi militer ke dalam politik sipil di
banyak negara muslim tidak ada hubungannya dengan Islam. Dengan kata lain,
variabel Islam tidak bisa menjelaskan fenomena itu. Lihatlah, sejumlah
negara nonmuslim di Afrika, Asia, dan Amerika Latin, mengalami hal serupa.
Jadi, pasti ada alasan lain selain agama. Prof Syed Sirajul Islam menyebut
tiga penyebab utama intervensi militer ke dalam politik sipil di
negara-negara tersebut. Yakni, warisan kolonialisme, ketidakmampuan elite
sipil, dan pemangkasan kepentingan tentara (The American Journal of Islamic
Social Sience, 2000).
Selama masa kolonialisme, pemerintah kolonial secara sengaja mengabaikan
perkembangan institusi sipil karena dianggap menjadi ancaman terhadap
keberadaannya. Satu-satunya institusi yang dipercaya pemerintah kolonial
adalah tentara yang dianggap vital untuk menjaga stabilitas. Perhatian yang
demikian besar menyebabkan militer berkembang menjadi kekuatan tiada banding
vis-a-vis sektor sipil yang terisolasi. Situasi itu tidak berubah secara
signifikan pasca-kemerdekaan, sehingga kendali militer kian mencengkeram
setiap sudut negara.
Kendati di banyak negara telah terjadi peralihan ke pemerintahan sipil, tapi
selalu ditandai ketidakmampuan elite sipil menjaga stabilitas politik dan
ekonomi. Akibatnya, mereka tidak mau melepaskan militer cukup mengurusi
urusannya sendiri, bahkan malah semakin bergantung kepada militer.
Ketidakmampuan elite sipil itu harus dibayar dengan ongkos mahal, yakni
keragu-raguan politikus sipil memutus relasi-relasi militer, terutama relasi
bisnis. Pemerintahan sipil bukannya mengatur apa yang harus militer lakukan,
tapi justru memberi ruang militer mengisi posisi-posisi sipil.***